CAHAYA MASA DEPAN LITERASI

Saya telah membaca buku 'The Reconstruction...' Iqbal dalam berbagai versi terjemahan, mulai dari penerbit Bulan Bintang, Tintamas, Jalasutra, Mizan, dan lainnya. Setiap edisi terjemahan yang dibaca, seperti membaca buku yang berbeda. Pertama saya baca edisi Tintamas. Itu sekitar semester tiga sarjana. Terakhir adalah edisi Mizan. Itu setelah tamat ICAS. Sebelumnya saya mengira, membaca edisi Tintamas sangat sulit karena bekal pemahaman filsafat saya masih rendah. Tetapi setelah saya periksa kembali edisi Tintamas, ternyata memang penerjemahannya sangat sulit. Bahkan banyak maknanya kurang akurat. Membaca edisi Mizan menjawab kecurigaan saya. Ternyata memang benar bahwa karya Iqbal itu sebenarnya bukan buku filsafat tetapi lebih mengarah kepada buku tasawuf. Lebih tepatnya buku itu adalah filsafat mistisme. Objek kajiannya adalah tasawuf, pendekatan yang digunakan adalah filsafat. Bahkan saya lebih suku judul edisi mizan adalah 'Rekonstruksi Tasawuf Falsafi'. Karena sebenarnya pemikiran religius itu adalah mistisme Islam. Juga tidak perlu lagi 'dalam islam'. Karena kalau memakai istilah tasawuf, sudah pasti itu dalam Islam.

Kita perlu memaklumi bahwa penerjemah, penyunting, editor, masa lalu belum memiliki padanan kata yang tepat untuk menerjemahkan filsafat seperti hari ini. Pada masa itu, kaidah, filsafat, dan mistisme juga belum dipahami. Bahkan filsafat di Indonesia baru berjalan dengan baik sejak banyaknya dosen Driyarkara dan Sanata Darma pulang dari Eropa. Untuk filsafat Islam, baru diperkenalkan dengan baik oleh ICAS dan menjadi konsumsi masyarakat luas sejak mizan menerbitkan seri filsafat Islam yang melibatkan Husein Heriyanto, Musa Kazim, dan Mulyadhi Kartanegara.
Setelah itu, barulah pemahaman filsafat tasawuf teoretis dapat dipelajari dan dipahami dengan lebih baik. Tetapi transformasi ini tidak mudah. Karena masih banyak generasi sebelumnya yang masih memahami filsafat dengan cara lama yang rumit, menganggap filsafat tidak lebih dari bagian ilmu sosial, kesulitan menerima klasifikasi filsafat, kesulitan membedakan teologi, filsafat, dan tasawuf falsafi, dan segudang masalah lainnya. Akhirnya yang dapat dilakukan adalah terus melakukan dialog antara generasi lama dan generasi baru.
Saya sendiri menaruh hormat yang sangat tinggi pada generasi baru karena mereka benar-benar mendayagunakan keberkahan khasanah yang tersedia. Kaidah kaidah filsafat dan mistisme menjadi terpahami. Kecerdasan mereka juga sangat mengagumkan. Hal ini tidak hanya ditemukan dalam studi filsafat, tapi juga pada hampir semua segmen literasi.
Bulan lalu saya membeli sebuah buku tua, 'Max Havelaar' yang ditulis oleh Multatuli. Kalau tidak salah saya membelinya 90 ribu. Sebelumnya saya sudah membaca edisi baru yang masih dijual di Gramedia. Saya bandingkan, memang kualitasnya jauh berbeda. Bukan karena buku baru itu bikin semangat, tetapi diksinya jauh berbeda. Edisi baru jauh lebih renyah, lebih nikmat, dan lebih mudah dipahami sehingga hanya butuh beberapa jam untuk menamatkannya. Demikian jua buku 'Orang Aceh' karya Snouck. Buku itu jauh lebih nikmat, mudah dipahami, tidak berbelit, seperti edisi lama yang diberi judul ‘Aceh di Mata Kolonial'.
Banyak buku lama lain yang diterjemahkan ulang, atau diedit kembali, atau disunting ulang, menjadi sangat enak dibaca. Buku buku baru juga sangat enak dibaca. Saya membaca naskah 'Wahdah al-Wujud Hamzah Fansuri' yang telah saya kirim ke penerbit. Lalu saya bandingkan dengan naskah yang sudah diterbitkan Basabasi. Perbedaannya seperti langit dan bumi. Buku yang telah diedit di Basabasi sangat enak dibaca, mudah dipahami, dan diksinya menjadi sangat indah. Teman-teman banyak yang memuji saya dan mengatakan kagum kepada saya karena ternyata saya dapat menulis dengan enak. Sebenarnya saya malu dengan pujian itu. Kerena kalau saja mereka membaca naskah yang belum disentuh editor, tulisannya buruk sekali.
Dari pengalaman-pengalaman itu saya menjadi sangat kagum pada generasi baru yang bergiat di dunia literasi. Mereka mampu menghadirkan karya dengan sangat indah, diksinya tepat, dibacanya enak. Di tangan mereka, sebuah buku yang dulunya untuk membacanya adalah sebuah tindakan nekat dan mengorbankan waktu, hari ini membaca buku menjadi suatu kenikmatan yang membahagiakan.
 an.
CAHAYA MASA DEPAN LITERASI CAHAYA MASA DEPAN LITERASI Reviewed by Miswari on 22.06 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.