Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo, objektivikasi adalah cara menghindari sekularisasi. Perlu kita maklumi bahwa banyak orang dan gerakan islam yang meyakini islam dapat menjadi sebuah ideologi dalam rangka membangun tata sosial. Namun yang perlu kita sadari adalah, islam sebagai ideologi tidak akan benar-benar kompatibel dalam membangun tata sosial, apalagi hingga mencakup urusan tata negara.
Islam, yang semangat dasarnya adalah Alquran, Hadits, adalah panduan paradigma ideal, bukan pedoman perangkat teknis. Padahal untuk sebuah tata, apalagi tata negara, pandangan ideal tidak memadai, dalam tata negara, juga meniscayakan panduan teknis. Sementata Alquran dan Hadits adalah sebuah pesan universal dan abstrak.
Kita memang punya landasan ideal lainnya yakni Ijma' dan Qiyas. Tetapi hingga hari ini kita hanya menggunakannya dalam tatanan ibadah mahdhah. Padahal dalam suatu sistem, apalagi dalam sebuah sistem negara, butuh suatu pandangan yang praktis, dan pragmatis.
Kita memang memiliki satu pedoman lainnya yakni ijtihad. Tapi itu mustahil bagi sebuah gerakan pemuda Islam. Persyaratan untuk ijtihad tidak dapat mereka penuhi.
PII tidak bisa keluar dari jalur Masyumi. Karena bila itu terjadi, maka identitas PII menjadi kabur. Gerakan PII sepenuhnya adalah semangat Islamisme. Sebab itulah, paradigma Islam gagasan Kuntowijoyo adalah panduang paling kompatibel untuk PII.
Cak Nur jauh-jauh hari telah menyadari stagnansi Islam sebagai sistem. Dia adalah pembelajar yang baik dari kegagalan Masyumi. Di Menteng Raya dia telah menawarkan agar PII dan gerakan Islam lainnya menjadi gerakan yang inklusif.
Cak Nur pernah menawarkan PII dan gerakan Islam lainnya supaya menjadi organisasi yang sekular (bukan sekularisme) melalui makalah fenomenalnya "Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam". Pada kesempatan itu, Cak Nur memperingatkan bahwa sebuah gerakan Islam, bila masih memandang Islam sebagai sistem, maka akan mengalami stagnansi. Islam, dalam pandangam Cak Nur, adalah sebuah nilai inklusif, bukan sebuah sistem yang ekslusif.
Kader PII yang penuh semangat mengambil pola gerakan Masyumian melihat gagasan Cak Nur itu tidak mencitrakan Islam sebagai sebuah semangat ideologis, sehingga pandangan Cak Nur itu ditolak.
Pandangan Cak Nur itu berjalan dengan baik di HMI karena masa itu memang dialah ketuanya. Lalu untuk menyempurnakan pandangannya, Cak Nur mendirikan Paramadina yang menurutnya, demikianlah cita-cita ideal Masyumi.
Mengejutkan sekaligus amat mengesankan ketika Paramadina diakui sebagai representasi ideologi Masyumi. Memang tidak dapat dipungkiri, ketika didirikan, cita-cita Masyumi memang untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang relijius, terbuka, dan kosmopolit.
Masyumi mengalami radikalisasi akibat reaksi atas radikalisasi PKI. Ketika menjadi semakin radikal, Islamisme memang tidak dapat membuat negara bhineka seperti Indonesia menjadi semakin baik.
Setelah dibubarkan Soekarno, pembiaran Soeharto membuat sebagian kelompok islamis menjadi semakin radikal. Bahkan berafiliasi dengan organisasi tans-nasional seperti Taliban, Ikhwanul Muslim, dan Hizbut Tahrir. Akibatnya, terjadi fundamentalisasi radikal atas kelompok islamis. Gejala ini juga berdampak pada PII yang mengalami radikalisasi yang semakin hebat. Sementara Cak Nur telah "menyelamatkan" HMI dengan NDP-nya.
Pada akhir abad keduapuluh, sebagian kader PII yang sadar dengan gejala zaman, berusaha menyelamatkan PII dengan Falsafah Gerakan, menggantikan sistem POIN yang telah semakin mengarah pada pola tarbiyah yang diinfiltrasi dari gerakan trans-nasional.
Sayangnya, memasuki dekade kedua abad keduapuluh, Falsafah Gerakan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kembali berwajah tarbiyah-jihadis.
Tugas PII memang tidak sebesar tugas mengelola sebuah negara bhineka seperti Indonesia, sehingga tidak perlu menjadi sekular. Paradigma Islamisme masih memungkinkan untuk PII. Tetapi PII dan kader PII perlu memberikan kontribusi bagi negara Indonesia, sehingga tidak boleh menjadi organisasi radikal yang kontraproduktif dengan paradigma dan falsafah negara.
Kita tidak berharap PII menjadi organisasi sekular seperti idenya Cak Nur, apalagi kosmopilit seperti idenya Gus Dur. Tapi kita tidak menginginkan PII berubah menjadi semakin radikal. Bila menjadi radikal, maka gerakan PII menjadi kontradiktif dengan cita-cita Indonesia Maju. Untuk itulah, supaya dapat menjaga identitasnya, sekaligus berkontribusi dalam rangka menuju Indonesia sebagai negara maju, gagasan objektivikasi Kuntowijoyo, dan semangat pemikiran M.Dawam Rahardjo adalah gagasan paling cocok untuk menginspirasi perumusan kembali falsafah gerakan PII. Kedua tokoh itu adalah kader PII, mengakar hingga ke sum sum.
#subjektivikasiislam
Islam, yang semangat dasarnya adalah Alquran, Hadits, adalah panduan paradigma ideal, bukan pedoman perangkat teknis. Padahal untuk sebuah tata, apalagi tata negara, pandangan ideal tidak memadai, dalam tata negara, juga meniscayakan panduan teknis. Sementata Alquran dan Hadits adalah sebuah pesan universal dan abstrak.
Kita memang punya landasan ideal lainnya yakni Ijma' dan Qiyas. Tetapi hingga hari ini kita hanya menggunakannya dalam tatanan ibadah mahdhah. Padahal dalam suatu sistem, apalagi dalam sebuah sistem negara, butuh suatu pandangan yang praktis, dan pragmatis.
Kita memang memiliki satu pedoman lainnya yakni ijtihad. Tapi itu mustahil bagi sebuah gerakan pemuda Islam. Persyaratan untuk ijtihad tidak dapat mereka penuhi.
PII tidak bisa keluar dari jalur Masyumi. Karena bila itu terjadi, maka identitas PII menjadi kabur. Gerakan PII sepenuhnya adalah semangat Islamisme. Sebab itulah, paradigma Islam gagasan Kuntowijoyo adalah panduang paling kompatibel untuk PII.
Cak Nur jauh-jauh hari telah menyadari stagnansi Islam sebagai sistem. Dia adalah pembelajar yang baik dari kegagalan Masyumi. Di Menteng Raya dia telah menawarkan agar PII dan gerakan Islam lainnya menjadi gerakan yang inklusif.
Cak Nur pernah menawarkan PII dan gerakan Islam lainnya supaya menjadi organisasi yang sekular (bukan sekularisme) melalui makalah fenomenalnya "Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam". Pada kesempatan itu, Cak Nur memperingatkan bahwa sebuah gerakan Islam, bila masih memandang Islam sebagai sistem, maka akan mengalami stagnansi. Islam, dalam pandangam Cak Nur, adalah sebuah nilai inklusif, bukan sebuah sistem yang ekslusif.
Kader PII yang penuh semangat mengambil pola gerakan Masyumian melihat gagasan Cak Nur itu tidak mencitrakan Islam sebagai sebuah semangat ideologis, sehingga pandangan Cak Nur itu ditolak.
Pandangan Cak Nur itu berjalan dengan baik di HMI karena masa itu memang dialah ketuanya. Lalu untuk menyempurnakan pandangannya, Cak Nur mendirikan Paramadina yang menurutnya, demikianlah cita-cita ideal Masyumi.
Mengejutkan sekaligus amat mengesankan ketika Paramadina diakui sebagai representasi ideologi Masyumi. Memang tidak dapat dipungkiri, ketika didirikan, cita-cita Masyumi memang untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang relijius, terbuka, dan kosmopolit.
Masyumi mengalami radikalisasi akibat reaksi atas radikalisasi PKI. Ketika menjadi semakin radikal, Islamisme memang tidak dapat membuat negara bhineka seperti Indonesia menjadi semakin baik.
Setelah dibubarkan Soekarno, pembiaran Soeharto membuat sebagian kelompok islamis menjadi semakin radikal. Bahkan berafiliasi dengan organisasi tans-nasional seperti Taliban, Ikhwanul Muslim, dan Hizbut Tahrir. Akibatnya, terjadi fundamentalisasi radikal atas kelompok islamis. Gejala ini juga berdampak pada PII yang mengalami radikalisasi yang semakin hebat. Sementara Cak Nur telah "menyelamatkan" HMI dengan NDP-nya.
Pada akhir abad keduapuluh, sebagian kader PII yang sadar dengan gejala zaman, berusaha menyelamatkan PII dengan Falsafah Gerakan, menggantikan sistem POIN yang telah semakin mengarah pada pola tarbiyah yang diinfiltrasi dari gerakan trans-nasional.
Sayangnya, memasuki dekade kedua abad keduapuluh, Falsafah Gerakan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kembali berwajah tarbiyah-jihadis.
Tugas PII memang tidak sebesar tugas mengelola sebuah negara bhineka seperti Indonesia, sehingga tidak perlu menjadi sekular. Paradigma Islamisme masih memungkinkan untuk PII. Tetapi PII dan kader PII perlu memberikan kontribusi bagi negara Indonesia, sehingga tidak boleh menjadi organisasi radikal yang kontraproduktif dengan paradigma dan falsafah negara.
Kita tidak berharap PII menjadi organisasi sekular seperti idenya Cak Nur, apalagi kosmopilit seperti idenya Gus Dur. Tapi kita tidak menginginkan PII berubah menjadi semakin radikal. Bila menjadi radikal, maka gerakan PII menjadi kontradiktif dengan cita-cita Indonesia Maju. Untuk itulah, supaya dapat menjaga identitasnya, sekaligus berkontribusi dalam rangka menuju Indonesia sebagai negara maju, gagasan objektivikasi Kuntowijoyo, dan semangat pemikiran M.Dawam Rahardjo adalah gagasan paling cocok untuk menginspirasi perumusan kembali falsafah gerakan PII. Kedua tokoh itu adalah kader PII, mengakar hingga ke sum sum.
#subjektivikasiislam
QUO VADIS GERAKAN ISLAM
Reviewed by Miswari
on
19.12
Rating:
Reviewed by Miswari
on
19.12
Rating:

Tidak ada komentar: