Partai-partai sekular yang seharusnya mengutamakan sosialisasi program-program pembangunan dan kesejahteraan sosial sesuai dengan ideologi partai, belakangan ini di Indonesia, lebih suka menbonceng isu-isu agama. Banyak alasan untuk itu. Elektabilitas mereka menjadi meningkat karena fenomena sosial hari ini sedang mengarah pada konsenterasi identitas keagamaan. Politik identitas juga membuat ongkos politik yang dikeluarkan partai menjadi murah. Mengundang seorang dai kondang akan dihadiri massa puluhan kali lebih banyak dan menghemat biaya puluhan kali lebih sedikit daripada mengundang artis dan kelompok musik Ibu Kota.
Tokoh-tokoh politik yang sekular, bahkan non-muslim berlomba-lomba mendekati kelompok-kelompok Islam guna mendulang suara. politik agama memang kurang menyehatkan dalam perspektif demikrasi. Isu agama sifatnya sangat sensitif. Apabila tidak dikelola dengan baik, resikonya bisa sangat besar. Negara bisa khaos.
Di balik anggapan-anggapan turunnya kualitas demokrasi akibat politik identitas, sebenarnya sisten ini adalah aktualitas dari teori political culture gang digagas Gabriel Amon dalam The Civic Culture dan dipertajam oleh Saiful Mujani dalam Muslim Demokrat. Teori tersebut menawarkan agar demokratisasi dalam sebuah komunitas dapat menghidupkan partisipasi publik berbasis interesi masyarakatnya.
Kelompok politik memiliki beban memotivasi partisipasi aktif publik dalam perpolitikan. Namun praktik teori politik budaya yang terjadi di Indonesia malah membuat masyarakat gaduh. Padahal maksud teori tersebut supaya partisipasi masyarakat diarahkan pada partisipasi tentang isu-isu kesejahteraan dan kemakmuran publik yang ditawarkan
Partai.
Meningkatnya politik simbol di Indonesia terjadi akibat semakin meningkatkan kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran pentingnya agama dalam kehidupan tetapi mereka tidak belajar agama dengan baik, dalam durasi yang cukup, kepada ulama muktabar dan dilatih dalam lingkungan yang kondusif. Masyartakat yang terjebak dalam politik simbol adalah mereka yang belajar agama sambil lalu secarta otodidak sehingga pemahaman agamanya dangkal, mengedepankan simbol, tidak memahami prioritas, dan mudah diprovokasi.
Anehnya kelompok yang terjebak dalam politik simbol mengira mereka sedang menunggangi politik untuk kepentingan idelogi (bagi kelompok dangkal, agama diperlakukan seperti ideologi). Padahal sejatinya merekalah yang ditunggang oleh politik yang sifatnya memang pragmatik.
Tindakan-tindakan kelompok dangkal ini membangkitkan reaksi dari kelompok tradisional yang memang belajar agama secara benar, sistematisk, kepada otoritas yang kredibel, mendalam dan menyeluruh. Akhirnya terjadilah pertarungan antara kelompok modernis yang belajar agama secara dangkal dan kelompok tradisional.
Kelompok modern yang dangkal memang memiliki suara yang nyaring sehingga mampu turut mempengaruhi masyarakat lainnya yang juga dangkal pemahaman agamanya. Kejadiannya persis seperti film zombie. Namun dalam sistem politik one man one vote, di Indonesia, tentu mereka akan kalah. Karena, selain kelompok tradisional memang dominan, kejawen, kelompok sekular, dan non-muslim tentu tidak akan berpihak kepada islamis.
Alienisasi islamis (modernis) telah terjadi sejak lama di Indonesia. Kelompok marhaenis berteman dengan kelompok tradisional. Ketika semua varian tiarap di bawah rezim Orde Baru, hubungan neo-marhaenis terus berlanjut dengan tradisionalis. Pasca-reformasi. Hubungan ini semakin bersemai.
Setiap partai sekular tentu punya program masing-masing yang nyaris sama. Karena itu, bila salah satu partai sekular terbesar memainkan isu baru yakni agama yang dikawal kelompok islamis, kelompok sekular besar lainnya akan membonceng kelompok tradisional. Pertandingan menjadi berimbang.
Pada masa Orde Baru, otoritarianitas dipraktikkan oleh militer. Tetapi pascar-Reformasi, praktik tersebut dipraktikkan oleh otoritas keagamaan. Praktik otoritarian kelompok agama berkontribusi pada meningkatnya partisipasi politik masyarakat. Namun sebagian pengamat melihat, praktik itu menurunkan kualitas demokrasi.
Kelompok sekular yang akan memenangkan pertarungan adalah mereka membonceng kelompok tradisional karena bersama mereka akan ikut banyak kelompok lainnya. Sementara kelompok ismalis akan kalah. Namun demikian, siapapun yang menang, kelompok yang dibonceng tidak akan diakomodir sedemikian rupa.
Politik punya agenda pragmatis. Bisa saja dua kelompok sekular yang bertarung dalam pesta demokrasi akan berkoalisi dalam kekuasaan. Politik tidak punya waktu melayani ideologi. Melayani Pancasilah sudah cukup bagi mereka.
Tokoh-tokoh politik yang sekular, bahkan non-muslim berlomba-lomba mendekati kelompok-kelompok Islam guna mendulang suara. politik agama memang kurang menyehatkan dalam perspektif demikrasi. Isu agama sifatnya sangat sensitif. Apabila tidak dikelola dengan baik, resikonya bisa sangat besar. Negara bisa khaos.
Di balik anggapan-anggapan turunnya kualitas demokrasi akibat politik identitas, sebenarnya sisten ini adalah aktualitas dari teori political culture gang digagas Gabriel Amon dalam The Civic Culture dan dipertajam oleh Saiful Mujani dalam Muslim Demokrat. Teori tersebut menawarkan agar demokratisasi dalam sebuah komunitas dapat menghidupkan partisipasi publik berbasis interesi masyarakatnya.
Kelompok politik memiliki beban memotivasi partisipasi aktif publik dalam perpolitikan. Namun praktik teori politik budaya yang terjadi di Indonesia malah membuat masyarakat gaduh. Padahal maksud teori tersebut supaya partisipasi masyarakat diarahkan pada partisipasi tentang isu-isu kesejahteraan dan kemakmuran publik yang ditawarkan
Partai.
Meningkatnya politik simbol di Indonesia terjadi akibat semakin meningkatkan kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran pentingnya agama dalam kehidupan tetapi mereka tidak belajar agama dengan baik, dalam durasi yang cukup, kepada ulama muktabar dan dilatih dalam lingkungan yang kondusif. Masyartakat yang terjebak dalam politik simbol adalah mereka yang belajar agama sambil lalu secarta otodidak sehingga pemahaman agamanya dangkal, mengedepankan simbol, tidak memahami prioritas, dan mudah diprovokasi.
Anehnya kelompok yang terjebak dalam politik simbol mengira mereka sedang menunggangi politik untuk kepentingan idelogi (bagi kelompok dangkal, agama diperlakukan seperti ideologi). Padahal sejatinya merekalah yang ditunggang oleh politik yang sifatnya memang pragmatik.
Tindakan-tindakan kelompok dangkal ini membangkitkan reaksi dari kelompok tradisional yang memang belajar agama secara benar, sistematisk, kepada otoritas yang kredibel, mendalam dan menyeluruh. Akhirnya terjadilah pertarungan antara kelompok modernis yang belajar agama secara dangkal dan kelompok tradisional.
Kelompok modern yang dangkal memang memiliki suara yang nyaring sehingga mampu turut mempengaruhi masyarakat lainnya yang juga dangkal pemahaman agamanya. Kejadiannya persis seperti film zombie. Namun dalam sistem politik one man one vote, di Indonesia, tentu mereka akan kalah. Karena, selain kelompok tradisional memang dominan, kejawen, kelompok sekular, dan non-muslim tentu tidak akan berpihak kepada islamis.
Alienisasi islamis (modernis) telah terjadi sejak lama di Indonesia. Kelompok marhaenis berteman dengan kelompok tradisional. Ketika semua varian tiarap di bawah rezim Orde Baru, hubungan neo-marhaenis terus berlanjut dengan tradisionalis. Pasca-reformasi. Hubungan ini semakin bersemai.
Setiap partai sekular tentu punya program masing-masing yang nyaris sama. Karena itu, bila salah satu partai sekular terbesar memainkan isu baru yakni agama yang dikawal kelompok islamis, kelompok sekular besar lainnya akan membonceng kelompok tradisional. Pertandingan menjadi berimbang.
Pada masa Orde Baru, otoritarianitas dipraktikkan oleh militer. Tetapi pascar-Reformasi, praktik tersebut dipraktikkan oleh otoritas keagamaan. Praktik otoritarian kelompok agama berkontribusi pada meningkatnya partisipasi politik masyarakat. Namun sebagian pengamat melihat, praktik itu menurunkan kualitas demokrasi.
Kelompok sekular yang akan memenangkan pertarungan adalah mereka membonceng kelompok tradisional karena bersama mereka akan ikut banyak kelompok lainnya. Sementara kelompok ismalis akan kalah. Namun demikian, siapapun yang menang, kelompok yang dibonceng tidak akan diakomodir sedemikian rupa.
Politik punya agenda pragmatis. Bisa saja dua kelompok sekular yang bertarung dalam pesta demokrasi akan berkoalisi dalam kekuasaan. Politik tidak punya waktu melayani ideologi. Melayani Pancasilah sudah cukup bagi mereka.
Sekularisme, Tradisionalisme, dan Islamisme dalam Konstelasi Politik
Reviewed by Miswari
on
15.31
Rating:
Reviewed by Miswari
on
15.31
Rating:

Tidak ada komentar: