Mungkin banyak orang yang akan heran kenapa banyak manusia Indonesia yang lulus kuliah dari negeri Fadang Fasir, meski tidak semua, ketika pulang banyak yang menjadi provokator. Penjelasan tentang hal ini bisa sangat panjang. Tetapi bukankan panjang itu bukan masalah, bahkan bikin tambah puas?
Secara umum, perguruan tinggi adalah menara gading, tempatnya orang-orang khusus. Jangankan kuliah di luar negeri, banyak orang, kuliah di kota kecamatan saja sudah sombong, atau sudah ekslusif, sudah parsial dari lingkungan sosialnya, tidak mau lagi membantu ibu mencuci, tidak mau lagi menbantu ayah memotong rumput untuk lembu.
Kuliah di kota kecamatan aja bisa begitu. Apalagi pulang kuliah di lur negeri. Apalagi dplang dari negeri Fadang Fasir. Kita jangan membayangkan orang Indonesia itu ketika kuliah di negeri Fadang Fasir itu pergaulannya luas, berinteraksi dengan banyak manusia dari seluruh dunia. Tidak. Sehari hari mereka umumnya bertemannya, ya sesama orang Indonesia saja. Bahkan kalau dia orang Aceh bertemannya sesama orang Aceh saja. Kalau dia sendiri yang Aceh, dia berteman dengan orang Medan. Kalau tidak ada baru berteman dengan orang Jawa atau orang Malaysia.
Di Fadang Fasir itu hanya ada rumah, manusia, unta, langit, kadal gurun, pohon kurma. Jadi, ke Fadang Fasir itu tidak membuat otak kita makin cerdas tetapi berpeluang makin menyusut.
Ada beberapa orang alumni Fadang Fasir pulang dari sana tidak menjadi provokator. Karena mereka sudah matang belajar agamanya di pondok sebelum ke sana. Jadi di sana mereka hanya memperdalam kemampuan bahasa.
Kita kira standar pembelajaran di Fadang Fasir itu sangat hebat. Tidak. Sama sekali tidak. Coba kalau ada orang pulang dari universitas Fadang Fasir, langsung cegat dia suruh membuat makalah ilmiah. Makalah ilmiah saja, tidak perlu artikel untuk jurnal bergengsi. Banyak sekali di antara mereka tidak mampu. Kalaupun mampu, maka kemampuan itu pasti bukan didapatkan dari sana tetapi memang sudah mampu sebelumnya.
Alumni malay juga begitu. Saya kaget melihat sebuah disertasi dari malay. Kualitasnya lebih buruk daripada skripsi rata-rata yang bisa kita temukan di Indonesia. Belakangan saya ketahui ternyata umumnya disertasi di malay tidak lebih baik daripada skripsi S1 di Indonesia. Standar ilmiah di malaya jauh lebih rendah daripada di Indonesia.
Kita harus tahu bahwa kuliah di Negeri Fadang Fasir itu sama seperti datang ke pengajian. Bahkan kuliah program Sarjana Al-Azhar sekalipun persis seperti orang datang menyaksikan pertandingan sepak bola. Bergerombolan.
Makanya orang yang hebat alumni sana hanya satu yaitu alumni magister dan doktor universitas Al-Azhar. Karena pascasarjana di sana baru belajarnya serius. Hanya magister dan doktor al-Azhar.
Dulu saya heran kenapa ada alumni METU Turki kok ga cerdas. Ternyata belakangan saya ketahui bahwa kualitas METU jauh sekali di bawah UI. Saya sudah bandingkan Indonesia dengan Turki, jadi tidak perlu meminta membandingkan dengan Maroko, Tunisia, Yaman, apalagi Sudan.
Umumnya alumni Australia, Eropa dan Amerika keahlian utamanya yang tidak bisa diimbangi alumni dalam negeri cuma kemampuan bahasa Inggris. Tetapi ketika pulang ke Indonesia tidak membaca lagi, tidak rajin menulis ilmiah, maka tetap akan tumpul lagi.
Bahakan ada alumni Barat itu yang setelah lama tamat, bahasa Inggrisnya lebih buruk daripada alumni pondok pesantren. Yang lebih penting adalah, banyak alumni Australia, Eropa, dan Amerika umumnya lulus karena rasa kasihan para dosen di sana, bukan kemampuannya. Tapi tidak semua.
Akhirnya, pemerintah perlu mengevaluasi pragram-program beasiswa dan izin belajar ke luar negeri. Manfaat bagi bangsa, khususnya stabilitas negara, perlu dijadikan pertimbangan utama setelah efektivitas pendanan.
Mengeluarkan uang untuk membiayai satu orang ke Barat atau Fadang Fasir bisa sama dengan membiayai empat orang kuliah di Pulau Jawa. Manfaat utama yang langsung didapatkan adalah, yang kuliah di Pulau jawa punya wawasan kebangsaan yang lebih baik dan tidak menjadi provokator.
Secara umum, perguruan tinggi adalah menara gading, tempatnya orang-orang khusus. Jangankan kuliah di luar negeri, banyak orang, kuliah di kota kecamatan saja sudah sombong, atau sudah ekslusif, sudah parsial dari lingkungan sosialnya, tidak mau lagi membantu ibu mencuci, tidak mau lagi menbantu ayah memotong rumput untuk lembu.
Kuliah di kota kecamatan aja bisa begitu. Apalagi pulang kuliah di lur negeri. Apalagi dplang dari negeri Fadang Fasir. Kita jangan membayangkan orang Indonesia itu ketika kuliah di negeri Fadang Fasir itu pergaulannya luas, berinteraksi dengan banyak manusia dari seluruh dunia. Tidak. Sehari hari mereka umumnya bertemannya, ya sesama orang Indonesia saja. Bahkan kalau dia orang Aceh bertemannya sesama orang Aceh saja. Kalau dia sendiri yang Aceh, dia berteman dengan orang Medan. Kalau tidak ada baru berteman dengan orang Jawa atau orang Malaysia.
Di Fadang Fasir itu hanya ada rumah, manusia, unta, langit, kadal gurun, pohon kurma. Jadi, ke Fadang Fasir itu tidak membuat otak kita makin cerdas tetapi berpeluang makin menyusut.
Ada beberapa orang alumni Fadang Fasir pulang dari sana tidak menjadi provokator. Karena mereka sudah matang belajar agamanya di pondok sebelum ke sana. Jadi di sana mereka hanya memperdalam kemampuan bahasa.
Kita kira standar pembelajaran di Fadang Fasir itu sangat hebat. Tidak. Sama sekali tidak. Coba kalau ada orang pulang dari universitas Fadang Fasir, langsung cegat dia suruh membuat makalah ilmiah. Makalah ilmiah saja, tidak perlu artikel untuk jurnal bergengsi. Banyak sekali di antara mereka tidak mampu. Kalaupun mampu, maka kemampuan itu pasti bukan didapatkan dari sana tetapi memang sudah mampu sebelumnya.
Alumni malay juga begitu. Saya kaget melihat sebuah disertasi dari malay. Kualitasnya lebih buruk daripada skripsi rata-rata yang bisa kita temukan di Indonesia. Belakangan saya ketahui ternyata umumnya disertasi di malay tidak lebih baik daripada skripsi S1 di Indonesia. Standar ilmiah di malaya jauh lebih rendah daripada di Indonesia.
Kita harus tahu bahwa kuliah di Negeri Fadang Fasir itu sama seperti datang ke pengajian. Bahkan kuliah program Sarjana Al-Azhar sekalipun persis seperti orang datang menyaksikan pertandingan sepak bola. Bergerombolan.
Makanya orang yang hebat alumni sana hanya satu yaitu alumni magister dan doktor universitas Al-Azhar. Karena pascasarjana di sana baru belajarnya serius. Hanya magister dan doktor al-Azhar.
Dulu saya heran kenapa ada alumni METU Turki kok ga cerdas. Ternyata belakangan saya ketahui bahwa kualitas METU jauh sekali di bawah UI. Saya sudah bandingkan Indonesia dengan Turki, jadi tidak perlu meminta membandingkan dengan Maroko, Tunisia, Yaman, apalagi Sudan.
Umumnya alumni Australia, Eropa dan Amerika keahlian utamanya yang tidak bisa diimbangi alumni dalam negeri cuma kemampuan bahasa Inggris. Tetapi ketika pulang ke Indonesia tidak membaca lagi, tidak rajin menulis ilmiah, maka tetap akan tumpul lagi.
Bahakan ada alumni Barat itu yang setelah lama tamat, bahasa Inggrisnya lebih buruk daripada alumni pondok pesantren. Yang lebih penting adalah, banyak alumni Australia, Eropa, dan Amerika umumnya lulus karena rasa kasihan para dosen di sana, bukan kemampuannya. Tapi tidak semua.
Akhirnya, pemerintah perlu mengevaluasi pragram-program beasiswa dan izin belajar ke luar negeri. Manfaat bagi bangsa, khususnya stabilitas negara, perlu dijadikan pertimbangan utama setelah efektivitas pendanan.
Mengeluarkan uang untuk membiayai satu orang ke Barat atau Fadang Fasir bisa sama dengan membiayai empat orang kuliah di Pulau Jawa. Manfaat utama yang langsung didapatkan adalah, yang kuliah di Pulau jawa punya wawasan kebangsaan yang lebih baik dan tidak menjadi provokator.
PENDIDIKAN DI INDONESIA ADALAH YANG TERBAIK
Reviewed by Miswari
on
11.20
Rating:
Reviewed by Miswari
on
11.20
Rating:

Tidak ada komentar: