Kalau keluar
rumah hendak ke pasar, sepanjang jalan Matang-Tanjong tidak ada lagi orang tua
yang naik sepeda saling memberi salam saat sambil mengangkat sebelah tangan
saat berpapasan atau bertemu sekelompok orang di pos kamling dan warung pinggir
jalan. Tidak ada lagi anak sekolah beramai-ramai berangkat dengan sepeda. Tidak
ada lagi angkutan umum Chevrolet Luv pickup yang melintas untuk mengangkut
manusia pulang-pergi pasar. Tidak ada
lagi pemutaran layar tancap di lapangan. Tidak ada lagi dakwah agama di malam
hari beserta penjual kacang dan jagung rebus.
Sejak pulang
sekolah yang terletak beberapa belas kilometer dari Pusat Pasar, Medan, Apa
Cantoi lebih suka mengambil sepeda tuanya yang telah diperbaiki untuk pergi ke
pinggir sungai. Di sana dia duduk berjam-jam untuk mengenang masa kecilnya ketika
dia dan teman-temannya berlarian di pinggir sungai. Mereka mencari udang di
balik bebatuan, membakar dan menyantapnya di pinggir sungai. Setelah kenyang
mereka bermain sebunyi batu sambil menyelam. Mereka juga suka berlomba
menyeberangi sungai. Tetapi apa yang ditemukan Apa Cantoi sekarang sudah
berubah. Pantai sungai entah ke mana. Pasirnya tidak ada lagi. Sungainya juga
sudah kuning. Seingat Apa Cantoi, dulu sekalipun air sungai sedang meluap,
airnya tetap bersih.
Karena sangat
merindukan minum kopi, Apa Cantoi meraih sepedanya menuju pasar Kota Peusangan.
Nyaris tidak ada lagi warung kopi seperti dulu. Apa Cantoi terpaksa singgah di
warung kopi yang temanya tampak aneh.
Dulu di warung
kopi mejanya agak besar dengan permukaan rata dari tripeks padat. Ada yang berwarna
kebiruan dan ada yang berwarna putih. Dulu kopinya sangat kental. Sekarang
rasanya menjadi aneh.
"Dulu Apa
tidak benar-benar minum kopi. Ada jagung, ada beras, ada gula merah, dan
setumpuk benda-benda lainnya. Sekarang murni hanya bubuk kopi asli," kata
barista muda yang baru lulus kursus membuat kopi di Bandung. Katanya dia kursus
tiga bulan dan punya sertifikat.
Apa Cantoi
tersinggung. Baru kursus tiga bulan sudah merasa diri paling pintar. Apa Cantoi
sendiri sudah minum kopi puluhan tahun. Apa Cantoi sakit hati. Baginya kopi
dulu adalah segalanya. Dengan pembuat kopinya, dengan canda tawa bersama. Dulu
warung kopi tidak ekslusif. Bertegur sapa dan saling mengobrol tidak hanya
dengan rekan semeja saja. Di meja paling depan bisa bercengkrama intensif
dengan meja paling belakang. Suasananya sangat cair. Sekarang dilihat Apa Cantoi,
orang-orang terlalu serius. Bahkan ada yang tidak bicara sejak datang hingga
pulang.
Sekeliling
dilihat Apa Cantoi banyak anak muda. Sebagian sedang mengobrol dengan rekan
semejanya. Sebagian lainnya sibuk sendiri dengan ponsel masing-masing. Yang
paling unik baginya adalah di warung kopi banyak perempuan muda. Dulu jangankan
anak gadis, ibu-ibu saja tidak berani mendekat ke warung kopi.
Kali ini,
bahkan beberapa meja hanya diisi sepasang laki-laki dan perempuan. Di satu
sudut ada sepasang mahasiswa yang entah sedang membahas apa. Di sudut lainnya
ada perempuan dengan pakaian seragam putih-putih bersama seorang pria dengan
seragam berwarna khaki. Di sebelah meja mereka ada dua perempuan dan tiga
laki-laki sedang mengobrol di satu meja yang agak lebar.
Hal ini membuat
Apa Cantoi menjadi semakin heran. Dulu di warung kopi mejanya seragam.
Ukurannya sama. Sekarang ada meja yang sangat lebar. Ada yang sedang. Ada juga
mejanya sangat kecil. Hanya seukuran dudukan sebuah kursi.
Saat sedang
menyesap kopi, seorang perempuan berpakaian batik menyapanya. Apa Cantoi sangat
tajam ingatannya. Tapi dia ragu. "Ratna, ya?".
Perempuan itu
senyum. Mereka berbincang sejenak. Lalu perempuan itu menyusul rekannya yang
telah ambil tempat. Apa Cantoi kembali kepada dirinya sendiri.
Setelah
beberapa menit Ratna menyapanya kembali. Kali ini perempuan itu duduk di kursi
seberang meja. Cantoi bercerita tentang pengalamannya sekolah di di bawah Departemen
Hukum dan latar belakang hingga dia melanjutkan pendidikan ke sana. Ratna
bercerita bahwa dia bekerja di sebuah lembaga advokasi hukum dan sedang
menyelesaikan magister hukum di Lhokseumawe.
Mereka
menemukan kesamaan. Sama-sama punya pengalaman bergelut di bidang hukum. Ratna
meminta nomor ponsel Apa Cantoi. Mereka bertukar nomor. Lalu perempuan itu
pergi bersama rekannya. Apa Cantoi masih sangat mengenal teman sekelasnya
selama enam tahun di MIN karena tidak banyak perubahan pada wajah perempuan
itu. Hanya dulu perempuan itu sangat tinggi dan kurus. Paling tinggi di
kelasnya. Sekarang tidak tampak terlalu tinggi karena tidak kurus lagi.
Ketika remaja,
mereka juga punya hubungan khusus.
Setelah
perempuan itu pergi, Apa Cantoi kembali menyesap kopinya. Tiba-tiba Apa Cantoi
kaget kopinya nyaris ludes, padahal baru tiga kali teguk. Kopi sekarang
gelasnya sangat kecil. Isinya cuma setengah gelas. Sialan, pikir Cantoi. Apakah
kursus cara membuat kopi ke Bandung mengajarkan untuk pelit?
Saat berencana
hendak pergi, sebuah mobil patroli berhenti di depan warung kopi. Banyak
petugas turun. Awalnya Apa Cantoi mengira mereka hendak mengopi. Tetapi mereka
menghampiri beberapa meja dan menginterogasi orang-orang. Apa Cantoi mulai
ketakutan. Dia tidak bawa KTP. Apalagi KTP merah putih. Entah ke mana.
Beberapa orang
diangkut mobil petugas. Karena heran, Apa Cantoi memanggil si barista kursus
tiga bulan itu.
"Itulah Apa. Itu aturan sudah lama. Tapi
masih banyak saja yang melanggar. Laki-laki dan perempuan dilarang duduk
semeja."
Apa Cantoi
melirik laki-laki berpakaian khaki dan perempuan putih-putih yang sempat dihampiri
petugas tetapi tidak ikut diangkut. Si Barista ikut melirik.
"Mungkin
mereka suami istri, Apa".
Sore hari saat
sedang belajar membuat layangan, sebuah karya yang selalu tidak berhasil
dilakukan Cantoi sejak kecil, sementara teman-temannya bisa membuat sebuah layangan
bagus selama setengah jam, Ratna menelpon ingin bertemu di warung kopi yang
sama pada waktu yang sama. Besok. Karena tidak punya pekerjaan, tentu saja Apa Cantoi
bersedia. Di rumah melulu juga bosan.
Keesokan
harinya Apa Cantoi tiba dan belum melihat Ratna. Hari itu tidak ada seorang
perempuan pun di warung kopi. Mungkin kejadian kemarin membuat perempuan
seluruh Kota Peusangan ketakutan.
Tidak ingin
digelandang, Apa Cantoi menggabungkan dua meja kecil yang seukuran dudukan
kursi. Ratna datang dan dipersilahkan duduk. Saat sedang mengobrol tentang
latar belakang Apa Cantoi sekolah di bawah Departemen Hukum, dua orang petugas datang. Karena cuma dua
orang, Apa Cantoi tidak menghiraukan. Dia kira mereka berdua hanya hendak
ngopi. Kalau hendak patroli pasti mereka datang beramai-ramai. Tapi Apa Cantoi
salah. Dua petugas itu menghampiri mereka. Mereka dikatakan melanggar
peraturan.
"Laki-laki
dan perempuan yang bukan muhrim dilarang duduk semeja." Mengangkat
telunjuknya ke Arah Cantoi sambil senyum, petugas itu bilang lagi, "Bukan
muhrim, kan?"
Tentu saja
sangat mudah ditebak. Dari penampilannya semua orang bisa tahu Apa Cantoi bukan
suami dari perempuan di hadapannya. Ratna berpakaian sangat bagus seperti orang
menghadiri kondangan. Apa Cantoi sendiri hanya mengenakan kaus putih, celana
lusuh, bawa sarung pula. Mana ada lagi orang bawa-bawa sarung ke mana-mana.
Kalaupun ada dimasukkan ke dalam tas, bukan di pinggang hingga dengkul.
Apa Cantoi
tidak terima. Katanya mereka tidak semeja. "Lihat saja, meja kami
berbeda," kata Cantoi dengan santai. Apa Cantoi menarik salah satu meja
hingga terpisah. Tetapi petugas tidak bisa diakal-akali. Di kantor petugas, Apa
Cantoi diminta tidak lagi mengulangi perbuatannya dan disodorkan selembar
kertas untuk ditandatangani.
Saat hendak
masuk sekolah di bawah Departemen Hukum, Cantoi juga pernah menandatangani
selembar kertas.
Reviewed by Miswari
on
14.44
Rating:

Tidak ada komentar: