Maddiyah

 

Di kampung saya, waktu saya kecil dulu, ada orang yang mengalami penyakit gila. Kabarnya, dulu dia adalah pria yang sangat tampan. Namun karena ketahuan mencuri kelapa, dia pura-pura gila. Kelapa yang dicuri kabarnya milik Stakmi, mungkin maksudnya Ustadz Amin, orang kaya di kampung, pensiunan pegawai negeri yang punya banyak kebun.

Sebagian mengatakan dia mencuri karena malas bekerja. Sebagian mengatakan karena dia hidup sangat miskin. Mungkin dua-duanya benar. Yang jelas dia sudah gila. Maddiyah berjalan kaki dari rumahnya belakang Paya Cut disebut Seundok, hingga Krueng Mane. Tidak ada lelahnya dia?

Maddiyah makan dari nasi sisa orang buang di pasar dan mengais apa yang bisa dia makan di tumpukan sampah. Kalau berjalan dia selalu di pinggir. Jalannya lurus, pandangan ke bawah, tidak lihat kiri kanan. Hanya mengenakan celana jins pendek sekali hingga ke pangkal paha.

Orang kampung tidak ada yang takut dengan dia karena tidak pernah mengganggu orang. Kalau ada anak-anak yang usil melempari dia, akan dimarahi orang kampung. Lagi pula jarang ada anak yang berani mendekatinya. Penampilan Maddiyah membuat anak kecil takut. Sebenarnya orang dewasa juga takut namun sudah biasa jadi tidak takut lagi.

Terkadang kalau pulang ke rumah dia dirantai oleh abangnya. Pekerjaan abangnya adalah menanam sayur-mayur. Waktu kecil aku sering melihat abangnya lewat dengan sepeda laki-laki dari selatan menuju pasar membawa hasil kebun seperti labu, gambas, kacang panjang ke pasar untuk dijual. Rupanya keluarga mereka memang benar-benar miskin. Aku jadi terharu.

Sementara Maddiyah sendiri kalau pulang pergi melalui sisi rumah kami di Paya Cut. Kabarnya Maddiyah menggali lubang di dalam tanah dekat rumahnya sebagai tempat dia menaruh barang-barang entah apa saya yang dibawa pulang. Barang-barang itu tidak jelas. Pokonya sama sekali tidak berharga bagi orang waras.

Membayangkan tempat addiyah aku jadi ingat dulu kami di Jungka Gajah pernah main rumah-rumahan secara ekstrem. Kami membuat galian sedala satu teter dengan lebar sekitar dua kali dua. Atapnya kami buat dari dedaunan dan sebagainya. Enak sekali mannya.

Waktu gempa dua ribu empat, ayah kebetulan di Krueng Mane. Beliau menghentikan mobilnya menunggu gempa reda. Kebetulah di dekatnya ada Maddiyah yang seperti biasa jalan kaki di pinggir jalan. Ayah bilang Maddiyah berkata,

''Hoo.. Hana roeh long, hana roeh long.. hoo''

(‘hoo’, maksudnya ‘berhenti’ atau ‘hentikan’, buka hoe yang artinya ‘ke mana’)

Kata ayah, benar juga yang dikatakan Maddiyah.

Karena di Krueng Mane air naik hingga jalan raya, ayah memutuskan kembali ke pasar ke warung kopi langganan di Matangglumpangdua.

“Kenapa pulang, Bang Man?’

“Banyak air laut ke tercurah hingga ke jalan raya.

“Dia atas meja dapur kopi juga banyak air tercurah,” kata si pembuat kopi sabil menertawakan tak percaya. Ayah diam saja karena sulit meyakinkan orang yang tidak percaya sama sekali. Rupanya istri si pembuat kopi sedang di banda Aceh naas ikut terseret gelomang tsunami.

“Aku mau bilang ke dia, kenapa air tercurah di warung kopi bisa menghanyutkan istrinya,” kata Ayah kepada ibu ingin membalas kekesalan.

“Jangan aneh-aneh. Orang sedang musibah ga boleh bebitu,” kata ibu melarang.

Meski dampaknya bisa mengenai siapa saja, masyarakat di kampung saya memahami gempa terjadi karena manusia banyak berbuat dosa. Sementara Maddiyah tidak terlibat dalam urusan berbuat dosa karena orang gila tidak terkena hukum agama. Jadi, gempa yang terjadi itu adalah ulah manusia, namun Maddiyah tidak terlibat. Makanya Maddiyah mengatakan ''Hana roeh long,'' artinya setidaknya begini: Saya tidak terlibat, atau saya tidak ikut-ikutan.

Michael Faucault dalam The Discourse of Language mengomentari manusia yang mengabaikan ucapan-ucapan orang gila. Mereka menganggap ungkapan-ungkapan orang gila itu tidak bermakna dan hanya meracau. Padahal, setiap ungkapan itu bermakna atau tidak tergantung pada maknanya, yakni apakah ia punya acuang (signified) atau tidak.

Dalam hal ini, bahkan ungkapan sebagian politikus yang dianggap normatif itu sebenarnya lebih gila daripada ucapan orang gila. Karena sebagian mereka hanya mengucapkan kata-kata yang acuannya tidak jelas seperti: kesetaraan, keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan sebagainya. Bahkan besar kemungkinan, mereka sendiri tidak paham kata yang keluar dari mulutnya.

Meskipun hanya makan makanan sisa, tapi Maddiyah selalu tampil bugar. Ini beda sekali dengan sebagian politikus yang sering makan enak, namun sering terkena berbagai jenis penyakit. Mungkin karena Maddiyah suka berjalan kaki. Para ahli mengatakan berjalan seribu langkah setiap hari membantu badan sehat. Sementara Maddiyah sepertinya setiap hari berjalan hampir sepuluh ribu. Setiap pergi, Maddiyah selalu berjalan. Kecuali berhenti sejenak bila menemukan kemungkinan ada makanan sisa di tumpukan sampah, kemudian kembali melangkah.

Meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berjalan ke tempat-tempat yang jauh, pada satu hari Maddiyah berada di lubang galiannya dekat rumah. Ibunya datang. Maddiyah mengeluh sakit. Ibunya memeluk Maddiyah. Dia meninggal di dalam dekapan ibunya.

Maddiyah Maddiyah Reviewed by Miswari on 21.01 Rating: 5

1 komentar:

  1. اللهم اغفر له واىحمه وعافه واعف عنه....

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.