Sewaktu
kecil sebelum sekolah, saya selalu minta ikut tiap Ayah ke luar rumah.
Satu malam, saya minta ikut. Kata Ibu, Ayah ke WC. WC kami di belakang rumah.
Terpisah dengan bangunan rumah. Hanya dindingi terpal bekas, warna biru. Tidak
ada kloset, apalagi pipa dan septic tank.
Hanya digali sedalam satu meter. Di situlah kotoran berulat, membusuk, dan
seterusnya.
Belakangan
sewaktu saya MIN, WC kami sudah diaktifkan kembali yang di dalam bangunan
rumah. Dekat sumur. Meski klosetnya ada, namun tidak mengalir dengan baik ke
septic tank yang jaraknya sekitar satu meter dari kloset. Keberadaan septic tank itu baru belakangan saya
ketahui sewaktu pembersihan sumbatan pipa. Rupanya Mak memasak air panas dan
sop di atas septic tank. Di atas septic
tank itu, dapur cadangan berbahan bakar kayu bertempat. Dapur itu hanya
dipakai untuk masak sop waktu makmeugang dan merebus air panas.
Kamar
mandi rumah kami lumayan elit juga kalau saya pikir-pikir. Selain ada bagian
wece, sebelah utara ada ruang mandi, lengkap dengan bak air. Tidak difungsikan
lagi memang sejak saya ingat. Selain karena bocor, juga tidak ada mesin pompa air.
Tetapi memang sepertinya didesain untuk pengisian air manual. Tidak ada kran
atau pipa air. Hanya ada tempat menampung air di dinding untuk ditumpahkan
langsung ke bak di balik dinding.
Perbaikan-perbaikan
besar tidak akan dilakukan Ayah untuk rumah kami di Paya Cut. Karena Ayah paham
bahwa itu adalah milik Ayahnya Mak. Kalaupun diperbaiki, nantinya juga akan
menjadi milik orang. Sementara Mak tentu hanya akan kedapatan warisan sedikit
berhubung beliau adalah perempuan.
Rumah
di Paya Cut sebenarnya adalah gudang yang didirikan Kakek Banta Raden. Gudang
itu dibangun untuk menyimpan hasil bumi yang dibeli dari warga di pasar
Matangglumangdua maupun menyimpan barang sembako untuk dijual di toko-tokonya
di pasar itu. Kakek Banta Raden pernah menjadi orang sangat dikenal karena
kekayaannya. Beliau punya puluhan mobil dan sekitar sepuluh toko di
Matangglumangdua. Namun sejak Mak menikah, beliau sudah bangkrut. Dagang hasil
bumi memang bisa membuat orang kaya mendadak dan tiba-tiba bangkrut. Terkadang,
berdagang itu seperti main judi.
Karena
sebenarnya merupakan sebuah gudang, maka itu denah rumah kami aneh. Pekarangan
belakang hanya sekitar tiga meter. Termasuk galian wece sebelum kembali ke wece
dalam kamar nandi. Tapi halaman depan sekitar seratus meter. Itu didesain untuk
menjemur pinang. Setelah Pak Nek bangkrut, tumbuh banyak jenis pohon pinggir
pekarangan. Bagian tengah tetap padang namun berumput.
Waktu
saya MIN, Ayah telah berdagang pinang. Beliau memiliki lahan luas untuk
menjemur pinang. Di depan rumah. Ayah sangat baik pada tetangga. Makanya kalau
tiba-tiba hujan, tidak ada orang di rumah, para tetangga dan pemuda yang lagi
nongkrong di warung depan rumah. Meski sangat dihormati pemuda karena sangat
baik, Ayah jarang ke luar ke warung atau pergi mengobrol dengan sesama
bapak-bapak tetangga. Mungkin itu menjadi bagian hingga saya besar saya masih
terus percaya bahwa Ayah ke wece, bukan ke warung. Seingat saya selama di
Matang, Ayah tidak pernah ke warung sepulang bekerja. Pulang dari kerja, Ayah
lebih suka di rumah. Dulu membaca Koran dan majalah. Lalu setelah ada
tivi, sika menonton tivi.
Saat
Ayah masuk lagi ke rumah, yang kata Mak Cuma ke wece, pria paling tampan yang
pernah saya lihat itu pulang membawa oleh-oleh roti. Saya masih ingat itu
adalah biscuit berbungkus biru, coklat ditaburi gula, berbentuk segi empat, ada
selai coklat di Antara masing-masing dua roto yang menempel. Di lempar ayah ke
dekat saya golek-golek di atas tempat tidur. Waktu itu saya sangat yakin bahwa
roti itu benar-benar diperoleh Ayah dari dalam wece di belakang rumah. Bahkan
hingga Oktober 2016, saya tidak benar-benar percaya bahwa Ayah keluar dari pintu
belakang hanya untuk membuat saya yakin beliau cuma ke wece, supaya saya tidak minta ikut. Samping rumah
ada jalan kecil tembus hingga Lueng Kuli. Jadi, kalau keluar pintu belakang,
bisa langsung ke lorong itu dan ke depan. Lalu ke warung.
Bahkan
hingga saat ini saya belum benar-benar percaya sebenarnya Ayah bukan ke wece
tetapi pergi ke warung. Hingga kini saya lebih yakin, meski bagaimanapun
caranya, roti itu dibawa Ayah dari wece, bukan dibeli dari warung. Hingga saat
ini, sangat sulit memang memeriksa secara ilmiah bagaimana menghasilkan roti
dari wece. Tetapi saya lebih percaya itu daripada Ayah ke warung.
Saya
lebih percaya kata Ibu bahwa Ayah ke WC. Meski perkataan beliau belum dapat
ditemukan akurasinya dengan logika dan sains. Bahwa Ayah ke wece, bukan ke
warung. Jadi, saya lebih percaya roti itu dari wece.
Reviewed by Miswari
on
16.13
Rating:

Tidak ada komentar: