Humanisme Islam

Masyarakat Yatsrib tidak mengenal ajaran-ajaran yang diterima Allah dari Tuhan. Yang dipahami dengan baik oleh mereka adalah Muhammad itu adalah sosok ideal yang memiliki kepribadian luhir, santun, jujur. Intinya Muhammad adalah sosok ideal yang dibutuhkan kabilah-kabilah di Yatsrib untukdapat memimpin mereka.

Sebelumnya, masyarakat Yatsrib tidak pernah mencapai kesepakatan untuk menentukan siapa dan dari kabilah mana yang cocok memimpin masyarakat yang multikultural tersebut. Mendengar sosok Muhammad dan kepribadiannya yang luhur melalui orang-orang Yatsrib yang pulang dari Makkah, maka perwakilan-perwakilan kabilah di Yatsrib sepakat membujuk Muhammad agar bersedia tinggal di Yatsrib untuk memimpin mereka.



Awalnya Muhammad menolak. Beliau tidak pernah berpikir untuk hengkang dari Makkah, kota yang amat dicintainya. Tetapi setelah datang perintah dari Allah, akhirnya Nabi Muhammad bersedia. Perpindahan tersebut diawali oleh gelombang pengikut Muhammad yang telah menjadi Muslim.

Tentu saja pengikut Muhammad yang hijrah dari Makkah yang dikenal sebagai Muhajirin diterima dengan baik oleh masyarakat Yatsrib yang dikenal dengan Ansor, karena sangat senang dengan berkenannya Muhammad pindah ke Yatsrib.

Masyarakat Yatsrib sangat bahagia dengan kehadiran pemimpin baru mereka. Yang perlu ditegaskan di sini adalah, kepatuhan masyarakat Yatsrib kepada Muhammad adalah karena kepribadian sosok tersebut. Masyarakat Yatsrib sebenarnya tidak peduli dengan wahyu-wahyu yang diterima Muhammad dari Tuhan. Yang mereka hormati dan taati adalah titah-titah Muhammad. Karena mereka menghormati beliau.

Dalam hal ini, terdapat pelajaran penting tentang bagaimana Islam itu disebarkan. Apabila penyebar ajaran Islam melakukannya dengan cara-cara yang kurang santun, maka orang-orang akan resisten. Apabila dilakukan dengan kekerasan, maka orang-orang akan melawan. Yang menjadi kunci penyampaian suatu pesan adalah informannya, pendakwahnya, sosok penyampai informasi. Dalam hal ini, sikap santun dan kedekatan emosianal menjadi faktor utama.

Pola pengajaran Islam dengan kekerasan tidak akan membumi. Islam yang diajarkan dengan kekerasan seperti gerakan Padri di Sumatra Barat tidak meninggalkan bekas. Akhirnya yang bertahan dalam masyarakat tetap kebudayaan lokal. Kenapa demikian? Karena cara-cara kekerasan yang mengatasnamakan agama dilakukan oleh orang-orang yang berpandangan literalistik terhadap agama. Mereka tidak sadar bahwa yang diajak itu adalah manusia. Manusia adalah makhluk yang paling sensitif atau paling terikat dengan alamnya.

Budaya yang dibangun masyarakat adalah hasil evolusi harmonisasi manusia dengan alamnya. Apabila harmonisme ini diganggu, seperti cara kerja kelompok Islam tertentu yang melabeli kebudayaan masyarakat dengan predikasi-predikasi negatif (bida'h, khurafat, dalalah), maka geraka tersebut sama sekali perlu ditolak karena tidak kompatibel untuk manusia.

Kristenisasi di Tapanuli dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang humanis. Misionaris mencoba mengajarkan Kristen dengan mendahulukan solusi-solusi atas problem yang dihadapi masyarakat. Artinya mereka paham dengan makna kemanusiaan dan tahu bagaimana caranya mengajak manusia.

Demikian juga Wali Songo yang berdakwah dengan mengedepankan tawaran-tawaran atas persoalan yang dihadapi masyarakat Jawa. Hasilnya adalah Islam menjadi agama yang dominan di Jawa dan sebagian masyarakat Tapanuli menjadi Kristen yang taat hingga hari ini.

Dengan demikian, humanisme merupakan prinsip keberagamaan di Indonesia. Karena itulah, Islam Indonesia tidak menganut prinsip beragama yang literalistik. Muslim Indonesia mengejawantah nilai-nilai Islam ke dalam kediriannya, menafsirkannya dalam kehidupan, menyesuaikannya dengan lingkungan praktis. Sehingga, nilai-nilai Islam yang dihayati menjadi aplikatif dalam kehidupan.

Islam aplikatif adalah Islam yang telah disesuaikan dengan horison dunia manusia sehingga nilai-nilainya selalu kompatibel untuk diterapkan dalam kehidupan. Istilahnya ini dapat disebut dengan membumikan langit, atau membumikan Islam, atau membumikan Alquran.

Bandingkan dengan kelompok yang berpaham literalistik. Mereka selalu berusaha melangitkan bumi, sehingga paham-paham yang hendak mereka terapkan selalu stagnan. Paham demikian persis seperti cara paham Khawarij.

Khawarij berpaham, Alquran harus diterapkan secara literalistik. Apabila mereka memahami hukum Allah harus diterapkan, mereka menginginkan apa yang ditulis di dalam Alquran dijadikan panduan mentah. Mereka menyangka Alquran adalah persis seperti rambu-rambu lalu lintas yang dipajang di pinggir jalan. Padahal bahkan Alquran tidak dapat diperlakukan seperti buku panduan memasak. Alquran harus dicerna terlebih dahulu oleh manusia, harus dimaknai, dan ditemukan kaidah penerapannya yang sesuai dengan lingkungan, hirison manusia dan beberapa hal lainnya yang perlu diperhatikan.

Alquran itu seperti air hijan yang turun dari langit. Tidak serta-merta dapat menumbuhkan pohon dan menghasilkan buah. Air hujan perlu tanah yang sesuai, cuaca yang mendukung, untuk tumbuhnya pohon. Demikian juga Alquran perlu manusia yang sesuai, lingngan yang mendukung, agar pesan-pesan Alquran dapat tumbuh menjadi Islam.

Kelompok literaslistik dan reaksioner seperti Khawarij tidak paham itu. Mereka mengklaim, musyawarah yang diterapkan Ali bin Abi Thalib itu bukan menerapkan hukum Allah. Bahkan mengklaim musyawarah sebagai bentuk pengingkaran terhadap hukum Allah sehingga Ali dan para pengikutnya mereka anggap kafir (Said Aqil Siraj, Islam & Kebhinekaan, ed: Rumtini Iksan, Jakarta: Gramedia, 2019, Tt, 69-70)

Paham literalistik model Khawarij ini terlahir kembali pasca Kolonialisme. Banyak orang menginginkan negara bangsa yang dihuni mayoritas Muslim ditegakkan sebagai negara Islam. Dan ternyata mereka menginginkan negara Islam itu sistemnya adalah kekhilafahan. Padahal sistem khilafah itu adalah sistem pada masa empat khulafaurrasyidin. Selanjutnya adalah moinarki absolud, hingga runtuhnya Turki Utsmani.

Neo-Khawarij ini menginginkan sistem negara bangsa yang dihumi mayoritas Muslim tidak menganut sistem demokrasi permusyawaratan. Sama seperti Khawarij, menreka mengklaim permusyawaratan itu bukan hukum Tuhan tetapi melawan hukum Tuhan. Padahal sistem khilafaurrasyidin adalah demokrasi permusyawaratan.

Paham radikal, nao-Khawarij tetap memiliki pengikut yang banyak hingga hari ini karena banyak orang yang terlambat menyadari agama itu penting dalam kehidupan. Sehingga mereka baru belajar Islam  secara otodidak setelah melewati masa remaja. Akibatnya, paham agamanya menjadi literalistik, tidak paham skala prioritas, dan bersikap reaksioner. Orang-orang beginilah yang selalu merongrong kedaulatan bangsa, bersikap intoleran, merasa merekalah yang paling benar. Mereka berusaha supaya orang lain mengikuti paham keagamaan mereka yang dangkan. Subjektivikasi Islam terus mereka perjuangkan.

Terkadang kelompok reaksioner itu paham bahwa mereka dibenci orang. Tetapi mereka meyakini bahwa mereka dibenci karena mereka membawa kebenaran. Sehingga yang membenci mereka dianggap orang yang sesat. Jadi orang sesat membenci orang yang benar. Begitu rumus mereka. Sehingga kelompok literalistik ini mengusung kekeliruan berlapis. Pertama mereka tidak paham agama secara mendalam, lalu mengklaim diri yang paling benar. Kedua cara menyebarkan agama yang merteka lakukan itu tidak santun. Padahal orang-orang tidak akan bersedia menerima suatu ajakan apabila dilakukan dengan paksaan.

Kita perlu ingat kembali bahwa Nabi Muhammad memiliki banyak pengikut bukan karena muatan agama yang dia ajarkan. Orang-orang mengidakan Muhammad karena kepribadiannya yang luhir, sikapnya yang santun.

#subjektivikasiislam
Humanisme Islam Humanisme Islam Reviewed by Miswari on 13.28 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.