Pada suatu periode, setidaknya 2010 hingga 2015, ketika wacana pemikiran Islam di Aceh sedang sepi, setidaknya ketika pewacanaan pemikiran Islam berkutat pada selebrasi formalisasi syariat Islam, pada periode itulah, seorang pemuda cerdas yang dilahirkan oleh intelektualisme Islam Aceh, Khairil Miswar, muncul sebagai pengecualian .
Khairil, melalui tulisan-tulisannya yang bernas dalam bentuk artikel yang ditulis di media-media arus utama seperti Serambi Indonesia, Analisa, Harian Aceh, Waspada, dan beberapa media cetak lainnya, mengajukan kritik-kritik konstruktif terhadap penerapan formalisasi syariat Islam di Aceh. Bahkan Khairil, ketika mengelola sebuah kolom dalam media berita digital AcehTrend, menulis rutin tentang kritik konstruktifnya atas pelaksanaan formalisasi syariat Islam dan sejumlah fenomena sosial lainnya di Aceh. Tulisan-tulisan dalam kolom itu telah dihimpun dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Senandung Jampoek.
Sejauh amatan saya, sebenarnya seorang Khairil Miswar tidak resisten atas kebijakan formalisasi syariat Islam di Aceh. Bahkan beliau punya ekspek tinggi atas kebijakan yang berlandaskan pada status Aceh sebagai daerah otonomi itu. Dalam hal inilah, Khairil Miswar melancarkan kritik-kritiknya terhadap penerapan syariat Islam dalam praktik masyarakat dan kelemehan negara dalam merealisasikan kebijakan itu. Tujuannya, agar formalisasi syariat Islam menjadi semakin kuat, mencakup berbagai aspek, dan munculnya keteladanan dari para elite.
Khairil Miswar adalah seorang intelektual yang paling giat mengamati perkembangan sosial di Aceh. Hal itu dapat dibuktikan melalui respon-responnya atas berbagai fenomana sosial yang terjadi. Dalam hal ini, salah satu fokus perhatiannya adalah fenomena kekerasan, yang oleh pihak tertentu mengatasnamakan agama. Rekaman data oleh Khairil atas fenomena tersebut sangat lengkap. Responsnya telah dihimpun dalam sebuah buku berjudul Islam Mazhab Hamok. Buku itu dijadikan bacaan wajib para peneliti sosial yang menjadikan konflik keagamaan di Aceh sebagai fokus kajian.
Khairil juga merupakan seorang intelektual yang tergolong sudah langka. Dulu memang banyak intelektual yang mampu membaca kitab kuning dan menguasai bahasaArab dengan baik. Tetapi sekarang sudah sangat langka. Namum Khairil Miswar masih memiliki keahlian-keahlian itu dengan kualitas lumayan baik. Jadi, dia dapat mengakses referensi keagaman yang sulit dilakukan intelektual lainnya.
Bulan lalu, kabarnya ada mahasiswa yang bertemu Khairil untuk wawancara mengenai pemikiran pendiri PUSA, Daud Beureueh. Komentar Muhammad Alkaf mengenai wawancara itu, sang mahasiswa sudah bertemu dengan orang yang tepat. Benar. Khairil memang menguasai dengan baik sejarah PUSA dan pemikiran Muhammad Daud Beureueh. Khairil mengoleksi banyak buku-buku langka, khususnya mengenai sejarah Aceh, yang oleh peneliti kelas dunia saja belum tentu punya. Belum lagi buku-buku warisan ayahnya yang juga seorang intelektual. Khairil juga telah menyerap banyak wawasan sejarah dari ayahnya itu. Sehingga membuatnya dapat dikatakan sebagai salah satu "duta" sejarah Islam di Aceh pada era modern.
Dalam bulan ini, Khairil telah memenuhi undangan di Kesbangpol Aceh untuk mempresentasikan fenomena formalisasi syariat Islam di Aceh. Undangan itu tentu saja hadir karena reputasi seorang Khairil Miswar yang fokus mengamati, mengumpulkan data, dan mengomentari fenomena-fenomena formalisasi syariat Islam di Aceh melalui opini-opininya yang dimuat pada berbagai media massa baik cetak seperti Waspada, Serambi Indonesia, Harian Aceh, Analisa, maupun media digital seperti nomalpress.id, aceh.tribunnews.com. acehtrend, hidayatullah.com dan lainnya.
Di samping itu, Khairil Miswar adalah intelektual yang berhasil mendapatkan The Nusantara Institute Award sebanyak dua kali. Penghargaan pertama didapatkan pada 2018 untuk karyanya Habis Sesat Terbitlah Stress. Penghargaan kedua didapatkan pada 2020 untuk karyanya, Islam Mazhab Hamok. The Nusantara Institute Award yang telah diselenggarakan sejak 2017 merupakan penghargaan yang diberikan kepada intelektual yang telah menghasilkan karya yang penting bagi masyarakat. Selain Khairil Miswar, penghargaan tersebut telah diraih oleh Prof. Dr. Ismail Fahmi Arrauf Nasution, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Ph.D., dan Dr. Mukhtar, MA. Untuk 2022, telah muncul beberapa nama sebagai nominasi.
Kemarin saya intip pada sosmed-nya Khairil Miswar, intelektual yang setidaknya telah menulis lima judul buku itu, sedang bersama Bung Alkaf mengopi di warung kopi Rumoh Tuha, Bireuen. Saya curiga mereka sedang merencanakan sesuatu. Kalau boleh menebak, sepertinya mereka sedang mengurus keperluan lembaga mereka, Normal Press.
Bocoran yang saya dapatkan dari radio bergigi, lembaga itu fokus pada dunia intelektual.
Reviewed by Miswari
on
11.05
Rating:



Tidak ada komentar: