Sebelumnya dari Ujong Pancu hingga Ujong Batee Aceh Besar berbentuk tanjung. Karena tsunami hingga tiga puluh meter terjadi tiga ratus tahun sekali dan tsunami enam meter terjadi seratus tahun sekali, maka sekarang bentuknya menjadi tanjung.
Pada lokasi itulah tempat transit favorit kapal-kapal yang berlabuh antara Cina dan Timur tengah. Kapal-kapal melewati antara Pulau Weh dan Pulau Breuh-Puulau Nasi untuk bersandar: berdagang dan mengisi perbekalan.
Maka titik lokasi perdagangan kosmopolitan adalah Ujong Pancu hingga Ulee Lhee yang sekarang telah sangat banyak terkikis.
Di masa dahulu, disanalah letak bandar terbesar di Nusantara. Orang-orang dari Timur Tengah menyebutnya Fansuri atau Fansuria.
Di Fansur, tidak selalu menjadi bandar terbesar sepanjang masa. Sebwlum Fansur, Pasai telah menjadi bandar terbesar. Sebwlum Pasai, Lamuri telah menjadi bandar terbesar.
Kemajuan Fansur terjadi pada abad ke-14 dan abad ke-15. Pada masa itulah Hamzah Fansuri berkarir sebagai Mufti Kesultanan Aceh Darussalam.
Membaca sejarah Aceh secara objektif akan membuat kecewa. Biasanya sejarah dibangun dengan bumbu-bumbu praktis dan istan seperti micin. Enak, tetapi beresiko tinggi. Karena memang orang Aceh, demikian juga bangsa-bangsa lainnya, membangun sejarah bangsanya dengan semangat mitologis. Kita mengenal Aceh sebagai bangsa unggul di muka bumi. Aceh pernah memiliki kekuasaan yang luas, memiliki raja yang disegani, dan sebagainya.
Pada lokasi itulah tempat transit favorit kapal-kapal yang berlabuh antara Cina dan Timur tengah. Kapal-kapal melewati antara Pulau Weh dan Pulau Breuh-Puulau Nasi untuk bersandar: berdagang dan mengisi perbekalan.
Maka titik lokasi perdagangan kosmopolitan adalah Ujong Pancu hingga Ulee Lhee yang sekarang telah sangat banyak terkikis.
Di masa dahulu, disanalah letak bandar terbesar di Nusantara. Orang-orang dari Timur Tengah menyebutnya Fansuri atau Fansuria.
Di Fansur, tidak selalu menjadi bandar terbesar sepanjang masa. Sebwlum Fansur, Pasai telah menjadi bandar terbesar. Sebwlum Pasai, Lamuri telah menjadi bandar terbesar.
Kemajuan Fansur terjadi pada abad ke-14 dan abad ke-15. Pada masa itulah Hamzah Fansuri berkarir sebagai Mufti Kesultanan Aceh Darussalam.
Membaca sejarah Aceh secara objektif akan membuat kecewa. Biasanya sejarah dibangun dengan bumbu-bumbu praktis dan istan seperti micin. Enak, tetapi beresiko tinggi. Karena memang orang Aceh, demikian juga bangsa-bangsa lainnya, membangun sejarah bangsanya dengan semangat mitologis. Kita mengenal Aceh sebagai bangsa unggul di muka bumi. Aceh pernah memiliki kekuasaan yang luas, memiliki raja yang disegani, dan sebagainya.
Kita hanya disajikan sejarah dari permukaan. Kita hanya mengagumi seorang sultan berikut kiprahnya untuk bangsa. Kita tidak diberi tahu kenapa raja-raja mati, dan bagaimana latar belakang seorang raja dilantik.
Melalui eksplorasi dokumen-dokumen dari berbagai sumber, Denys Lombard menunjukkan bahwa sebenarnya kondisi Kesultanan Aceh sangat buruk. Seorang raja dilantik dan diturunkan ditentukan oleh kecenderungan orang-orang kaya atau pengusaha di sana.
Sebagai salah satu kota dan pelabuhan tersibuk di dunia, Aceh dan Kutaraja (Banda Aceh) adalah tempat perputaran ekonomi yang sangat besar. Proses ini dikendalikan pada pengusaha. Regulasi-regulasi sosial ekonomi ditentukan melalui jalur politik yang pada masa itu dimainkan melalui peraturan adat. Penguasa adat adalah sultan. Untuk itu, para pengusaha sangat berkepentingan dengan sultan. Pengusaha bersedia memberikan upeti yang besar kepada sultan bila mendukung dan mempermudah regulasi. Sebaliknya konspirasi dilakukan dengan menggulingkan (tetapi lebih sering dibunuh) apabila menghambat regulasi bagi pengusaha.
Begitu besarnya Kota Banda Aceh waktu itu (Abad ke15 dan/atau abad ke-16) sehingga sebuah dokumen berbahasa Portugal sebagaimana dilampirkan dan diterjemahkan oleh Lombard (2014: 266) melaporkan, "... penduduknya padat hingga orang hampir tak bisa lewa di jalan." Sehingga perputaran uang terjadi dalam jumlah yang sangat besar. Semua itu berada di bawah kendali para pengusaha.
Di dunia tidak ada yang lebih berkuasa dan menentukan kekuasaan selain uang. Setidaknya begitulah yang menjadi prinsip para pengusaha di sana. Mereka mengadakan pertemuan untuk mendukung atau melengserkan seorang sultan. Itu mereka lakukan semata-mata untuk kelancaran perniagaan mereka.
Dari sisi kebhinekaan, Aceh lebih demokratis daripada Republik Indonesia. Sebagai republik saja, Indonesia hanya memilih presiden dari satu suku saja. Tetapi sebagai kerajaan, Aceh melantik raja dari berbagai suku bangsa. Ibu Kota Jakarta hanya dihuni beragam suku di dalam negara Indonesia. Sementara Kutaraja dihuni oleh bergam suku bangsa dari berbagai penjuru dunia.
Sebenarnya sultan di Aceh tidak punya kekuatan apapun dan tidak ada pihak manapun yang punya alasan untuk takut kepada mereka. Ketika kakeknya Iskandan Muda saja para uleebalang di Aceh Besar berhasil disatukan. Namun karena terlalu baik kepada
rakyat dan menghambat pengusaha, dia dihentikan.
Selanjutnya koalisi para pengusaha di Pidie menciptakan Iskandar Muda menjadi sultan. Tentunya dia didukung untuk memudahkan kegiatan usaha para saudagar. Iskandar Muda sukses menjalankan tugasnya. Banyak kota pelabuhan yang berhasil ditundukkan. Para uleebalang dipaksa membayar upeti atau dihentikan.
Setelah Iskandar Muda mangkat, kota-kota pelabuhan di luar Aceh Besar kembali memperoleh kemerdekaannya. Kekekuasaan Iskandar Tsani yang diduking oleh sistem politisasi agama sangat menguntungkan para pengusaha. Iskandar tasi didukung oleh orang-orang beragama secara radikal.
Kekehadiran mereka dimanfaatkan pengusaha untuk mengadu domba. Kelompok radikal itu berhasil diadu domba dengan masyarakat yang melaksanakan budaya. Konflik agama terus-menerus terjadi dalam masa kekuasaan Iskandar Tsani.
Dalam masa kepemimpinan ratu, tidak hanya para pengusaha di Kutaraja, para uleebalang kecuali dari Aceh Besar dapat merayakan kejayaannya. Sebagaimana dikatakan Anthony Reid, Kesultanan Aceh hanya sempat besar pada masa Iskandar Muda saja.
Kesultanan Aceh Darussalam secara keseluruhannya hanya sebuah lembaga adat yang membuat hukum adat untuk diterapkan para uleebalang hanya dari kaki Gunung Seulawah hingga bukit Ujong Pancu.
Di luar itu, setiap kota dipimpin oleh raja masing-masing yang disebut uleebalang. Mereka sama sekali tidak berhubungan dengan orang-orang di balik gunung Seulawah. Bahkan kenalpun tidak.
Sebenarnya sultan di Aceh tidak punya kekuatan apapun dan tidak ada pihak manapun yang punya alasan untuk takut kepada mereka. Ketika kakeknya Iskandan Muda saja para uleebalang di Aceh Besar berhasil disatukan. Namun karena terlalu baik kepada
rakyat dan menghambat pengusaha, dia dihentikan.
Selanjutnya koalisi para pengusaha di Pidie menciptakan Iskandar Muda menjadi sultan. Tentunya dia didukung untuk memudahkan kegiatan usaha para saudagar. Iskandar Muda sukses menjalankan tugasnya. Banyak kota pelabuhan yang berhasil ditundukkan. Para uleebalang dipaksa membayar upeti atau dihentikan.
Setelah Iskandar Muda mangkat, kota-kota pelabuhan di luar Aceh Besar kembali memperoleh kemerdekaannya. Kekekuasaan Iskandar Tsani yang diduking oleh sistem politisasi agama sangat menguntungkan para pengusaha. Iskandar tasi didukung oleh orang-orang beragama secara radikal.
Kekehadiran mereka dimanfaatkan pengusaha untuk mengadu domba. Kelompok radikal itu berhasil diadu domba dengan masyarakat yang melaksanakan budaya. Konflik agama terus-menerus terjadi dalam masa kekuasaan Iskandar Tsani.
Dalam masa kepemimpinan ratu, tidak hanya para pengusaha di Kutaraja, para uleebalang kecuali dari Aceh Besar dapat merayakan kejayaannya. Sebagaimana dikatakan Anthony Reid, Kesultanan Aceh hanya sempat besar pada masa Iskandar Muda saja.
Kesultanan Aceh Darussalam secara keseluruhannya hanya sebuah lembaga adat yang membuat hukum adat untuk diterapkan para uleebalang hanya dari kaki Gunung Seulawah hingga bukit Ujong Pancu.
Di luar itu, setiap kota dipimpin oleh raja masing-masing yang disebut uleebalang. Mereka sama sekali tidak berhubungan dengan orang-orang di balik gunung Seulawah. Bahkan kenalpun tidak.
Uleebalang sebagai penguasa teritorinya menerapkan sistem kapilistik yang murni. Tidak boleh ada apapun yangbmenghalangi bisnis mereka. Dalam sistem kekuasaan Keujruen maupyn Sagoe, uleebalang mengontrol apapun. Tidak bileh ada imam-imam gampong yang berusaha menentang otoritas mereka. Kalau ada yang mencoba bersebarangan, maoa segera dihentikan dan diganti dengan imam yang dapat dikendalikan.
Prinsip sekularitas sangat dominan di Aceh. Geusyik dan imam memiliki perannya masing-masing. Sekularitas ini diawasi dengan baik oleh uleebalang.
#subjektivikasiislam
MAFIA ACEH
Reviewed by Miswari
on
16.07
Rating:
Reviewed by Miswari
on
16.07
Rating:

Tidak ada komentar: