Kepergian Buya Syafi'i Ma'arif beberapa bulan lalu tentu membuat kita berduka. Saya sendiri merasa sangat sedih karena tidak memiliki kesempatan mengirimkan beliau Teologi Terakhir. Buku itu saya dedikasikan kepada beberapa pencerah bangsa. Tetapi saya tidak punya cukup akses mengirimkan Teologi Terakhir kepada mereka. Lalu saya ingat Kang Nida di PPIM, tempat Prof. Azra berkantor. Saya merasa harus segera mengirim Teologi Terakhir kepada Prof. Azra. Segera saya ambil ponsel memeriksa stok buku pada gudang daring di Jakarta, tempat menyimpan buku-buku yang saya tulis. Bulan lalu, saya kirim Teologi Terakhir itu ke PPIM.
Buku Teologi
Terakhir saya dedikasikan kepada para pencerah bangsa seperti Sukarno,
Chairil Anwar, Ahmad Wahib, Abdurrahman Wahid,
Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Syafii Maarif, M. Dawam
Rahardjo, Azyumardi Azra, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Najib. Pemaknaan mereka
atas Islam telah membuat agama ini menjadi spirit pencerahan dalam menyongsong
Indonesia modern. Tanpa mereka, bisa saja agama Islam telah dimaknai sedemikian
rupa oleh orang-orang tertentu menjadi energi untuk menentang ideologi bangsa
yakni Pancasila. Tetapi dalam pemaknaan para pencerah bangsa, Pancasila dan
Islam menjadi dua hal yang harmoni.
Islam dan Pancasila adalah semangat integratif
yang menekankan pada keyakinan pada keesaan Tuhan, membangun rasa kemanusiaan,
membina persatuan, bersikap demokratis, dan memperjuangkan keadilan.
Azyumardi Azra sendiri telah mendedikasikan hidupnya
untuk menyuarakan Islam damai, Islam wasathiyah, Islam sebagai jalan tengah
dalam mengatasi segala pentuk perbedaan. Pada banyak negara, khususnya di
Barat, Islam telah dicitrakan sebagai agama yang kurang ramah terhadap
demokrasi. Hal itu karena perspektif Islam yang menjadi rujukan utama dunia
adalah Islam di Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika Utara. Sehingga Islam
dicitrakan sebagai agama yang sulit berharmoni dengan demokrasi. Atas keresahan
itu, Azra berusaha menjadikan Islam Asia Tenggara sebagai arus utama. Antara
lain, agar Islam dapat dipandang sebagai agama demokratis, moderat, dan
kosmopolit.
Mainstreaming
Islam in Southeast Asia
Usaha Azra memajukan
Islam Asia Tenggara sebagai arus utama (mainstreaming
Islam in Southeast Asia) dimulai dengan disertasinya pada Columbia
University. Azra menulis tentang jaringan ulama Asia Tenggara, untuk
menunjukkan bahwa kesarjanaan Muslim di Asia Tenggara memiliki relasi yang kuat
dengan kesarjanaan Islam dunia. Kemudian Azra menunjukkan bahwa level intelektual
kesarjanaan Muslim Asia Tenggara, setara dengan kesarjanaan Muslim dunia.
Antara lain karena ulama-ulama Nusantara pernah menjadi imam di Haramain. Juga,
karya-karya kesarjanaan ulama Asia Tenggara terus-menerus dicetak di Timur
Tengah dan menjadi bagian kajian serius di berbagai kawasan dunia Islam.
Ulama-ulama Asia Tenggara juga banyak menjadi pengajar di Timur Tengah.
Kesarjanaan Muslim Asia Tenggara berdialog
secara seimbang dengan kesarjanaan Muslim dunia. Itu telah dimulai sejak
Kesultanan Samudra Pasai. Kajian-kajian tasawuf filosofis yang menjadi tema
berat di Timur Tengah, turut menjadi diskursus hangat di Pasai dan memiliki
sarjana mumpuni untuk bidang tersebut. Kemudian pemikiran Islam dari Asia
Tenggara seperti Wujudiah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani, menjadi
kajian serius di Timur Tengah, antara lain diberikan respon oleh Ibrahim
Kurani, guru dari Syaikh Abdurrauf al-Singkili.
Setelah menunjukkan
kualitas kesarjanaan Muslim Asia Tenggara, Azra, sepanjang hidupnya, berusaha
menunjukkan kepada dunia bahwa Islam Asia Tenggara adalah alternatif persepsi dan
akomodasi atas Islam. Pandangan bahwa Islam adalah agama intoletan, Islam
adalah agama ekslusif, Islam adalah agama radikal, ditepis Azra dengan
menunjukkan bukti-bukti bahwa Islam di Asia Tenggara adalah Islam yang harmonis
dan sesuai bagi zaman modern.
Azra menyanggah bahwa
Islam adalah agama yang tidak mampu berharmoni dengan negara modern. Azra juga
menepis anggapan bahwa kekuasaan politik, khususnya di Indonesia, diskriminatif
terhadap aspirasi umat Islam. Azra mengeluarkan argumen bahwa kepemimpinan
politik di Indonesia, sebenarnya akomodatif terhadap Islam. Dari argumentasi
itu, kami telah menulis sebuah artikel untuk menguji, di antara kepemimpinan
politik, sejak Hindia hingga Reformasi, bagaimanakah sikap akomodasi
masing-masing periode itu. Temuan penelitian kami menunjikkan, pada masa Hindia
Belanda, Pemerintah Kolonial sebenarnya tidak ingin ikut campur terhadap
organisasi sipil, termasuk pergerakan agama. Bahkan mereka banyak memberikan
dukungan terhadap pendidikan dan gerakan Islam sejauh tidak mengganggu
kepentingan Kolonial. Namun bangsa Indonesia punya harsat yang kuat untuk
meredeka, sehingga antara lain agama menjadi dasar semangat untuk menentang
Kolonialisme. Sehingga, Pemerintah Kolonial menjadi waspada terhadap gerakan
agama.
Sementara itu, Azra
telah menunjukkan bahwa, pada periode pendudukan Jepang, dalam agenda Pasifik, disamping kebijakannya
yang menyulitkan rakyat Indonesia, Jepang telah memberikan kontribusi kepada
umat Islam, antara lain didirikannya Masyumi sebagai wadah aspirasi politik dan
KUA sebagai wadah agenda sosial umat Islam. Antara lain karena berhasil
menunjukkan kontribusi itu, Pemerintah Jepang memberikan gelar kehormatan kepada
Azra, The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star, sebuah gelar bergengsi
pada 2017.
Pada masa Orde Lama, Sukarno,
yang tegas terhadap gerakan ideologis agama yang mengarah pada tindakan
subversif, sangat menekankan pentingnya bangsa Indonesia mengambil api semangat
dari agama Islam. Antara lain untuk mewujudkan harapan itu, Sukarno banyak
mendukung program penerbitan buku-buku yang mampu menggali Islam sebagai
spirtit modernitas, antara lain seperti terbitnya buku Dunia Baru Islam yang ditulis L. Stoddard. Sementara Orde Baru memberikan
dukungan besar terhadap Islam (modernis), yang ditandai dengan berdirinya ICMI
dan dibangunnya hampir seribu masjid di Indonesia.
Pasca Reformasi, bahkan
kepala negaranya adalah dari kalangan Islam modern (Habibie, pendiri dan Ketua
ICMI 1990-2000) dan dari kalangan Islam tradisional (Gus Dur, Ketua Umum PB NU
1984-1999). Selanjutnya Megawati, menurut Azra, “Tidak pernah mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang menurut sebagian umat Islam dianggap merugikan”.
Selanjutnya, “SBY tidak pernah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membuat
umat islam marah, karena ia lebih suka dengan keamanan,” kata Azra.
Azra telah berhasil
membuktikan kebijakan Negara yang sangat akomodatif terhadap umat Islam. Hal
ini dikabarkannya kepada dunia. Beliau ingin menunjukkan bahwa Negara demokrasi
seperti Indonesia, sangat harmoni dengan nilai-nilai Islam. Kunjungan Azra yang
tak kenal lelah ke seluruh dunia, juga untuk menunjukkan bahwa Islam adalah
agama yang menawarkan kerukunan, harmonis, dan cinta damai. Usaha itu
membuatnya diberikan gelar bergengsi dari Kerajaan Inggris, Commander of the
Order of British Empire (CBE) dari Ratu Elizabeth II pada September 2010.
Usaha Azra
menginspirasi banyak Inteligensia Muslim di Indonesia untuk terlibat aktif
dalam pengarus utamaan Islam Asia Tenggara. Ada yang fokus memajukan kajian
tasawuf di Asia Tenggara. Ada yang fokus meneliti relasi dan kekuasaan. Ada
yang fokus pada pada kajian relasi Negara dan agama, ada yang fokos menunjukkan
bagaimana filantropi Islam berhasil memakmurkan masyarakat, dan seterusnya.
Wasathiyah:
Islam Nusantara Berkemajuan
Di antara gagasan Azra
yang membuat saya sangat terkesan adalah konsistensinya dalam menyerukan Islam
Wasathiyah, Islam jalan tengah. Di tangan Azra, Islam Wasathiyah benar-benar di
tengah. Menyikapi gagasan Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan, Azra menyerukan
Islam Nusantara Berkemajuan. Karena, dua arus utama wacana keislaman itu
memiliki gagasan positif untuk kemajuan bangsa. Islam Nusantara antara lain menawarkan
agama yang mampu membangun harmonisme dengan budaya. Sementara Islam
berkemajuan antara lain menawarkan visi futuristik Islam. Dengan mengakomodir
dua pandangan itu, Azra menawarkan Islam yang harmonis dengan budaya sekaligus
dinamis dalam merespon tantangan zaman.
Islam Nusantara Berkemajuan, kerap diistilahkan Azra dengan Islam Wastahiyah.
Dalam karirnya memang, Azra sangat gigih dan konsisten
memperkenalkan Islam yang santun dan mengedepankan nilai-nilai harmonis. Azra
meyakini bahwa dalam Islam memang hanya memiliki petunjuk mengajak orang lain
melalui cara yang bijak dan mengedepankan harmonisme. Praktik-praktik kekerasan
yang mengatasnamakan agama sebenarnya tidak relevan dengan Islam dan agama
manapun.
Tindakan-tindakan
kekerasan yang mengatasnamakan agama sebenarnya adalah perbuatan yang dilakukan
oleh mereka yang tidak mampu memahami konteks sosialnya secara cermat dan utuh.
Mereka terlalu terpesona dengan konsep-konsep utopia. Mereka terpesona dengan
sistem yang diajarkan sekolompok orang berpandangan sempit. Padahal sistem politik
Islam yang sesungguhnya adalah sesuai dengan sistem demokrasi. Sistem demokrasi
itu sedang berlangsung di Indonesia. Sehingga perjuangan demokrasi adalah
sebuah perjuangan yang identik dengan nilai-nilai Islam.
Tindakan intoleran yang
tidak jarang berujung pada kekerasan juga terjadi karena tidak utuhnya pembelajaran
agama dan kegalatan suatu berita yang diterima. Problem itu kerap memunculkan
reaksi sebagian umat Islam. Sehingga kebencian, intoleransi, dan tindakan
ekstrim masih menjadi satu tantangan yang perlu diatasi di Indonesia. Solusi
yang ditawarkan, antara lain, memahami dengan baik visi esensial Islam, dan
umat Islam tidak boleh terjebak dengan informasi-informasi yang tidak jelas
sumbernya. Umat Islam harus kritis dalam menyikapi informasi dan tidak
reaksioner dalam bertindak.
Kelompok radikal
mengkaim, Indonesia adalah negera yang berpedoman pada prinsip yang tidak
sesuai dengan Islam. Padahal kenyataannya tidak demikian. Pancasila itu sesuai
dengan nilai-nilai esensial Islam. Pola penghadap-hadapan Islam dengan
Pancasila itu terjadi karena memahami Islam secara literalistic, nilai-nilai
esensial dalam Islam tidak mampu ditangkap. Pemahaman ideology negara oleh
kelompok radikal juga kurang mendalam. Sehingga, Pancasila yang memuat
butir-butir nilai esensial tidak dapat ditemukan integrasinya dengan Islam.
Padahal sejatinya, Islam
dan Pancasila secara esensial adalah kandungan tentang nilai-nilai dasar
manusia yang juga menjadi nilai-nilai yang ditekankan dalam agama. Pancasila memuat
kandungan kesadaran tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan
keadilan. Semua kesadaran ini sejalan dengan Islam. Sebab itulah, di Indonesia,
penghayatan dan pengamalan agama-agama dilindungi, diapresiasi, dan bahkan
difasilitasi. Sekaligus, nilai-nilai Islam juga dapat menjadi energi membangun
persatuan persatuan, demokrasi, dan keadilan.
Ketidaksadaran atau
ketidakpedulian tentang apresiasi dan dukungan negara terhadap agama-agama
memang telah menjadi tipikal kelompok radikal. Kenyataannya, semua agama tidak
didiskriminasi di Indonesia. Itu hanya waham kelompok radikal saja. Ketika
sikap dan tindakan radikal dientaskan oleh negara, maka itu adalah pengentasan
radikalisme dan ektremisme yang dibenci oleh semua manusia, dan semua agama.
Islam sebagai agama
yang toleran di Indonesia telah disebarkan dengan cara-cara yang damai dan
harmonis. Azyumardi Azra dengan gigih berusaha menyadarkan masyarakat dunia
bahwa Islam adalah agama yang harmonis dan damai, seperti yang yang dianut umat
Islam di Indonesia. Islam di Indonesia adalah Islam yang telah berharmonisasi
dengan budaya-budaya Nusantara. Harmonisasi Islam dan budaya Nusantara sama
sekali tidak mengganggu hal-hal prinsipil dalam Islam. Bahkan harmonisasi
tersebut membuat Islam menjadi semakin dekat dengan diri dan lingkungan
masyarakat.
Sosok
Azra
Azyumardi Azra dikenal
sebagai sosok sederhana. Seorang teman saya mengatakan, meskipun telah menjadi
seorang cendikiawan Muslim kelas dunia, Azra sangat perhatian kepada mahasiswa tingkat
dasar program sarjana. Beliau selalu berusaha menyempatkan diri untuk mengajar
mahasiswa pada semester awal. Karena pembentukan karakter mahasiswa ditentukan
pada masa-masa awal masuk kuliah. Teman itu juga mengatakan, meskipun bisa
mendapatkan fasilitas kelas atas, Azra tidak pernah mempersoalkan kelas
penerbangan bila hendak bepergian. Sebab itulah Azra sering ditemui berada pada
kelas ekonomi penerbangan. Bagi beliau, yang penting bisa hadir untuk
memberikan pencerahan, semangat, dan motivasi kepada siapapun, dan di manapun
mereka berada.
Kerja keras dan usaha tak
kenal lelah dalam mendakwahkan Islam yang toleran dan harmoni diakui banyak
kalangan. Dikabarkan, pulang dari Sumatera Barat untuk mengisi suatu pertemuan,
beliau hanya singgah sebentar di Jakarta untuk ganti baju, kemudian langsung
terbang ke Kuala Lumpur. Saya menduga, kesibukan seperti ini menjadi agenda
rutin Azra. Saya ingat pada 2017 ketika mengikuti Pendampingan penulisan
Artikel Ilmiah pada Jurnal Bereputasi Internasional di Jakarta, kami memiliki
sesi bersama Azra. Beliau baru datang dari satu tempat, kalau tidak salah dari
luar negeri. Setelah tiga jam pertemuan bersama kami, beliau segera berangkat
untuk agenda selanjutnya, kalau tidak salah ke luar kota.
Pada pendampingan
penulisan artikel ilmiah di PPIM itu, saya ingat seorang mentor alumni Ph.D
dari McGill University pernah mengatakan, bila anda menulis sebuah karya,
tulislah karya besar pada sebuah tema yang membuat orang lain ketika hendak
menulis dalam tema tersebut, tidak bisa menghindar untuk tidak menjadikan karya
anda sebagai rujukan. Hal ini sebagaimana dilakukan Azra. Beliau menulis Jaringan Ulama. Karya itu benar-benar
tidak bisa dihindari apabila menulis tema terkait sejarah Intelektualisme
Muslim di Asia Tenggara. Sebab itulah, rekan saya di University of Essex,
setelah mengetahui Azra telah pergi, menulis, kurang lebih, “Prof. Azra, Anda
telah pergi. Tetapi karya anda abadi.” Ungkapan itu dikemukakan sambil
menunjukkan buku Jaringan Ulama Edisi
Perenial.
Seorang rekan Azra,
pada takziyah virtual mengatakan, Azyumardi Azra merupakan sosok intelektual
yang memiliki kemampuan ganda yakni kualitas intelektual yang tinggi, sekaligus
kemampuan manajerial yang cukup baik. Hal ini terbukti dengan, meski kesibukannya
sebagai Wakil Rektor UIN Jakarta, kemudian delapan tahun menjadi rektor,
selanjutnya delapan tahun menjadi direktur sekolah pascasarjana UIN Jakarta,
gairah intelektualnya tetap sangat tinggi. Beliau adalah penulis yang sangat
produktif. Setidaknya lebih empat puluh buku telah dihasilkan. Juga artikel,
esai, dan ragam tulisan beliau lainnya telah dipublikasi pada berbagai jurnal,
media massa, dan sebagainya. Dalam kesibukan itu pula, Azra rutin mendakwahkan
Islam wasatiyah ke berbagai penjuru dunia.
Saat menjadi rektor
IAIN Jakarta, Azra telah berhasil mengembangkan kampus itu menjadi UIN. Bahkan pada
masa beliau memimpin, UIN Jakarta mendirikan gedung-gedung yang tinggi dan
megah. Tidak hanya itu, pada masa kepemimpinan Azra, dalam menjembatani
keilmuan agama dan keilmuan umum, dirumuskan konsep integrasi ilmu. Gagasan itu
telah menginspirasi banyak PTKI lainnya di Indonesia.
Rekan Azra lainnya,
pada tazkiyah virtual mengatakan, Azra adalah sosok yang telah mengajarkan
bagaimana melakukan kritik konstruktif terhadap kekuasaan. Cara beliau
mengkritik adalah untuk menghasilkan perbaikan, bukan kritik yang bermaksud
menjatuhkan.
Mengenai kedisiplinan,
Azra tidak ada bandingannya. Saya punya teman sama-sama dari Aceh dan sama-sama
kuliah pada Program Doktror Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Masuk kuliah bersama Azra. Dia jalan kaki dari kost. Tiba-tiba hujan
turun, tidak terlalu deras, dia menepi sebentar. Jadinya datang terlambat. Saat
membuka pintu hendak masuk kelas, Prof. Azra memberi isyarat. Teman saya paham.
Cerita itu sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana kedisiplinan sangat
dikedepankan Azra.
Teman saya itu juga
dengan bangga selalu menceritakan pengalaman mengesankan bersama Azra itu. Ada
teman lainnya pernah dimarahi Azra. Dia sangat bangga pernah dimarahi Azra. Berulang
kali dia ulangi cerita itu. Itu sudah cukup untuk menunjukkan seberapa besar
seorang Prof. Azyumardi Azra, Ph.D, C.B.E dan betapa bangganya mereka pernah
belajar secara formal bersama Azra.
Kalau masuk kelas Azra, semua terdiam. Ada
yang mulutnya menganga, sangat serius memperhatikan kata-kata beliau. Tidak
terasa, dua tiga jam telah berlalu. Wawasannya sangat luas. Pengetahuannya
sistematis.
Sejauh yang dapat saya ingat, pertama kali
saya melihat langsung Azra adalah pada sebuah acara yang, kalau saya tidak
salah ingat, diselenggarakan Lazuardi Birru. Saya ingat dapat pulpen warna
biru. Sekitar 2011 sepertinya. Itu adalah seminar megah. Waktu itu, sebagai
aktivis energik utusan PB PII, saya mengajukan kritik yang tajam kepada Azra.
Tetapi karena sudah paham bahwa ada juga aktivis narsis, seperti saya, Azra
menanggapi santai. Azra sendiri adalah pernah menjadi aktivis HMI yang aktif mengembangkan
kelompok kajian forum mahasiswa di Ciputat. Forum itu bertahan hingga kini. Azra
telah mementori, memotivasi, dan menginspirasi banyak aktivis hingga mereka
berwawasan luas.
Kemudian saya pernah ikut seminar di
Universitas Indonesia. Saat itu, Azra membentangkan makalah mengenai sejarah
tasawuf di Indonesia. Dalam banyak kesempatan, Azra selalu mengatakan bahwa
Islam Nusantara disebarkan dengan cara damai oleh kaum sufi. Sehingga Islam
mampu berharmoni dengan budaya masyarakat. Sepertinya itu 2012? Untuk
selanjutnya, saya sering mengikuti seminar yang menghadirkan Azra sebagai
pembicara. Dari Menteng Raya ke Ciputat atau ke mana pun di Jabodetabek, kalau
tahu ada seminar yang menghadirkan Azra, empat jam di tengah jalanan macet
dalam Kopaja, Metro Mini, ringan saja bagi saya.
Pada 2017, saya
berkesempatan mengikuti pelatihan penulisan artikel internasional bereputasi
yang diselenggarakan oleh PPIM UIN Jakarta. Pada satu sesi, kami para peserta
berkesempatan mendapatkan materi dari Azra. Kami mendapatkan kesempatan mengikuti
sesi di ruangan Prof. Azra. Pertemuan berlangsung tiga jam, tetapi terasa
sebentar saja. Yang paling saya ingat adalah Prof. Azra saat itu baru datang
dari tempat yang jauh. Setelah sesi dengan kami, beliau juga akan ada pertemuan
lain. Prof. Azra bercerita banyak hal, termasuk penentangan beliau atas
kebijakan-kebijakan yang membatasi kreativitas para dosen. Azra juga menegaskan kebenciannya terhadap
korupsi.
Tahun selanjutnya, saya mendapatkan kesempatan
kuliah Program Doktor di SPS UIN Jakarta. Saya berkesempatan mengambil mata
kuliah yang dipimpin Prof. Azra. Seingat saya, makalah yang saya sajikan pada
mata kuliah itu telah saya percantik dan telah dipublikasikan pada sebuah
jurnal bergengsi.
Penutup
Sebulan sebelum kepulangan
Prof. Azra, Kang Nida mengabari bahwa Teologi
Terakhir telah tiba di PPIM. Saya berharap, Prof. Azra telah menerima buku
itu, sebelum beliau pergi untuk selamanya pada Minggu, 18 September 2022.
Ketika hendak mengisi seminar Kosmopolitan Islam
di Malaysia, pada perjalanan Jumat 16 September 2022, saat pesawat mendarat, Prof.
Azra dilarikan ke rumah sakit. Seluruh Indonesia cemas dan mendoakan kesembuhan
beliau. Akhirnya, pada 18 September 2022, beliau berpulang.
Selamat jalan, Sang
Pencerah Bangsa. Semoga Allah memberikan engkau tempat yang mulia disisi-Nya. Semoga
banyak muncul intelektual yang meneruskan perjuanganmu, megatakan pada dunia
bahwa Islam adalah agama demokratis, Islam adalah agama wasathiyah, Islam
adalah agama kosmopolitan.
Saya yakin akan banyak
muncul Inteligensia Muslim yang menyadari bahwa, kita memiliki peran signifikan
dalam menyongsong kemajuan. Perjuangan Azra yang gigih menyerukan Islam
Wasathiyah, Islam yang damai dan harmonis, serta mampu menjadi energi kemajuan,
akan terus berlanjut. Perjuangan Azyumardi Azra yang sangat gigih menyuarakan
Islam damai, akan terus menjadi inspirasi perjuangan intelektual muda.
Reviewed by Miswari
on
19.30
Rating:

Tidak ada komentar: