Bola


BOLA adalah benda yang menghipnotis banyak anak, termasuk aku waktu kecil dulu di Paya Cut. Sejak masih sanga bocah, aku sudah menyukai bola. Aku mengambil resiko besar untuk bola dengan memberanikan diri menyalakan tivi sebelum subuh untuk menonton Piala Dunia. Obsesi untuk menyaksikan kompetisi itu muncul dari iklan-iklan yang kusaksikan pada siang hari. Selebrasi Maradona benar-benar membuatku terpesona. Aku menyaksikan banyak pertandingan langsung. Sepak bola saat itu sangat menarik. Apalagi menonton berada dalam ketakukan. Sewaktu-waktu Ayah bisa bangun dan menghajarku. Benar-benar tidak masuk akal seorang bocah kecil bangun tengah malam untuk menonton sepak bola. Aku menyaksikan Davor Suker, Escobar, Bebeto, Romario yang namanya baru kukenal belakangan. Pemain yang telah kukenal hanya Maradona. Pertandingan Argentinalah yang kutunggu-tunggu. Aku menyukai pertandingan pertama mereka, tapi sayang, Argentina memakai baju biru. Sayang sekali, saat menyaksikan Maradona mengenakan biru putih, gagah dengan nomor 10 dan di atasnya ada tulisan MARADONA, itu adalah terakhir kali dapat menyaksikannya bertanding dengan seragam biru putih. Saat menyaksikan pertandingan itu, aku tidak tahu setelah pertandingan dia dianggap bermasalah karena dugaan doping.

   Aku jadi tergila-gila dengan Maradona. Menangis aku minta dibelikan jersey Argentina yang bertuliskan nomor sepuluh dilengkapi nama Maradona. Tapi sayang sekali, waktu itu jersey versi anak-anak tidak semudah sekarang didapatkan. Jangankan jersey Argentina bertuliskan nama Maradona, jersey Argentina saja tidak dijual. Yang ada adalah kaos bola entah apa-apa, tidak mereplikasi klub manapun. Jadinya aku dibeli sebuah kaos bola yang tidak mereplikasi klub manapun bewarna oranye-putih. Aku minta dibuatkan angka sepuluh beserta nama Maradona di atas nomor sepuluh di punggung. Maletku yang ahli jahit baju, malah menempah namaku sendiri di atas nomor. Jadinya setiap ke pAshar aku selalu dipanggil orang. Bukan karena terkenal, tapi orang membaca namaku di atas nomor punggung.

   Kegilaanku terhadap bola memengaruhi teman-teman. Kami bermain bola di samping lapangan orang dewasa. Sayangnya tempat anak-anak bermain bola berada di bawa pohon sawo yang daunnya lebat, rantingnya banyak. Di sampingnya banyak tumbuh pohon pinang dan pohon kelapa. Bola kami sering menyangkut di atas pohon. jenis bola plastik yang kami mainkan keras dan kaku. Mudah nyangkut di atas pohon sawo versi lama yang cabangnya banyak, daunnya lebat, sangat besar. Kalau terkena kulit, bola itu sangat sakit.

  Lapangan tempat kami bermain terdapat beberapa pohon kelapa dan pohon pinang. Menggiring bola tidak hanya harus menghindari lawan main, tapi juga banyak batang pinang dan kelapa yang harus dilalui. Dengan itu seharusnya skil dan gocekan kami lebih baik daripada pemain profesional yang tugasnya hanya melewati pemain lawan. Tetatapi malah permainan kami jauh lebih buruk jika dibandingkan anak kota di Matangglumpangdua yang bermain bola di tanah lapang, antara gedung-gedung di komplek Perguruan Al-Muslim. 

    Di antara kami sangat sering terjedot pohon saat bermain bola. Saya sendiri beberapa kali terjedot pohon pinang saat menggiring bola. Pola permainan kami sangat buruk. Berlari ke mana bola berada. Pembagian pemain untuk membuat dua tim, bukan untuk saling mengoper, tetapi hanya berfungsi untuk menentukan siapa dan harus membobol gawang mana.

    Selain bola plastik, pada kali lainnya kami memiliki bola yang kami sebut bola geutah saban. Bola itu terbuat dari getah dari salah satu jenis pohon. Warnanya kemerahan. Supaya tidak baling dan beratnya proporsional, kami membungkusnya dengan plastik, kemudian diikat dengan merajut tali rafia hitam.   

   Meskipun sangat enak dimainkan, meskipun telah dirawat dengan baik, bola itu tidak dapat bertahan lama. Satu atau dua bulan sekali kami harus menggantinya.

   Kami bermain bola habis Ashar. Aku disuruh salat Ashar sebelum pergi bermain. Sepanjang salat, bola mengisi otakku. Aku ingat salat di kamar Ayah saat masih berada di sisi utara dekat kamar mandi.

   Sebelumnya, ada tentara yang mendirikan pos di Blang Mane. Kalau ke Matang, mereka sering singgah di rumah gudang. Bahkan rumah kami telah menjadi posko kedua mereka. Mereka makan, mandi, istirahat siang di rumah.

  Aku pernah dibawa mereka main-main ke pos mereka di Blang Mane. Pos mereka hanyalah sebuah rumah dalam kompleks sekolah. Mereka punya satu sepeda motor untuk dipakai sekitar dua belas orang. Komandannya bertubuh besar. Meskipun kulitnya terang, dia tampak sangar.

   Satu hari aku dipinjamkan bola. Kupakai untuk bermain bersama teman-teman. Itu adalah bola besar untuk anak-anak seusia kami. Mikasa nomor lima. Warna putih hitam seperti bola Piala Dunia 1974. Kalau tidak salah ingat, dipinjamkan sekitar sepuluh hari. Beberapa hari berikutnya setelah peminjaman bila selesai, aku dibawa lagi ke pos. Di sana aku berusaha meminjam lagi bola itu. Selain aku, sepertinya teman-temanku juga galau tidak ada bola. Namun sepertinya komandan keberatan.

   Salah seorang di antara tentara itu membelikan aku celengan. Katanya kalau rajin menabung, suatu hari aku dapat membeli bola. Tapi itu akan terjadi sangat lambat. Setelah beberapa lama menabung, aku hanya menghasilkan tiga ribu rupiah. Itu tidak cukup. Uang itu habis entah membeli apa.

   Lama kemudian, Ayah memberikan sepuluh ribu rupiah untuk membeli bola. Rupanya jangankan Mikasa nomor lima, Mikasa nomor tiga saja harganya tiga belas ribu lima ratus. Itu di toko buku Pakisco.  Disebelahnya, berselang toko sepeda, adalah toko buku Matang Teknik. Di sana ada bola bukan merek Mikasa, nomor lima. Harganya sepuluh ribu rupiah. Tidak jadi kubeli karena inginnya Mikasa nomor lima.

   Beberapa hari setelah pikir-pikir, kuputuskan membeli bola nomor lima yang bukan Mikasa itu di Matang Teknik. Pertimbangan utamanya adalah, meskipun sangat menginginkan Mikasa nomor lima, tetapi itu nyaris mustahil karena tidak ada satu peluang pun yang memungkinkan aku memiliki tambahan uang.

   Meskipun tidak memiliki kualitas sebaik Mikasa, bolaku itu enak dan nyaman dimainkan. Dengan begitu aku dapat bermain bola dengan lancar bersama teman-teman. Karena melakukan beberapa kesalahan, terutama kebiasaan meninggalkan sepeda pulang main bola, aku dihukum tidak boleh main ke luar pekarangan rumah. Setelah kuingat-ingat, kebiasaanku meninggalkan sepeda dilokasi bermain karena pergi sendiri, tetapi saat pulang sambil mengobrol dengan teman-teman. Jadinya sepeda tertinggal di lokasi bermain.

  Karena aku dilarang pergi bermain, sementara bola adalah milikku, solusinya adalah kami bermain di halaman rumahku. Halaman rumah gudang sangat luas. Meskipun sisi utara adalah pohon-pohon dan semak-semak. Apalagi bagian tengah, rumput-rumput sedikit terjinakkan karena itu merupakan jalur mobil. Ayahku bekerja dengan mobil Nek Bah sebagai pencari pinang ke pelosok-pelosok berbagai daerah untuk dihantar ke gudang Nek Bah di Simpang Peut, Peusangan.

  Bermain bola di halaman rumahku sangat seru. Itu jauh lebih asyik daripada harus bermain di dekat lapangan orang dewasa di antara pohon-pohon pinang dan kelapa dekat pohon sawo besar dekat SD.

  Karena kualitas bolaku makin lama menjadi makin kurang baik, meskipun setelah ia rusak, setelah ibuku lama melupakan hukumanku, kami masih bermain bola di halaman rumahku. Aku tidak ingat bola apa saja yang kami mainkan setelah itu. Yang aku ingat adalah waktu-waktu ketika bolaku menjelang rusak. Mula-mula warnanya pudar. Dari putih menjadi abu-abu. Karet bagian luarnya terkelupas. Lama-lama satu bagian jahitan sobek. Kami memasukkan plastik supaya tidak gampang bocor. Beberapa waktu kemudian banyak bagian yang sobek sehingga baling bila ditendang.

   Akhirnya kami kupas hingga tinggal bulatan seperti ban dalam mobil. Kami membungkusnya dengan plastik dan merajut dengan tali rapia. Persis seperti kami membuat bola geutah saban. Beberapa waktu kemudian kami memainkan bola itu hingga benar-benar tidak bisa digunakan lagi dan kami menggantinya dengan bola lain yang sepertinya kembali memainkan bola plastik atau bola geutah saban. 

Lain waktu, seorang kepala sekolah di kampung kami punya anak adalah teman sepermainanku. Dia ambil Mikasa nomor lima yang kuperkirakan adalah bola milik sekolah. Kuat dugaan, bola itu diambil tanpa sepengetahuan ayahnya. Setelah beberapa hari kami mainkan, yang sering adalah bermain di halaman rumah klasik nan mewah milik neneknya seorang teman lainnya. Itu adalah halaman yang luas di bagian samping berbatasan dengan halaman tetangga menggunakan pagar kawat duri. Pada satu permainan itu, bola menyangkut di kawat duri. Duri-duri kawat itu tidak lazim: terlalu tebal, terlalu pandang, dan terlalu runcing. Salah satu duri menembus bola. Saat diambil, angin keluar dari bola.

  Kepanikan melanda. Apalagi kami punya dugaan itu adalah bola milik sekolah. Selang dua hari, solusi ditemukan. Kami yang ikut bermain hari itu harus menabung pada sebuah celengan yang telah disediakan hingga mencapai jumlah uang harga bola. Tetapi setelah seminggu menabung, meskipun jumlah tabungan belum mencapai seper empat harga bola, rupanya bola itu bisa ditambal dan menjadi tampak seperti baru. Akhirnya menabung dihentikan. Setelah dipotong biaya hasil tambal, kami berencana membeli bola yang biasa-biasa saja.

   Satu waktu kami ke kampus Al-Muslim untuk bermain bola bersama anak-anak kedai. Didominasi anak Tionghoa, kami dibantai delapan kosong. Anak-anak kedai bermain bola seperti di tivi. Mereka mengoper bola terus-menerus kepada rekannya. Sementara kami berlari ke mana bola ditendang. Kalau ada rekan kami yang mendapatkan bola, dia langsung berlari sendiri menuju gawang lawan. Tetapi tidak pernah lama karena baru tiga hingga lima detik, bola direbut kembali oleh tim lawan.

  Tidak ada waktu istirahat untuk pertandingan itu. Umumnya kami bermain setiap sore juga begitu. Permainan berlangsung dari setelah Ashar hingga menjelang magrib. Bila ada pemain yang lelah, dia bisa berdiri saja di tengah lapangan. Bila ada yang kehausan, dia akan pulang ke rumah untuk minum. Bila ada yang dipanggil orangtuanya untuk membelikan sesuatu, dia bisa pergi saja dan setelah kembali bisa bermain lagi.

   Meskipun kualitas permainan kami hancur lebur, aku sendiri kalau pulang Ke Tanjong Beuridi, bila menjadi pemain top. Sesekali ibu membawaku ke desa itu. Jaaraknya dua belas kilometer ke selatan dari Matangglumpangdua. Tetapi dulu rasanya seperti tujuh puluh kilometer. Rute yang berbeda, kendaraan yang digunakan, kondisi jalan pada masa itu, membuat perjalanan ke Tanjong Beuridi terasa sangat jauh.

Lapangan tempat kami bermain bola di Tanjong Beuridi, tidak jauh dari rumah nenek. Bukan lapangan yang luas dekat masjid. Lapangan tempat kami anak-anak main bola adalah  tanah lapang yang dijadikan lapangan bola. Sekelilingnya adalah semak-semak. Ada beberapa kubangan di pinggir lapangan. Itu tempat favorit kerbau. Kalau akan main, teman-teman memindahkan sapi dan kerbau yang sedang merumput ke luar lapangan. Gantian, kami yang “merumput”. Selain menghalangi permainan, hewan-hewan itu bisa berlari kalau dekat dengan orang-orang yang sedang berlari.

   Aku menjadi bintang lapangan kalau main bola di Tanjong Beuridi. Haji yang merupakan pemain terbaik di sana, suka bermain setim denganku. Jadinya dia sangat banyak memberikan umpan kepadaku. Aku melakukan penyelesaian dengan baik. Pernah pada satu pertandingan di Tanjong Beuridi, aku mencetak delapan gol. Namaku menjadi dibicarakan di Tanjong Beuridi. Adapun Tanjong Beuridi adalah desa yang disegani kalau ada pertandingan antar kampung. Hal ini menunjukkan kalau aku sebenarnya tidak terlalu buruk bermain bola. Tapi permainan sore kami di Paya Cut dan Seuneubok Aceh saja yang unik. Tidak ada yang namanya mengoper bola. Padahal kalau kuperhatikan orang-orang dewasa bermain, mereka juga rajin mengoper, meski tidak serajin tiki-taka Barcelona.

   Bisa jadi kalau fokus pada sepakbola, aku bisa menjadi pemain terkenal. Tetapi itu agak sulit. Di Barat bahkan banyak anak yang hanya fokus pada sepakbola, makanya bisa jadi pemain profesional. Sementara kami main bolanya berlari ke mana arah bola. Kami nyaris tidak kenal yang namanya oper kepada teman. Kalaupun harus terjadi, mengoper hanya dilakukan pada teman dekat atau teman yang disukai. Sepertinya sikap seperti itu tidak memengaruhi kehidupan.

   Masuk pesantren AA, beberapa kali aku sempat menjadi kiper. Tetapi kesempatan bermain sangat langka. Karena di AA, habis Ashar adalah waktu sekolah sore, tetapi dengan pakaian bebas. Jadwal itu setelah tidur siang yang diwajibkan sebelum Ashar. Dulu aku benci tidur siang.

   Dari Paya Cut, kami pindah ke Meunasah Dayah Bireuen.  Itu adalah desa paling indah yang pernah kulihat. Orangnya ramah-ramah. Penghasilan mereka baik-baik. Yang miskin mereka bantu. Solidaritas sangat tinggi, namun tidak narsis. Beda dengan banyak daerah lainnya, memang banyak orang terlihat bersolidaritas, tetapi narsis.

  Meunasah Dayah juga punya kualitas pesepakbola di atas rata-rata. Mereka punya lapangan desa yang bagus. Tapi letaknya di perbukitan. Kalau bola ditendang terlalu kuat, capek sekali kiper mengambilnya. Beda dengan masa pertandingan: ada anak bola, ada jaring, ada banyak pola. Di samping lapangan besar ada tanah lapang yang luas. Anak-anak bermain sepak bola di lapangan yang mereka buat di tanah lapang dekat lapangan. Kalau sedang ramai, anak-anak bisa membuat beberapa lapangan. Meskipun masih MTs, aku tidak bermain bersama anak-anak karena tubuhku terlalu tinggi untuk ukuran anak MTs. Jadi aku bermain bersama orang dewasa. Tetapi sebenarnya mereka terlalu kuat untukku. Laga bodi sering kalah, untung saja aju sering menjadi kiper. Kalau menjadi kiper, tendangan mereka membuatku kewalahan. Aku ingat satu waktu menjadi kiper di lapangan Cet Gon Bhan itu. Aku tidak berdaya satu lawan satu menghadapi striker lawan. Aku lupa namanya. Wajahnya masih aku ingat.

  Ada waktu situasi sedang mencekam. Konflik memuncak. Orang-orang tidak berani ke Cet Gon Bhan. Karena lokasi lapangan itu adalah di bukit yang jauh dari rumah-rumah warga. Lagi pula, diisukan bahwa jalan ke sana adalah rute persembunyian kelompok separatis. Aparat bisa datang kapan saja untuk mencari separatis. Kita tidak tahu siapa yang dicurigai, siapa yang tidak. Semua warga harus waspada. Jangan asal keluyuran.

   Pada situasi menegangkan, setidaknya kami bermain bola di sebuah kebun kelapa. Selain tim lawan, pohon-pohon kelapa juga harus diwaspadai. Pada sebuah pertandingan, bola ditangkap kiper. Kemudian ditendang melambung tinggi. Bola mengenai batang kelapa dan mental masuk ke gawangnya. Diputuskan gol karena bukan dalam situasi bola mati.

   Masuk pesantren NH, di situ pengalamanku dengan sepak bola menjadi lebih mengesankan. Aku menjadi kiper terkenal di sana. Apalagi kabarnya ada alumni pesantren tersebut pernah menjadi kiper tim Nasional. Di NH, menjadi kiper adalah kebanggaan.

  Aku didapuk menjadi kiper bermula dari pada permainan biasa sore hari, suka buang badan saat menangkap bola. Dari sana teman-teman menduga aku punya potensi besar menjadi kiper yang hebat, sehingga aku kerap dipercaya menjadi kiper.

    Di NH, setelah Ashar adalah waktu bebas. Banyak teman-teman berolah raga. Aku sendiri menjadi semakin sering menjadi kiper. Sehingga pada satu turnamen pertandingan, aku dipercaya menjadi kiper mewakili angkatanku. Kalau tidak salah melawan tim sekolah lain.

  Acaranya sangat meriah. Penonton sangat banyak. Aku gugup. Jadinya kebobolan beberapa gol. Penampilanku saat itu sangat mengecewakan. Namun secara keseluruhan di NH, menurutku, aku tetap dilihat sebagai salah satu kiper terbaik.

  Setelah turnamen itu, setiap sore aku selalu tampil memuaskan.

   Pada satu momen, dibuatlah pertandingan antar lantai asrama. Ada dua gedung asrama. Setiap gedung memiliki empat lantai. Total delapan tim. Semua tim bertemu untuk memeprebutkan empat besar di semi final. Aku tampil baik sehingga tim kami lolos ke semi final. Semua tim memakai jersey negara-negara kuat sepak bola. Itu ditentukan pamong. Pamong kami suka Argentina. Jadinya kami memakai jersey Argentina. Kecuali aku dan kiper cadangan mengenakan baju kiper.

  Menjelang semifinal melawan tim jersey Kroasia, aku sakit. Saat pertandingan, aku di kamar. Informasi kuterima, kami kebobolan tiga gol tanpa balas hingga babak pertama usai. Kesal sekali rasanya. Kakak kelas yang merupakan pamong membujukku untuk coba bermain. Sepertinya aku sanggup. Apalagi emosiku memuncak karena tim kami dihajar.

  ''Ayolah, Miswari. Coba saja. Berdiri saja di bawah gawang enggak apa-apa''

   Aku tidak menjawab. 

 ''Ayola,'' dia melanjutkan, ''kiper cadangan tampil sangat mengecewakan.''

   Aku tahu itu. Dia tampil sangat buruk. Aku sempat mengintip dari jendela. Bola tendangan tidak berbahaya saja, dia kebobolan.

   Aku melakukan sesuatu yang menjadi salah satu penyesalan yang kuiingat seumur hidup. pamong pergi dengan kecewa. Aku merasa sangat bersalah. Aku benar-benar menyesal. Sepertinya kondisiku sudah membaik. Tetapi kalau aku ikut bertanding, mudabbir alias pihak penertiban tidak akan tinggal diam. Aku bisa dihajar karena sudah beberapa hari tidak ikut jamaah ke masjid, nasi dihantar teman ke asrama, tapi tiba-tiba main bola.

   Saat tinggal di rumah Bang Faisal, aku suka kalau dibuat agenda bermain bola. Biasanya kami bermain di depan kantor pemerintah di Jalan Pancing, Medan. Itu kerap kami mainkan meskipun tidak tiap sore. Tidak ada yang menarik dari permainan-permainan di sana.   Pada satu waktu, semua penghuni rumah Bang Faisal plus penghuni rumah Jubir bergabung satu tim melawan sebuah tim semi profesional. Mereka adalah atlit yang memang berlatih dan bermain sepak bola secara rutin.  

Pada hari pertandingan, kami bermain saja tanpa tekanan karena memang sudah yakin kalah. Mana mungkin bisa mengalahkan pemain profesional. Pertandingan tidak imbang. Kami nyaris tidak pernah mendapatkan bola. Semuanya hanya berlari ke mana bola dioper tim lawan. Mereka mempermainkan kami. Uniknya, pada satu kesempatan, saat seorang tim lawan mengoper kepada rekannya, bola disambar seorang pemain tim kami. Tendangannya sangat kuat. Bukan karena dia jago main bola. Bahkan terkadang saat hendak menendang bola berhenti, tidak kena. Di kampung sebelum konflik memuncak, dia bekerja bersama kerbau untuk mengangkut balok di hutan. Tenaganya nyaris sekuat kerbau. Kebetulan dia sedang menghadap gawang. Tepat di depan garis kotak penalti bagian luar. Tiba-tiba bola datang ke depan kakinya. Ditendangnya sangat kuat. Kebetulan kali itu kena. Kiper lawan yang merupakan pemain profesional, tidak menyangka ada bola sedang meroket ke arah gawangnya. Sepertinya dia lengah, karena sejak awal pertandingan, tidak pernah menyentuh bola. 

   Tim lawan menjadi semakin serius. Jadinya mereka dapat segera membalas sekitar lima menit kemudian, atau tepatnya menjelang babak pertama usai.

    Saat istirahat, kami makan pecal, gorengan, jus, sirup, dan sebagainya. Makanan kami seperti orang pergi piknik. Setelah kenyang, babak kedua dimulai. Tidak ada satu pun di antara kami yang sanggup berlari. Bola nyaris hanya berada di dalam kotak penalti kami. Karena sifat kami bermain adalah berlari ke mana arah bola, maka kami semua berkumpul di dalam kotak penalti gawang kami. Bola sangat sulit kebobolan karena kami nyaris berbaris di antara dua tiang gawang kami. Siapa saja di antar pemain tim kami kebetulan menemukan bola, segera ditendang ke depan, tidak lama, bola kembali berada di dalam kotak penalti kami. Begitu terus-menerus.

   Frustasi kesulitan membobolkan gawang tim super amatir seperti kami, tim lawan coba bermain agak ke belakang. Mereka bermain lebar di bagian tengah dan pinggir tengah lapangan. Bola-bola panjang tentu saja membuat kami seperti berlari secara bergerombol mengejar bola-bola jauh, persis seperti anak-anak ayam yang berlari ke sana ke mari mengejar induknya yang sedang mengejar lipan. 

   Sesekali pemain tim kami berhasil mencuri bola, namun segera direbut kembali oleh tim lawan. Salah satu rekan tim yang frustasi karena bola yang didapatkan sangat mudah direbut pemain lawan, dia segera menendang bola jauh ke depan mendekati kotak penalti lawan. Itu terjadi beberapa kali. Sebagaimana biasa kami berlari ke mana arah bola. Satu momen ketika kami terus berlari ke arah bola yang mengarah ke kotak penalti lawan, terjadi kemelut di depan gawang tim lawan, dekat garis kotak penalti.

   Pada momen itu, tiba-tiba bola dengan tinggi sekitar setengah meter meluncur ke arahku dari sisi kanan. Langsung saja badan kuarahkan menghadap bola, dengan kaki kanan kutendang sekuat tenaga bola itu ke arah gawang lawan. Aku terpeleset jatuh, bola meluncur ke dekat tiang kanan gawang. Kipernya sedang dekat tiang kiri gawang. Dia buang badan, tapi tangannya tidak dapat menjangkau bola. Gol.

   Kalaupun itu tidak gol, tendangan itu sangat membuatku puas. Menendang kuat membuat penendang puas. Apalagi saat itu aku terpelesat, namun bolanya pas kenanya. Apalagi gol. Aku seperti Frank Lampard.

  Tidak ada yang menduga itu gol. Termasuk aku sendiri. Tetapi instruksi wasit, jelas. 

   Pertandingan menyisakan waktu lima belas menit. Bang Faisal menginstruksikan kami untuk hanya bertahan. Tidak boleh ada yang keluar dari kotak penalti. Meskipun tim lawan coba memancing dengan bermain di tengah lapangan, paling hanya satu atau dua orang yang keluar mengejar. Sisanya bersiaga di dalam kotak penalti.

    Kemelut terus terjadi di depan gawang kami. Satu waktu menjelang wasit meniup peluit panjang, bola ditendang melambung, tak dapat dihalau kiper kami. Bola mengarah ke gawang. Untung saja ada Bang Faisal. Tepat di atas garis gawang, dia melompat dan berusaha menyundul bola. Berhasil. Satu menit kemudian, peluit panjang berbunyi. Kami selamat dari hasil imbang.

  Kalau saja bola itu tidak dapat disundul Bang Faisal, bisa saja akan ada perpanjangan waktu. Aku yakin pasti kami bisa kalah. Soalnya setelah pertandingan usai, semua pemain tim kami hampir pingsan. Itu adalah pertandingan yang sangat melelahkan. 

   Selesai pertandingan, kami semua sangat senang. Bang Faisal paling senang. Tidak menyangka kami bisa menang melawan tim semi profesional.  Padahal ada di antara kami, menendang bola saja tidak beres. Kami semua diberikan hadiah dan malamnya kami berpesta dengan bakar-bakar ikan.

   Setelah pertandingan bersejarah itu, kami semakin bersemangat main bola. Rupanya halaman kantor pemerintah di Jalan Pancing tidak boleh lagi digunakan bermain bola. Aku ikut dengan pemuda setempat bermain bola di depan sebuah gereja di Pasar Tiga. Mengingat bermain bola di pekarangan tempat ibadah, aku ingat saat di Bireuen beberapa kali aku sempat ikut dengan anak-anak Komes bermain bola di halaman samping Masjid Jamik.

  Sempat juga kami para penghuni rumah Bang Faisal bermain bola di jalan sempit menuju rumahnya. Satu sisi adalah tembok semen kasar. Sisi berlawanan adalah rawa-rawa. Satu kali aku berhadapan dengan salah seorang, dia menyikutku. Tulangnya sangat keras. Aku terpelanting ke arah tembok. Sikuku lecet.

   Karena sangat suka bermain bola, aku membeli kaus kaki, celana bola, jersey Italia, deker, dan sepatu bola. Seorang rekan sesama penghuni rumah Bang Faisal mengatakan, seharusnya deker tidak perlu dibeli. Itu pemborosan. Aku ingat dekerku bewarna merah. Padahal setelah itu, sangat jarang berkesempatan bermain bola. Kalaupun bermain, tidak boleh mengenakan sepatu.

Semua pertandingan bola yang kami mainkan di STM tidak dengan sepatu. Pertandingan-pertandingannya sangat seru. Di antara ada yang paling berkesan. Di STM adalah kemampuanku sebagai kiper mencapai level tinggi. Baik permainan biasa maupun pertandingan penting, aku menjadi kiper andalan.

Sekolahku di STM di bawah satu yayasan. Di sana ada STM, SMEA, SMA, dan SMP. Pertandingan antar unit di STM, aku kiper. Pertandingan antar angkatan di STM, aku kiper. Pertandingan mewakili STM melawan SMA, aku kiper. Pertandingan sesama yayasan yang mempertemukan antar tingkatan SLTA adalah yang paling kuingat.

   Teguh adalah teman kelas yang tidak pernah ikut main bola. Tapi satu kali mengamati permainan-permainan kami, dia mengatakan kami semua bukan levelnya.

  ''Ah segitu aja kemapuan mereka,'' kata Teguh satu ketika setelah menonton pertandingan non turnamen antara anak STM melawan anak SMA di lapangan sekolah.

  ''Kalau aku ikut main, dari pinggir lapangan di tengah, bisa kucetak gol yang indah,'' kata Teguh penuh percaya diri. Itu dikatakan dengan ekspresi serius meskipun sambil senyum. Karena teguh suka sekali senyum kalau bertemu orang dan kalau berbicara.

    Satu ketika dibuatlah turnamen pertandingan yang mempertemukan enam tim yakni tiga tim dari STM dan tiga tim dari SMA, masing-masing mewakili angkatan. Kalau tidak salah, itu saat kami kelas dua. Setelah diacak, dibagilah dua grup penyisihan. Juara satu dan dua dari masing-masing grup berhak maju ke semi final.

      Tim kami, Kelas 2 STM, berada di group A bersama kelas 1 SMA dan musuh bebuyutan kami, kelas 2 SMA. Tim kelas 2 SMA didominasi oleh anak kelas 2B, yang merupakan unit yang pernah cari masalah dengan kami.

    Pertandingan pertama kami, langsung berhadapan dengan Kelas 2 SMA.  Teguh ikut main. Ternyata dia memang sangat jago main bola. Sepertinya dia ikut latihan bersama tim profesional. Teguh mencetak hattrick. Kami mengalahkan Kelas 2 SMA dengan skor 4-1. Pada pertandingan kedua, meskipun Teguh tidak ikut bermain, kami mengalahkan  Kelas 1 SMA dengan skor 2-0 dan turun sebagai juara grup, sementara Kelas 2 SMA menjadi runner up grup setelah membantai Kelas 1 SMA dengan skor 4-0.

  Di semifinal, dengan susah payah kami menyingkirkan runner up grup B, Kelas 3 SMA dengan skor 1-0. Gol semata wayang kami dicetak oleh Jarames Johannes. Teguh masih enggan ikut bertanding. Malah dia memilih tidak bersokolah. Aku sendiri kalang-kabut menjaga gawang dari serangan-serangan tim lawan. Sementara Kelas 2 SMA dengan mudah menyingkirkan juara group B, Kelas 3 STM. Mereka unggul 3-0. Bembeng sebagai bomber andalan mereka mencetak hattrick.

   Menjelang final, kami memohon kepada teguh untuk ikut bertanding. ''Mereka adalah musuh bebuyutan kita. Ayolah. Ini bukan hanya soal pertandingan sepak bola, melainkan harga diri kita.''

   Provokasi dan persuasi berhasil. Teguh ikut bertanding. Pada pertandingan final paling berkesan itu, Teguh mencetak gol dari sisi kiri di tengah lapangan. Bola ditendang kuat ke arah tiang jauh gawang lawan. Kiper tidak mampu menghalau bola meski sudah terbang seperti Buffon. Aku sendiri harus melakukan beberapa penyelamatan penting. Serangan Bembeng dan Melki, dua striker lawan, sangat membuatku kewalahan.

   Tertinggal satu gol membuat Kelas 2 SMA bermain agresif. Tekel keras terus-menerus mereka hujamkan. Saat di depan gawang kami, pemain lawan menjadi semakin brutal. Pada sebuah kemelut dekat tiang gawang, pemain lawan sangat ngotot. Bagian belakang kepalaku terhantuk tiang gawang sisi kiri. Berdarah karena tiangnya dibuat dari kayu segi empat. Kulit kepalaku robek oleh sudut tiang. Pertandingan dihentikan satu menit. Kepalaku ditaruh obat merah dan dibalut perban. Pertandingan dilanjutkan meskipun aku bermain dengan kondisi pusing. Aku tidak mau digantikan karena tidak ingin menyesal seperti di NH dulu.

   Pada satu momen, Teguh ditekel. Dia terkilir dan keluar lapangan. Kami mulai kembut. Satu momen lainnya, adalah di antara yang paling bersejarah dalam hidupku. Bola melambung kencang ke arah gawangku. Di depan ada Bembeng yang berlari kencang memburu bola. Segera aku lari ke depan untuk menghampiri bola itu. Kutendang sekuat tenaga ke depan. Rupanya kelingking kanan kakiku menghantam, tulang kering Bembeng. Aku tidak dapat berdiri. Rupanya pangkal jari kaki kelingkingku menghijau. Saat menginjak tanah, sakit luar biasa. Pangkal kelingking jari kakiku patah. Aku segera dibawa dengan becak untuk mencari tukang kusuk. Rupanya lokasinya dekat rumah Bang Faisal. Setelah dikusuk, aku dihantar pulang. Keesokan harinya penyerahan piala. Kelas 2 SMA juara pertama. Teguh top skor dengan mencetak empat gol, meski di hanya memainkan dua pertandingan. Aku menjadi pemain terbaik. Mengambil piala dengan berjalan terpincang-pincang. Jarames mengambilkan piala untuk Teguh.

   Mengingat pertandingan itu, Aku merasa itu adalah karma. Aku memutuskan tidak ikut membantu tim pada turnamen di NH dulu. Butuh waktu sebulan agar jari kakiku sembuh. Teguh lebih parah lagi. Dia butuh dua bulan. Kami merasa tidak enak telah memaksanya ikut bertanding.

. Setelah pindah dari rumah Bang Faisal, aku tidak main bola lagi. Hingga menjelang masuk kuliah, aku pernah bermain satu kali ketika Intermediate Training PII yang diselenggarakan di pusat pelatihan guru di Aceh Besar. Halamannya yang luas kami jadikan lapangan. Peserta dan instruktur satu tim, melawan para panitia. Permainannya mengasyikkan. Aku menjadi kiper, tapi lupa skornya berapa. Kalau tidak salah, kami menang. Itu adalah salah satu permainan bola yang mengasyikkan.

  Beberapa kali aku sempat terlibat pada permainan bola sore di lapangan kampus Universitas Abulyatama. Tetapi kurang berkesan karena kurang akrab dengan para pemainnya yang merupakan mashasiswa FKIP Olah Raga.

  Terkait kuliah, terdapat sebuah kesan menarik mengenai sepak bola. Yakni saat KKN di Desa Deah Raya, Banda Aceh. Teman-teman KKN ingin membangun keakraban dengan masyarakat desa. Aku menawarkan triknya adalah dengan mengajak mereka melakukan pertandingan persahabatan. Teman-teman ragu karena mereka tidak dekat dengan masyarakat, jadi bagaimana hendak mengajak melakukan pertandingan itu.

    Lagi-lagi, solusinya dariku. Aku berjanji pada teman-teman akan mengurus masalah itu. Kenapa aku mampu? Karena sejak awal aku sudah dekat dengan pemuda desa tersebut. Bagaimana bisa?

     Sehari sebelum teman-teman KKN ke lokasi, aku ke desa Deah Raya. Aku datang membawa barang daganganku.  Aku berhenti di setiap lokasi yang banyak orangnya seperti warung, warung kopi, tempat perkumpulan ibu-ibu, dan sebagainya. Karena sadar selain untuk berjualan, tetapi untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat, aku lebih fokus mengobrol dan beramah-tamah daripada membuat barang dagangan laku.

   Aku ingat di beberapa lokasi pemberhentian mengatakan bahwa aku termasuk mahasiswa yang akan melakukan KKN di desa mereka. Warga sangat antusias. Jadinya saat KKN, aku sering ikut bergabung dengan masyarakat tanpa sepengetahuan teman-teman KKN. Sehingga untuk mengadakan pertandingan persahabatan melawan pemuda setempat, mudah bagiku mengomunikasikannya.

   Saat pertandingan dimulai, aku tidak turun sebagai pemain inti. Nomor punggung cantik saja aku tidak dapat. Aku ingat jersey untuk kami bewarna hitam, sementara tim lawan yakni pemuda setempat bewarna biru. Setelah beberapa pemain dari timku, yakni para mahasiswa KKN kelelahan, barulah aku dimainkan. Namun tetap saja kedudukan tidak dapat dikembalikan. Aku melihat para pemuda setempat punya kualitas permainan yang bagus. Sepertinya mereka rutin berlatih dan melakukan pertandingan. Lagi pula, tidak banyak kampung di kawasan Banda Aceh yang punya lapangan bola. Apalagi lapangan bola di Deah Raya kualitasnya sangat bagus.  Kami kalah, tetapi pertandingan sepak bola tersebut membuat para mahasiswa KKN menjadi sangat akrab dengan masyarakat. Sebelumnya mereka hanya seperti sekelompok orang asing dalam pandangan warga yang berkumpul melakukan kegiatan entah apa di pusat aktivitas desa mereka.

Di samping itu, di PII, aku pernah terlibat dalam pertandingan menarik antara para pengurus daerah PII seluruh Aceh dengan tim kami dari Pengurus Wilayah. Aku jadi striker dan Azadin menjadi kiper. Kami menang 4-1.

  Masih dengan para kader PII, pada satu waktu aku pernah diajak main futsal oleh generasi muda PII Bireuen di Meunasah Blang, Bireuen. Permainannya mengasyikkan. Sayang sekali tim lawan kecewa karena mereka tidak bisa membobol gawangku. Mungkin saja seandainya aku pemain profesional, itu adalah puncak kegemilanganku sebagai penjaga gawang. Tapi bukan itu permainan futsal yang paling menarik buatku.

  Permainan futsal paling menarik adalah di Jakarta bersama Pengurus Besar PII. menghadapi Pemuda Muhammadiyah. Tampaknya kami tampil di lapangan yang terletak di sebuah mall di kawasan Senen sebagai pecundang. Maklum saja, karena bahkan ada di antara kami yang menendang bola saja tidak kena. Satu-satunya di antara kami yang jago main bola hanya Kadri. Dia menjadi ujung tobak. Pemain lainnya seperti Dede, Ridha, Putra, dan beberapa lagi, kemampuannya pas-pasan. Aku bertindak sebagai kiper.

   Berbeda dengan Pemuda Muhammadiyah yang membawa banyak teman sehingga bisa gonta-ganti pemain dengan mudah setiap ada yang lelah, kami hanya membawa delapan orang, yang artinya hanya punya dua pemain cadangan. Bahkan salah satu di antara  pemain cadangan kami, beberapa kali menolak join ketika ada yang lelah, karena dia memang sama-sekali tidak bisa menendang bola. Akhirnya dia terpaksa masuk karena memang sudah sangat dipaksa. Dan hanya berdiri dan sesekali berlari-lari kecil saja di lapangan, nyaris tanpa menyentuh bola. Pemuda Muhammadiyah juga didampingi kader-kader putri yang ramai dan cantik-cantik. Pokoknya tim lawan punya kesiapan fisik dan psikis yang solid.

   Kami bermain mati-matian. Aku sendiri nyaris pingsan kelelahan. Serangan datang bertubi-tubi. Untung saja lapangannya sangat bagus. Di antara rumput sintetik yang sangat nyaman, ada potongan-potongan hitam sepertikaret di lapangan. Itu membuat kualitas lapangan futsal itu sangat nyaman. Aku tampil maksimal. Tiang gawang juga dilapisi karet tebal. Sangat aman. Karena sudah yakin kalah, tidak ada yang kuperjuangkan kecuali sekuat tenaga meminimalisir jumlah kebobolan. Aku berjuang seperti orang gila. Aku selalu membatin: Kalah sudah pasti, tapi usahakan kebobolannya tidak sebanyak mungkin.

   Otot-ototku lemas semua. Padahal saat itu usiaku sangat muda, usia dengan stamina maksimal. Lututku menjadi sangat lemas. Benar-benar lemas. Aku bermain nyaris tak sadarkan diri. Hanya berusaha menghalau serangan bertubi-tubi. Para pemain tim lawan badannya gagah semua. Ototnya kekar. Mereka juga punya supporter perempuan cantik-cantik.

    Aku belum pernah merasakan selelah itu. Sekaligus belum pernah bermain bola senikmat itu. Itu adalah permainan bola yang sangat mengesankan. Aku sangat bersemangat bermain. Ada semacam satu ideologi yang kupertahankan. Sekaligus kenikmatan yang luar biasa karena memperjuangkannya dengan sesuatu yang kusukai, yakni bermain bola. Sekitar seperti inilah bila seseorang harus bekerja keras, namun pada bidang yang sangat dia sukai.

   Misiku hanya mempertahankan agar kami tidak kebobolan sebanyak mungkin. Pada waktu istirahat yang hanya berlangsung sejenak, sempat kulirik papan skor digital di dinding. Di sana tertera 3-1. Oh, rupanya sudah kebobolan tiga gol, pikirku.

 Babak kedua aku bermain mati-matian. Serangan semakin dahsyat. Aku hanya berpikir untuk meminimalisir kekalahan. Saat itu aku nyaris tidak bisa berdiri. Lutut dan seluruh ototku sangat lemas. Bahu seperti sedang memakai tas gunung ukuran paling besar. Saat itu terpikir olehku, sebab itulah tidak baik minuman dan obat peningkat stamina. Karena ia memanipulasi otot yang sudah lemas, sementara jantung tidak kuat. Bila sesuatu dilakukan secara alami, maka otot akan terlebih dahulu kelelahan dibandingkan jantung. Bayangkan otot dipaksa oleh minuman berenergi, jantung akan lebih dahulu berhenti dibandingkan otot. Itu dapat menyebabkan kematian.

  Akhir pertandingan kulirik kembali papan skor digital itu. 6-4. Oh, Sampai enam rupanya kebobolannya, pikirku. Aku membatin lagi: lumayan juga, tidak sia-sia perjuanganku hingga hampir mati. Selisih kekalahan tidak terlalu menganga. Namun setelah lelah teman-teman berkurang, barulah tampak satu dia di antara teman setim muncul raut wajah bahagia. Itu tentu karena menikmati pertandingan, atau mensyukuri kekalahan yang tidak telakh. Beberapa pemain lawan datang menyalami dan mengucapkan selamat. Aku masih memaklumi selamat yang dimaksud karena kami bermain dengan baik sehingga tidak termasuk kategori dibantai. Karena selisih golnya tidak banyak, maka kami kalah terhormat.

 Baru menjelang pulang kuketahui bahwa ternyata kami tidak kalah. Rupanya kami menang. Nikmat sekali. Kemenangan itu menjadi perbincangan seminggu di Menteng Raya 58. Selama seminggu itu, kami yang bermain futsal hari itu berjalan dengan wajah tegak, penuh kebanggaan.

 Selanjutnya setelah pertandingan paling mengesankan itu, aku tidak terlalu ingat main bola mana lagi yang menarik. Saat pulang ke Aceh, aku ingat pernah beberapa kali main futsal bersama para dosen IAIN Langsa. Tapi pada sebuah portal berita aku mendapatkan informasi bahwa berkeringat di malam hari itu kurang sehat. Lagi pula permainan di sana kurang menarik. Beberapa pemain yang sama sekali tidak punya skil, tetapi bermain sangat ngotot. Jadinya banyak yang menuai cidera. Itu sangat merugikan. Ingin mencari keringat kenapa malah mendapatkan darah, patah, dan terkilir. Akhirnya aku berhenti ikut, dan memilih joging di pagi hari untuk berkeringat.

  Saat kembali ke Jakarta untuk kuliah doktor, aku kembali berkesempatan bermain futsal. Meskipun hanya bermain beberapa kali, aku sangat menikmatinya. Sayang sekali para pemain umumnya hanya bertujuan mencari keringat, jadi mereka kurang serius untuk memperdulikan skil dan teknik bermain. Maklum saja, mereka adalah orang-orang yang umumnya bekerja di kantor dari pagi hingga sore. Hanya hari Minggu saja mereka punya waktu untuk mengeluarkan keringat. Kalau tidak, mereka bisa cepat diserang penyakit. Pagi sampai sore berada di ruang ber-AC. tetapi ada juga di antara mereka yang bekerja di pasar. Mereka bermain bola pagi Minggu untuk mencari hiburan. Hanya golongan ini yang bermain serius. Aku menikmati beberapa pertandingan bersama orang-orang Aceh di Jakarta itu.

    Pertandingan bola jenis futsal lainnya yang kuikuti adalah turnamen tempatku bekerja yang mempertemukan antar fakultas. Aku bermain untuk Fakultas FEBI. Sebenarnya aku sudah malas bermain bersama orang-orang kampus, mereka dengan mudah membuat orang lain cidera. Sebab itu pada pertandingan pertama, aku masih enggan ikut. Timku kalah melawan Fakultas Tarbiah. Padahal Fakultas Tarbiyah sebelumnya dibantai Fakultas Syariah. Pertandingan kedua timku, aku ikut. Beberapa pemain penting Syariah tidak ikut. Kami membantai Syariah. Kemudian kami mengalahkan Biro I. Kemudian pertandingan melawan Biro II aku tidak ikut, karena kakiku sudah sangat sakit. Biar keren, sebut saja aku sedang cidera. Teman setimku lebih parah lagi. Dia striker yang tidak mencetak satu golpun sepanjang pertandingan. Persis seperti Giroud pada Piala Dunia 2018. Ternyata dia mengalami geger otak ringan. Pulang dari Penang, kesehatannya membaik.

Bola Bola Reviewed by Miswari on 03.27 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.