Mengendalikan emosi dan tidak membuang energi sia-sia adalah kunci. Harapan, sebagai energi primordial, ditekankan melalui kisah tikus dan ajaran Tuhan . Menuntut keadilan dari manusia dianggap sia-sia karena keadilan itu abstrak, dan orang sering dipengaruhi bisikan daripada pertimbangan matang
Hanya ada dua pilihan menuju kebahagiaan. Pertama adalah berkata, “Tidak”. Atau, kedua, mengatakan, “Iya,” dan melaksanakannya sepenuh hati. Dengan mengatakan “Tidak”, berarti bersiap untuk tidak menghakimi mereka yang telah bersedia terlibat. Bila terjadi situasi gonjang-ganjing, namun kita tidak berada di dalam pusaran, pilihan yang tepat adalah bersikap santai tanpa mengusik siapapun hatta dengan sikap dan raut wajah sekalipun.
Seekor bebek akan dia mematung dalam hujan
ketika tidak ada tempat berteduh. Itu dilakukan karena tidak ingin
membuang-buang energi dengan sia-sia. Mereka membutuhkan cadangan energi yang
banyak untuk menghadapi musim tidak menguntungkan yang panjang. Orang yang
mengatakan “Iya”, tidak boleh terlalu agresif dan bekerja dengan semangat
berlebihan. Mereka harus mampu mengendalikan emosi: situasi yang akan dihadapi
itu tidak menentu: terkadang menggembirakan dan terkadang menyebalkan. Bila
tidak dapat mengendalikan emosi secara stabil, energi yang dikeluarkan tidak
akan proporsional. Kelelahan membuat pikiran tidak dapat bekerja dengan baik.
Akibatnya, akan muncul kemarahan: Suatu perasaan yang sebenarnya tidak jelas
apakah ia memiliki objek atau tidak.
Orang-orang yang marah akan merasa dirinya
berada dalam situasi tidak adil. Untuk itu, dia akan mencari seseorang untuk
dijadikan kambing hitam. Kenapa demikian? Karena keadilan dan ketidak adilan
itu sifatnya abstrak. Tidak mungkin yang dituntut itu adalah si ketidakadilan.
Tentu predikat itu akan dilekatkan kepada seseorang agar ketidakadilan dapat digugat.
Keadilan itu adalah istilah yang tidak
memiliki subjek konkrit. Namun semua orang menginginkannya. Orang-orang yang
menggugat ketidakadilan sebenarnya berada dalam posisi berjalan menuju
keadilan. Tidak ada yang pasti dalam perjalanan itu. Yang ada adalah usaha
untuk mendapatkan keadilan. Dalam perjalanan tersebut, daya dorong bagi orang
yang menuntut keadilan adalah harapan. Itu merupakan energi primordial bagi
makhluk hidup.
Pada pertengahan abad kedua puluh, seorang
ilmuwan memasukkan seekor tikus ke dalam sebuah wajan berisi air. Setelah dua
puluh empat jam, tikus itu akan tenggelam. Ilmuwan mengangkat tikus tersebut,
membersihkannya, lalu memasukkannya kembali ke dalam wajan. Ternyata pada kali
kedua itu, tikus bertahan lebih dari lima puluh jam. Kenapa itu terjadi? Karena
pada percobaan kedua itu, tikus memiliki harapan akan diselamatkan.
Tidak ada energi yang dapat membuat
seseorang bertahan, kecuali dengan harapan. Sebab itulah, Tuhan mengingatkan
bahwa kepada orang yang dizalimi, agar berhati-hati apabila dia mengadu dan
berharap kepada Tuhan. Kenapa Tuhan? Karena Dia sendiri memberikan banyak
harapan. Tuhan menegaskan bahwa Dia adalah Pengasih dan Penyayang. Bila manusia
berjalan kepada Tuhan dengan berjalan, Tuhan mengatakan Dia akan mendatangi
orang itu dengan berlari.
Seseorang yang memiliki dosa sebesar
apapun, juga diberikan harapan. Tuhan mengatakan bahwa bila hamba melakukan
dosa sebesar lautan, pengampunan yang Dia berikan sebesar alam semesta. Sebab
itulah Iblis dikutuk. Dia melepaskan harapannya kepada Tuhan. Padahal jika dia
mau bertaubat, pengampunan Tuhan satu juta kali lebih besar dibandingkan seribu
dosa yang dia perbuat.
Sebenarnya tidak ada gunanya menuntut
keadilan dari manusia. Kaidah filsafat mengatakan, yang tidak memiliki, tidak
dapat memberikan. Setiap orang hanya bisa mengusahakan keadilan. Tidak ada yang
benar-benar meraihnya. Oleh sebab itu, menuntut keadilan dari manusia adalah
pekerjaan sia-sia.
Sayangnya, banyak orang bertindak bukan
karena berdasarkan hasil pertimbangan yang matang, melainkan akibat dari
pengaruh bisikan, provokasi, kata-kata motivasi yang terus-menerus datang ke
telinganya. Padahal mereka yang membisikkan, memprovokasi, dan memberi
kata-kata motivasi, berbicara sekenanya saja berdasarkan mood mereka
masing-masing. Ada yang mengatakan dia telah menempuh langkah tersebut karena
berdasarkan perenungan yang mendalam dan telah melakukan pertimbangan yang
matang. Namun sebenarnya yang mereka renungkan adalah bisikan, provokasi, dan
motivasi yang telah mengendap dalam kepalanya. Dalam keadaan kita sedang
bertindak, mereka yang membisikkan, memprovokasi, dan memberi kata-kata
motivasi hanya duduk diam dan menikmati usaha kita mencari sesuatu yang disebut
keadilan, persis seperti seorang penggemar tinju sedang asyik menonton siaran
langsung. Sesekali mereka mengeluarkan bisikan, provokasi, dan motivasi, bukan
untuk kebaikan kita yang sedang berusaha, melainkan untuk melengkapi kesenangan
mereka sendiri yang sedang menikmati pertandingan.
Reviewed by Miswari
on
06.38
Rating:

Tidak ada komentar: