
BOLA adalah benda yang menghipnotis banyak anak,
termasuk aku waktu kecil dulu di Paya Cut. Sejak masih sanga bocah, aku sudah
menyukai bola. Aku mengambil resiko besar untuk bola dengan memberanikan diri
menyalakan tivi sebelum subuh untuk menonton Piala Dunia. Obsesi untuk
menyaksikan kompetisi itu muncul dari iklan-iklan yang kusaksikan pada siang
hari. Selebrasi Maradona benar-benar membuatku terpesona. Aku menyaksikan banyak
pertandingan langsung. Sepak bola saat itu sangat menarik. Apalagi menonton
berada dalam ketakukan. Sewaktu-waktu Ayah bisa bangun dan menghajarku.
Benar-benar tidak masuk akal seorang bocah kecil bangun tengah malam untuk
menonton sepak bola. Aku menyaksikan Davor Suker, Escobar, Bebeto, Romario yang
namanya baru kukenal belakangan. Pemain yang telah kukenal hanya Maradona.
Pertandingan Argentinalah yang kutunggu-tunggu. Aku menyukai pertandingan
pertama mereka, tapi sayang, Argentina memakai baju biru. Sayang sekali, saat
menyaksikan Maradona mengenakan biru putih, gagah dengan nomor 10 dan di
atasnya ada tulisan MARADONA, itu adalah terakhir kali dapat menyaksikannya
bertanding dengan seragam biru putih. Saat menyaksikan pertandingan itu, aku
tidak tahu setelah pertandingan dia dianggap bermasalah karena dugaan doping.
BOLA adalah benda yang menghipnotis banyak anak, termasuk aku waktu kecil dulu di Paya Cut. Sejak masih sanga bocah, aku sudah menyukai bola. Aku mengambil resiko besar untuk bola dengan memberanikan diri menyalakan tivi sebelum subuh untuk menonton Piala Dunia. Obsesi untuk menyaksikan kompetisi itu muncul dari iklan-iklan yang kusaksikan pada siang hari. Selebrasi Maradona benar-benar membuatku terpesona. Aku menyaksikan banyak pertandingan langsung. Sepak bola saat itu sangat menarik. Apalagi menonton berada dalam ketakukan. Sewaktu-waktu Ayah bisa bangun dan menghajarku. Benar-benar tidak masuk akal seorang bocah kecil bangun tengah malam untuk menonton sepak bola. Aku menyaksikan Davor Suker, Escobar, Bebeto, Romario yang namanya baru kukenal belakangan. Pemain yang telah kukenal hanya Maradona. Pertandingan Argentinalah yang kutunggu-tunggu. Aku menyukai pertandingan pertama mereka, tapi sayang, Argentina memakai baju biru. Sayang sekali, saat menyaksikan Maradona mengenakan biru putih, gagah dengan nomor 10 dan di atasnya ada tulisan MARADONA, itu adalah terakhir kali dapat menyaksikannya bertanding dengan seragam biru putih. Saat menyaksikan pertandingan itu, aku tidak tahu setelah pertandingan dia dianggap bermasalah karena dugaan doping.
Aku jadi
tergila-gila dengan Maradona. Menangis aku minta dibelikan jersey Argentina
yang bertuliskan nomor sepuluh dilengkapi nama Maradona. Tapi sayang sekali,
waktu itu jersey versi anak-anak tidak semudah sekarang didapatkan. Jangankan
jersey Argentina bertuliskan nama Maradona, jersey Argentina saja tidak dijual.
Yang ada adalah kaos bola entah apa-apa, tidak mereplikasi klub manapun.
Jadinya aku dibeli sebuah kaos bola yang tidak mereplikasi klub manapun bewarna
oranye-putih. Aku minta dibuatkan angka sepuluh beserta nama Maradona di atas
nomor sepuluh di punggung. Maletku yang ahli jahit baju, malah menempah namaku
sendiri di atas nomor. Jadinya setiap ke pAshar aku selalu dipanggil orang.
Bukan karena terkenal, tapi orang membaca namaku di atas nomor punggung.
Kegilaanku
terhadap bola memengaruhi teman-teman. Kami bermain bola di samping lapangan
orang dewasa. Sayangnya tempat anak-anak bermain bola berada di bawa pohon sawo
yang daunnya lebat, rantingnya banyak. Di sampingnya banyak tumbuh pohon pinang
dan pohon kelapa. Bola kami sering menyangkut di atas pohon. jenis bola plastik
yang kami mainkan keras dan kaku. Mudah nyangkut di atas pohon sawo versi lama
yang cabangnya banyak, daunnya lebat, sangat besar. Kalau terkena kulit, bola
itu sangat sakit.
Lapangan tempat
kami bermain terdapat beberapa pohon kelapa dan pohon pinang. Menggiring bola
tidak hanya harus menghindari lawan main, tapi juga banyak batang pinang dan
kelapa yang harus dilalui. Dengan itu seharusnya skil dan gocekan kami lebih
baik daripada pemain profesional yang tugasnya hanya melewati pemain lawan.
Tetatapi malah permainan kami jauh lebih buruk jika dibandingkan anak kota di
Matangglumpangdua yang bermain bola di tanah lapang, antara gedung-gedung di
komplek Perguruan Al-Muslim.
Di antara kami
sangat sering terjedot pohon saat bermain bola. Saya sendiri beberapa kali
terjedot pohon pinang saat menggiring bola. Pola permainan kami sangat buruk. Berlari
ke mana bola berada. Pembagian pemain untuk membuat dua tim, bukan untuk saling
mengoper, tetapi hanya berfungsi untuk menentukan siapa dan harus membobol
gawang mana.
Selain bola
plastik, pada kali lainnya kami memiliki bola yang kami sebut bola geutah
saban. Bola itu terbuat dari getah dari salah satu jenis pohon. Warnanya
kemerahan. Supaya tidak baling dan beratnya proporsional, kami membungkusnya
dengan plastik, kemudian diikat dengan merajut tali rafia hitam.
Meskipun sangat
enak dimainkan, meskipun telah dirawat dengan baik, bola itu tidak dapat
bertahan lama. Satu atau dua bulan sekali kami harus menggantinya.
Kami bermain
bola habis Ashar. Aku disuruh salat Ashar sebelum pergi bermain. Sepanjang
salat, bola mengisi otakku. Aku ingat salat di kamar Ayah saat masih berada di
sisi utara dekat kamar mandi.
Sebelumnya, ada
tentara yang mendirikan pos di Blang Mane. Kalau ke Matang, mereka sering
singgah di rumah gudang. Bahkan rumah kami telah menjadi posko kedua mereka.
Mereka makan, mandi, istirahat siang di rumah.
Aku pernah
dibawa mereka main-main ke pos mereka di Blang Mane. Pos mereka hanyalah sebuah
rumah dalam kompleks sekolah. Mereka punya satu sepeda motor untuk dipakai sekitar
dua belas orang. Komandannya bertubuh besar. Meskipun kulitnya terang, dia
tampak sangar.
Satu hari aku
dipinjamkan bola. Kupakai untuk bermain bersama teman-teman. Itu adalah bola
besar untuk anak-anak seusia kami. Mikasa nomor lima. Warna putih hitam seperti
bola Piala Dunia 1974. Kalau tidak salah ingat, dipinjamkan sekitar sepuluh
hari. Beberapa hari berikutnya setelah peminjaman bila selesai, aku dibawa lagi
ke pos. Di sana aku berusaha meminjam lagi bola itu. Selain aku, sepertinya
teman-temanku juga galau tidak ada bola. Namun sepertinya komandan keberatan.
Salah seorang
di antara tentara itu membelikan aku celengan. Katanya kalau rajin menabung,
suatu hari aku dapat membeli bola. Tapi itu akan terjadi sangat lambat. Setelah
beberapa lama menabung, aku hanya menghasilkan tiga ribu rupiah. Itu tidak
cukup. Uang itu habis entah membeli apa.
Lama kemudian, Ayah
memberikan sepuluh ribu rupiah untuk membeli bola. Rupanya jangankan Mikasa
nomor lima, Mikasa nomor tiga saja harganya tiga belas ribu lima ratus. Itu di
toko buku Pakisco. Disebelahnya, berselang
toko sepeda, adalah toko buku Matang Teknik. Di sana ada bola bukan merek
Mikasa, nomor lima. Harganya sepuluh ribu rupiah. Tidak jadi kubeli karena
inginnya Mikasa nomor lima.
Beberapa hari
setelah pikir-pikir, kuputuskan membeli bola nomor lima yang bukan Mikasa itu
di Matang Teknik. Pertimbangan utamanya adalah, meskipun sangat menginginkan
Mikasa nomor lima, tetapi itu nyaris mustahil karena tidak ada satu peluang pun
yang memungkinkan aku memiliki tambahan uang.
Meskipun tidak
memiliki kualitas sebaik Mikasa, bolaku itu enak dan nyaman dimainkan. Dengan
begitu aku dapat bermain bola dengan lancar bersama teman-teman. Karena
melakukan beberapa kesalahan, terutama kebiasaan meninggalkan sepeda pulang
main bola, aku dihukum tidak boleh main ke luar pekarangan rumah. Setelah
kuingat-ingat, kebiasaanku meninggalkan sepeda dilokasi bermain karena pergi
sendiri, tetapi saat pulang sambil mengobrol dengan teman-teman. Jadinya sepeda
tertinggal di lokasi bermain.
Karena aku
dilarang pergi bermain, sementara bola adalah milikku, solusinya adalah kami
bermain di halaman rumahku. Halaman rumah gudang sangat luas. Meskipun sisi
utara adalah pohon-pohon dan semak-semak. Apalagi bagian tengah, rumput-rumput
sedikit terjinakkan karena itu merupakan jalur mobil. Ayahku bekerja dengan mobil
Nek Bah sebagai pencari pinang ke pelosok-pelosok berbagai daerah untuk
dihantar ke gudang Nek Bah di Simpang Peut, Peusangan.
Bermain bola di
halaman rumahku sangat seru. Itu jauh lebih asyik daripada harus bermain di
dekat lapangan orang dewasa di antara pohon-pohon pinang dan kelapa dekat pohon
sawo besar dekat SD.
Karena kualitas
bolaku makin lama menjadi makin kurang baik, meskipun setelah ia rusak, setelah
ibuku lama melupakan hukumanku, kami masih bermain bola di halaman rumahku. Aku
tidak ingat bola apa saja yang kami mainkan setelah itu. Yang aku ingat adalah
waktu-waktu ketika bolaku menjelang rusak. Mula-mula warnanya pudar. Dari putih
menjadi abu-abu. Karet bagian luarnya terkelupas. Lama-lama satu bagian jahitan
sobek. Kami memasukkan plastik supaya tidak gampang bocor. Beberapa waktu
kemudian banyak bagian yang sobek sehingga baling bila ditendang.
Akhirnya kami
kupas hingga tinggal bulatan seperti ban dalam mobil. Kami membungkusnya dengan
plastik dan merajut dengan tali rapia. Persis seperti kami membuat bola geutah
saban. Beberapa waktu kemudian kami memainkan bola itu hingga benar-benar tidak
bisa digunakan lagi dan kami menggantinya dengan bola lain yang sepertinya
kembali memainkan bola plastik atau bola geutah saban.
Lain waktu, seorang kepala sekolah di kampung kami punya
anak adalah teman sepermainanku. Dia ambil Mikasa nomor lima yang kuperkirakan
adalah bola milik sekolah. Kuat dugaan, bola itu diambil tanpa sepengetahuan
ayahnya. Setelah beberapa hari kami mainkan, yang sering adalah bermain di
halaman rumah klasik nan mewah milik neneknya seorang teman lainnya. Itu adalah
halaman yang luas di bagian samping berbatasan dengan halaman tetangga
menggunakan pagar kawat duri. Pada satu permainan itu, bola menyangkut di kawat
duri. Duri-duri kawat itu tidak lazim: terlalu tebal, terlalu pandang, dan
terlalu runcing. Salah satu duri menembus bola. Saat diambil, angin keluar dari
bola.
Kepanikan melanda.
Apalagi kami punya dugaan itu adalah bola milik sekolah. Selang dua hari,
solusi ditemukan. Kami yang ikut bermain hari itu harus menabung pada sebuah
celengan yang telah disediakan hingga mencapai jumlah uang harga bola. Tetapi setelah
seminggu menabung, meskipun jumlah tabungan belum mencapai seper empat harga
bola, rupanya bola itu bisa ditambal dan menjadi tampak seperti baru. Akhirnya
menabung dihentikan. Setelah dipotong biaya hasil tambal, kami berencana
membeli bola yang biasa-biasa saja.
Satu waktu kami
ke kampus Al-Muslim untuk bermain bola bersama anak-anak kedai. Didominasi anak
Tionghoa, kami dibantai delapan kosong. Anak-anak kedai bermain bola seperti di
tivi. Mereka mengoper bola terus-menerus kepada rekannya. Sementara kami
berlari ke mana bola ditendang. Kalau ada rekan kami yang mendapatkan bola, dia
langsung berlari sendiri menuju gawang lawan. Tetapi tidak pernah lama karena
baru tiga hingga lima detik, bola direbut kembali oleh tim lawan.
Tidak ada waktu
istirahat untuk pertandingan itu. Umumnya kami bermain setiap sore juga begitu.
Permainan berlangsung dari setelah Ashar hingga menjelang magrib. Bila ada pemain
yang lelah, dia bisa berdiri saja di tengah lapangan. Bila ada yang kehausan,
dia akan pulang ke rumah untuk minum. Bila ada yang dipanggil orangtuanya untuk
membelikan sesuatu, dia bisa pergi saja dan setelah kembali bisa bermain lagi.
Meskipun
kualitas permainan kami hancur lebur, aku sendiri kalau pulang Ke Tanjong Beuridi,
bila menjadi pemain top. Sesekali ibu membawaku ke desa itu. Jaaraknya dua belas
kilometer ke selatan dari Matangglumpangdua. Tetapi dulu rasanya seperti tujuh
puluh kilometer. Rute yang berbeda, kendaraan yang digunakan, kondisi jalan
pada masa itu, membuat perjalanan ke Tanjong Beuridi terasa sangat jauh.
Lapangan tempat kami bermain bola di Tanjong Beuridi,
tidak jauh dari rumah nenek. Bukan lapangan yang luas dekat masjid. Lapangan
tempat kami anak-anak main bola adalah
tanah lapang yang dijadikan lapangan bola. Sekelilingnya adalah
semak-semak. Ada beberapa kubangan di pinggir lapangan. Itu tempat favorit
kerbau. Kalau akan main, teman-teman memindahkan sapi dan kerbau yang sedang
merumput ke luar lapangan. Gantian, kami yang “merumput”. Selain menghalangi
permainan, hewan-hewan itu bisa berlari kalau dekat dengan orang-orang yang
sedang berlari.
Aku menjadi
bintang lapangan kalau main bola di Tanjong Beuridi. Haji yang merupakan pemain
terbaik di sana, suka bermain setim denganku. Jadinya dia sangat banyak memberikan
umpan kepadaku. Aku melakukan penyelesaian dengan baik. Pernah pada satu
pertandingan di Tanjong Beuridi, aku mencetak delapan gol. Namaku menjadi
dibicarakan di Tanjong Beuridi. Adapun Tanjong Beuridi adalah desa yang
disegani kalau ada pertandingan antar kampung. Hal ini menunjukkan kalau aku
sebenarnya tidak terlalu buruk bermain bola. Tapi permainan sore kami di Paya
Cut dan Seuneubok Aceh saja yang unik. Tidak ada yang namanya mengoper bola.
Padahal kalau kuperhatikan orang-orang dewasa bermain, mereka juga rajin
mengoper, meski tidak serajin tiki-taka Barcelona.
Bisa jadi kalau
fokus pada sepakbola, aku bisa menjadi pemain terkenal. Tetapi itu agak sulit. Di
Barat bahkan banyak anak yang hanya fokus pada sepakbola, makanya bisa jadi
pemain profesional. Sementara kami main bolanya berlari ke mana arah bola. Kami
nyaris tidak kenal yang namanya oper kepada teman. Kalaupun harus terjadi, mengoper
hanya dilakukan pada teman dekat atau teman yang disukai. Sepertinya sikap
seperti itu tidak memengaruhi kehidupan.
Masuk pesantren
AA, beberapa kali aku sempat menjadi kiper. Tetapi kesempatan bermain sangat
langka. Karena di AA, habis Ashar adalah waktu sekolah sore, tetapi dengan
pakaian bebas. Jadwal itu setelah tidur siang yang diwajibkan sebelum Ashar.
Dulu aku benci tidur siang.
Dari Paya Cut,
kami pindah ke Meunasah Dayah Bireuen. Itu
adalah desa paling indah yang pernah kulihat. Orangnya ramah-ramah. Penghasilan
mereka baik-baik. Yang miskin mereka bantu. Solidaritas sangat tinggi, namun
tidak narsis. Beda dengan banyak daerah lainnya, memang banyak orang terlihat
bersolidaritas, tetapi narsis.
Meunasah Dayah
juga punya kualitas pesepakbola di atas rata-rata. Mereka punya lapangan desa
yang bagus. Tapi letaknya di perbukitan. Kalau bola ditendang terlalu kuat,
capek sekali kiper mengambilnya. Beda dengan masa pertandingan: ada anak bola,
ada jaring, ada banyak pola. Di samping lapangan besar ada tanah lapang yang
luas. Anak-anak bermain sepak bola di lapangan yang mereka buat di tanah lapang
dekat lapangan. Kalau sedang ramai, anak-anak bisa membuat beberapa lapangan.
Meskipun masih MTs, aku tidak bermain bersama anak-anak karena tubuhku terlalu
tinggi untuk ukuran anak MTs. Jadi aku bermain bersama orang dewasa. Tetapi
sebenarnya mereka terlalu kuat untukku. Laga bodi sering kalah, untung saja aju
sering menjadi kiper. Kalau menjadi kiper, tendangan mereka membuatku
kewalahan. Aku ingat satu waktu menjadi kiper di lapangan Cet Gon Bhan itu. Aku
tidak berdaya satu lawan satu menghadapi striker lawan. Aku lupa namanya.
Wajahnya masih aku ingat.
Ada waktu
situasi sedang mencekam. Konflik memuncak. Orang-orang tidak berani ke Cet Gon
Bhan. Karena lokasi lapangan itu adalah di bukit yang jauh dari rumah-rumah
warga. Lagi pula, diisukan bahwa jalan ke sana adalah rute persembunyian kelompok
separatis. Aparat bisa datang kapan saja untuk mencari separatis. Kita tidak
tahu siapa yang dicurigai, siapa yang tidak. Semua warga harus waspada. Jangan
asal keluyuran.
Pada situasi
menegangkan, setidaknya kami bermain bola di sebuah kebun kelapa. Selain tim
lawan, pohon-pohon kelapa juga harus diwaspadai. Pada sebuah pertandingan, bola
ditangkap kiper. Kemudian ditendang melambung tinggi. Bola mengenai batang kelapa
dan mental masuk ke gawangnya. Diputuskan gol karena bukan dalam situasi bola
mati.
Masuk pesantren
NH, di situ pengalamanku dengan sepak bola menjadi lebih mengesankan. Aku
menjadi kiper terkenal di sana. Apalagi kabarnya ada alumni pesantren tersebut
pernah menjadi kiper tim Nasional. Di NH, menjadi kiper adalah kebanggaan.
Aku didapuk
menjadi kiper bermula dari pada permainan biasa sore hari, suka buang badan
saat menangkap bola. Dari sana teman-teman menduga aku punya potensi besar
menjadi kiper yang hebat, sehingga aku kerap dipercaya menjadi kiper.
Di NH, setelah
Ashar adalah waktu bebas. Banyak teman-teman berolah raga. Aku sendiri menjadi
semakin sering menjadi kiper. Sehingga pada satu turnamen pertandingan, aku dipercaya
menjadi kiper mewakili angkatanku. Kalau tidak salah melawan tim sekolah lain.
Acaranya sangat
meriah. Penonton sangat banyak. Aku gugup. Jadinya kebobolan beberapa gol.
Penampilanku saat itu sangat mengecewakan. Namun secara keseluruhan di NH,
menurutku, aku tetap dilihat sebagai salah satu kiper terbaik.
Setelah turnamen
itu, setiap sore aku selalu tampil memuaskan.
Pada satu
momen, dibuatlah pertandingan antar lantai asrama. Ada dua gedung asrama. Setiap
gedung memiliki empat lantai. Total delapan tim. Semua tim bertemu untuk
memeprebutkan empat besar di semi final. Aku tampil baik sehingga tim kami
lolos ke semi final. Semua tim memakai jersey negara-negara kuat sepak bola.
Itu ditentukan pamong. Pamong kami suka Argentina. Jadinya kami memakai jersey
Argentina. Kecuali aku dan kiper cadangan mengenakan baju kiper.
Menjelang
semifinal melawan tim jersey Kroasia, aku sakit. Saat pertandingan, aku di
kamar. Informasi kuterima, kami kebobolan tiga gol tanpa balas hingga babak
pertama usai. Kesal sekali rasanya. Kakak kelas yang merupakan pamong
membujukku untuk coba bermain. Sepertinya aku sanggup. Apalagi emosiku memuncak
karena tim kami dihajar.
''Ayolah,
Miswari. Coba saja. Berdiri saja di bawah gawang enggak apa-apa''
Aku tidak
menjawab.
''Ayola,'' dia
melanjutkan, ''kiper cadangan tampil sangat mengecewakan.''
Aku tahu itu.
Dia tampil sangat buruk. Aku sempat mengintip dari jendela. Bola tendangan
tidak berbahaya saja, dia kebobolan.
Aku melakukan
sesuatu yang menjadi salah satu penyesalan yang kuiingat seumur hidup. pamong
pergi dengan kecewa. Aku merasa sangat bersalah. Aku benar-benar menyesal.
Sepertinya kondisiku sudah membaik. Tetapi kalau aku ikut bertanding, mudabbir
alias pihak penertiban tidak akan tinggal diam. Aku bisa dihajar karena sudah
beberapa hari tidak ikut jamaah ke masjid, nasi dihantar teman ke asrama, tapi
tiba-tiba main bola.
Saat tinggal di
rumah Bang Faisal, aku suka kalau dibuat agenda bermain bola. Biasanya kami
bermain di depan kantor pemerintah di Jalan Pancing, Medan. Itu kerap kami
mainkan meskipun tidak tiap sore. Tidak ada yang menarik dari
permainan-permainan di sana. Pada satu
waktu, semua penghuni rumah Bang Faisal plus penghuni rumah Jubir bergabung
satu tim melawan sebuah tim semi profesional. Mereka adalah atlit yang memang
berlatih dan bermain sepak bola secara rutin.
Pada hari pertandingan, kami bermain saja tanpa tekanan
karena memang sudah yakin kalah. Mana mungkin bisa mengalahkan pemain
profesional. Pertandingan tidak imbang. Kami nyaris tidak pernah mendapatkan
bola. Semuanya hanya berlari ke mana bola dioper tim lawan. Mereka mempermainkan
kami. Uniknya, pada satu kesempatan, saat seorang tim lawan mengoper kepada
rekannya, bola disambar seorang pemain tim kami. Tendangannya sangat kuat.
Bukan karena dia jago main bola. Bahkan terkadang saat hendak menendang bola
berhenti, tidak kena. Di kampung sebelum konflik memuncak, dia bekerja bersama
kerbau untuk mengangkut balok di hutan. Tenaganya nyaris sekuat kerbau.
Kebetulan dia sedang menghadap gawang. Tepat di depan garis kotak penalti
bagian luar. Tiba-tiba bola datang ke depan kakinya. Ditendangnya sangat kuat.
Kebetulan kali itu kena. Kiper lawan yang merupakan pemain profesional, tidak
menyangka ada bola sedang meroket ke arah gawangnya. Sepertinya dia lengah,
karena sejak awal pertandingan, tidak pernah menyentuh bola.
Tim lawan
menjadi semakin serius. Jadinya mereka dapat segera membalas sekitar lima menit
kemudian, atau tepatnya menjelang babak pertama usai.
Saat istirahat,
kami makan pecal, gorengan, jus, sirup, dan sebagainya. Makanan kami seperti
orang pergi piknik. Setelah kenyang, babak kedua dimulai. Tidak ada satu pun di
antara kami yang sanggup berlari. Bola nyaris hanya berada di dalam kotak
penalti kami. Karena sifat kami bermain adalah berlari ke mana arah bola, maka
kami semua berkumpul di dalam kotak penalti gawang kami. Bola sangat sulit
kebobolan karena kami nyaris berbaris di antara dua tiang gawang kami. Siapa
saja di antar pemain tim kami kebetulan menemukan bola, segera ditendang ke
depan, tidak lama, bola kembali berada di dalam kotak penalti kami. Begitu
terus-menerus.
Frustasi kesulitan
membobolkan gawang tim super amatir seperti kami, tim lawan coba bermain agak
ke belakang. Mereka bermain lebar di bagian tengah dan pinggir tengah lapangan.
Bola-bola panjang tentu saja membuat kami seperti berlari secara bergerombol
mengejar bola-bola jauh, persis seperti anak-anak ayam yang berlari ke sana ke mari
mengejar induknya yang sedang mengejar lipan.
Sesekali pemain
tim kami berhasil mencuri bola, namun segera direbut kembali oleh tim lawan.
Salah satu rekan tim yang frustasi karena bola yang didapatkan sangat mudah
direbut pemain lawan, dia segera menendang bola jauh ke depan mendekati kotak
penalti lawan. Itu terjadi beberapa kali. Sebagaimana biasa kami berlari ke
mana arah bola. Satu momen ketika kami terus berlari ke arah bola yang mengarah
ke kotak penalti lawan, terjadi kemelut di depan gawang tim lawan, dekat garis
kotak penalti.
Pada momen itu,
tiba-tiba bola dengan tinggi sekitar setengah meter meluncur ke arahku dari
sisi kanan. Langsung saja badan kuarahkan menghadap bola, dengan kaki kanan
kutendang sekuat tenaga bola itu ke arah gawang lawan. Aku terpeleset jatuh,
bola meluncur ke dekat tiang kanan gawang. Kipernya sedang dekat tiang kiri
gawang. Dia buang badan, tapi tangannya tidak dapat menjangkau bola. Gol.
Kalaupun itu
tidak gol, tendangan itu sangat membuatku puas. Menendang kuat membuat
penendang puas. Apalagi saat itu aku terpelesat, namun bolanya pas kenanya.
Apalagi gol. Aku seperti Frank Lampard.
Tidak ada yang
menduga itu gol. Termasuk aku sendiri. Tetapi instruksi wasit, jelas.
Pertandingan menyisakan
waktu lima belas menit. Bang Faisal menginstruksikan kami untuk hanya bertahan.
Tidak boleh ada yang keluar dari kotak penalti. Meskipun tim lawan coba
memancing dengan bermain di tengah lapangan, paling hanya satu atau dua orang
yang keluar mengejar. Sisanya bersiaga di dalam kotak penalti.
Kemelut terus
terjadi di depan gawang kami. Satu waktu menjelang wasit meniup peluit panjang,
bola ditendang melambung, tak dapat dihalau kiper kami. Bola mengarah ke
gawang. Untung saja ada Bang Faisal. Tepat di atas garis gawang, dia melompat
dan berusaha menyundul bola. Berhasil. Satu menit kemudian, peluit panjang
berbunyi. Kami selamat dari hasil imbang.
Kalau saja bola
itu tidak dapat disundul Bang Faisal, bisa saja akan ada perpanjangan waktu.
Aku yakin pasti kami bisa kalah. Soalnya setelah pertandingan usai, semua
pemain tim kami hampir pingsan. Itu adalah pertandingan yang sangat
melelahkan.
Selesai
pertandingan, kami semua sangat senang. Bang Faisal paling senang. Tidak menyangka
kami bisa menang melawan tim semi profesional.
Padahal ada di antara kami, menendang bola saja tidak beres. Kami semua
diberikan hadiah dan malamnya kami berpesta dengan bakar-bakar ikan.
Setelah pertandingan
bersejarah itu, kami semakin bersemangat main bola. Rupanya halaman kantor
pemerintah di Jalan Pancing tidak boleh lagi digunakan bermain bola. Aku ikut
dengan pemuda setempat bermain bola di depan sebuah gereja di Pasar Tiga.
Mengingat bermain bola di pekarangan tempat ibadah, aku ingat saat di Bireuen
beberapa kali aku sempat ikut dengan anak-anak Komes bermain bola di halaman
samping Masjid Jamik.
Sempat juga kami
para penghuni rumah Bang Faisal bermain bola di jalan sempit menuju rumahnya.
Satu sisi adalah tembok semen kasar. Sisi berlawanan adalah rawa-rawa. Satu kali
aku berhadapan dengan salah seorang, dia menyikutku. Tulangnya sangat keras.
Aku terpelanting ke arah tembok. Sikuku lecet.
Karena sangat
suka bermain bola, aku membeli kaus kaki, celana bola, jersey Italia, deker,
dan sepatu bola. Seorang rekan sesama penghuni rumah Bang Faisal mengatakan,
seharusnya deker tidak perlu dibeli. Itu pemborosan. Aku ingat dekerku bewarna
merah. Padahal setelah itu, sangat jarang berkesempatan bermain bola. Kalaupun
bermain, tidak boleh mengenakan sepatu.
Semua pertandingan bola yang kami mainkan di STM tidak
dengan sepatu. Pertandingan-pertandingannya sangat seru. Di antara ada yang
paling berkesan. Di STM adalah kemampuanku sebagai kiper mencapai level tinggi.
Baik permainan biasa maupun pertandingan penting, aku menjadi kiper andalan.
Sekolahku di STM di bawah satu yayasan. Di sana ada STM,
SMEA, SMA, dan SMP. Pertandingan antar unit di STM, aku kiper. Pertandingan antar
angkatan di STM, aku kiper. Pertandingan mewakili STM melawan SMA, aku kiper. Pertandingan
sesama yayasan yang mempertemukan antar tingkatan SLTA adalah yang paling
kuingat.
Teguh adalah
teman kelas yang tidak pernah ikut main bola. Tapi satu kali mengamati
permainan-permainan kami, dia mengatakan kami semua bukan levelnya.
''Ah segitu aja
kemapuan mereka,'' kata Teguh satu ketika setelah menonton pertandingan non
turnamen antara anak STM melawan anak SMA di lapangan sekolah.
''Kalau aku ikut
main, dari pinggir lapangan di tengah, bisa kucetak gol yang indah,'' kata Teguh
penuh percaya diri. Itu dikatakan dengan ekspresi serius meskipun sambil
senyum. Karena teguh suka sekali senyum kalau bertemu orang dan kalau
berbicara.
Satu ketika
dibuatlah turnamen pertandingan yang mempertemukan enam tim yakni tiga tim dari
STM dan tiga tim dari SMA, masing-masing mewakili angkatan. Kalau tidak salah,
itu saat kami kelas dua. Setelah diacak, dibagilah dua grup penyisihan. Juara
satu dan dua dari masing-masing grup berhak maju ke semi final.
Tim kami,
Kelas 2 STM, berada di group A bersama kelas 1 SMA dan musuh bebuyutan kami,
kelas 2 SMA. Tim kelas 2 SMA didominasi oleh anak kelas 2B, yang merupakan unit
yang pernah cari masalah dengan kami.
Pertandingan
pertama kami, langsung berhadapan dengan Kelas 2 SMA. Teguh ikut main. Ternyata dia memang sangat
jago main bola. Sepertinya dia ikut latihan bersama tim profesional. Teguh mencetak
hattrick. Kami mengalahkan Kelas 2 SMA dengan skor 4-1. Pada pertandingan
kedua, meskipun Teguh tidak ikut bermain, kami mengalahkan Kelas 1 SMA dengan skor 2-0 dan turun sebagai
juara grup, sementara Kelas 2 SMA menjadi runner up grup setelah membantai
Kelas 1 SMA dengan skor 4-0.
Di semifinal,
dengan susah payah kami menyingkirkan runner up grup B, Kelas 3 SMA dengan skor
1-0. Gol semata wayang kami dicetak oleh Jarames Johannes. Teguh masih enggan
ikut bertanding. Malah dia memilih tidak bersokolah. Aku sendiri kalang-kabut
menjaga gawang dari serangan-serangan tim lawan. Sementara Kelas 2 SMA dengan
mudah menyingkirkan juara group B, Kelas 3 STM. Mereka unggul 3-0. Bembeng
sebagai bomber andalan mereka mencetak hattrick.
Menjelang
final, kami memohon kepada teguh untuk ikut bertanding. ''Mereka adalah musuh
bebuyutan kita. Ayolah. Ini bukan hanya soal pertandingan sepak bola, melainkan
harga diri kita.''
Provokasi dan
persuasi berhasil. Teguh ikut bertanding. Pada pertandingan final paling
berkesan itu, Teguh mencetak gol dari sisi kiri di tengah lapangan. Bola
ditendang kuat ke arah tiang jauh gawang lawan. Kiper tidak mampu menghalau
bola meski sudah terbang seperti Buffon. Aku sendiri harus melakukan beberapa
penyelamatan penting. Serangan Bembeng dan Melki, dua striker lawan, sangat
membuatku kewalahan.
Tertinggal satu
gol membuat Kelas 2 SMA bermain agresif. Tekel keras terus-menerus mereka
hujamkan. Saat di depan gawang kami, pemain lawan menjadi semakin brutal. Pada
sebuah kemelut dekat tiang gawang, pemain lawan sangat ngotot. Bagian belakang
kepalaku terhantuk tiang gawang sisi kiri. Berdarah karena tiangnya dibuat dari
kayu segi empat. Kulit kepalaku robek oleh sudut tiang. Pertandingan dihentikan
satu menit. Kepalaku ditaruh obat merah dan dibalut perban. Pertandingan
dilanjutkan meskipun aku bermain dengan kondisi pusing. Aku tidak mau
digantikan karena tidak ingin menyesal seperti di NH dulu.
Pada satu
momen, Teguh ditekel. Dia terkilir dan keluar lapangan. Kami mulai kembut. Satu
momen lainnya, adalah di antara yang paling bersejarah dalam hidupku. Bola
melambung kencang ke arah gawangku. Di depan ada Bembeng yang berlari kencang
memburu bola. Segera aku lari ke depan untuk menghampiri bola itu. Kutendang
sekuat tenaga ke depan. Rupanya kelingking kanan kakiku menghantam, tulang
kering Bembeng. Aku tidak dapat berdiri. Rupanya pangkal jari kaki kelingkingku
menghijau. Saat menginjak tanah, sakit luar biasa. Pangkal kelingking jari
kakiku patah. Aku segera dibawa dengan becak untuk mencari tukang kusuk.
Rupanya lokasinya dekat rumah Bang Faisal. Setelah dikusuk, aku dihantar
pulang. Keesokan harinya penyerahan piala. Kelas 2 SMA juara pertama. Teguh top
skor dengan mencetak empat gol, meski di hanya memainkan dua pertandingan. Aku
menjadi pemain terbaik. Mengambil piala dengan berjalan terpincang-pincang. Jarames
mengambilkan piala untuk Teguh.
Mengingat pertandingan
itu, Aku merasa itu adalah karma. Aku memutuskan tidak ikut membantu tim pada
turnamen di NH dulu. Butuh waktu sebulan agar jari kakiku sembuh. Teguh lebih
parah lagi. Dia butuh dua bulan. Kami merasa tidak enak telah memaksanya ikut
bertanding.
. Setelah
pindah dari rumah Bang Faisal, aku tidak main bola lagi. Hingga menjelang masuk
kuliah, aku pernah bermain satu kali ketika Intermediate Training PII yang
diselenggarakan di pusat pelatihan guru di Aceh Besar. Halamannya yang luas
kami jadikan lapangan. Peserta dan instruktur satu tim, melawan para panitia.
Permainannya mengasyikkan. Aku menjadi kiper, tapi lupa skornya berapa. Kalau
tidak salah, kami menang. Itu adalah salah satu permainan bola yang
mengasyikkan.
Beberapa kali
aku sempat terlibat pada permainan bola sore di lapangan kampus Universitas
Abulyatama. Tetapi kurang berkesan karena kurang akrab dengan para pemainnya
yang merupakan mashasiswa FKIP Olah Raga.
Terkait kuliah,
terdapat sebuah kesan menarik mengenai sepak bola. Yakni saat KKN di Desa Deah
Raya, Banda Aceh. Teman-teman KKN ingin membangun keakraban dengan masyarakat
desa. Aku menawarkan triknya adalah dengan mengajak mereka melakukan
pertandingan persahabatan. Teman-teman ragu karena mereka tidak dekat dengan
masyarakat, jadi bagaimana hendak mengajak melakukan pertandingan itu.
Lagi-lagi,
solusinya dariku. Aku berjanji pada teman-teman akan mengurus masalah itu.
Kenapa aku mampu? Karena sejak awal aku sudah dekat dengan pemuda desa
tersebut. Bagaimana bisa?
Sehari
sebelum teman-teman KKN ke lokasi, aku ke desa Deah Raya. Aku datang membawa
barang daganganku. Aku berhenti di
setiap lokasi yang banyak orangnya seperti warung, warung kopi, tempat
perkumpulan ibu-ibu, dan sebagainya. Karena sadar selain untuk berjualan,
tetapi untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat, aku lebih fokus mengobrol
dan beramah-tamah daripada membuat barang dagangan laku.
Aku ingat di beberapa
lokasi pemberhentian mengatakan bahwa aku termasuk mahasiswa yang akan
melakukan KKN di desa mereka. Warga sangat antusias. Jadinya saat KKN, aku
sering ikut bergabung dengan masyarakat tanpa sepengetahuan teman-teman KKN. Sehingga
untuk mengadakan pertandingan persahabatan melawan pemuda setempat, mudah
bagiku mengomunikasikannya.
Saat
pertandingan dimulai, aku tidak turun sebagai pemain inti. Nomor punggung
cantik saja aku tidak dapat. Aku ingat jersey untuk kami bewarna hitam,
sementara tim lawan yakni pemuda setempat bewarna biru. Setelah beberapa pemain
dari timku, yakni para mahasiswa KKN kelelahan, barulah aku dimainkan. Namun
tetap saja kedudukan tidak dapat dikembalikan. Aku melihat para pemuda setempat
punya kualitas permainan yang bagus. Sepertinya mereka rutin berlatih dan
melakukan pertandingan. Lagi pula, tidak banyak kampung di kawasan Banda Aceh
yang punya lapangan bola. Apalagi lapangan bola di Deah Raya kualitasnya sangat
bagus. Kami kalah, tetapi pertandingan
sepak bola tersebut membuat para mahasiswa KKN menjadi sangat akrab dengan
masyarakat. Sebelumnya mereka hanya seperti sekelompok orang asing dalam
pandangan warga yang berkumpul melakukan kegiatan entah apa di pusat aktivitas
desa mereka.
Di samping itu, di PII, aku pernah terlibat dalam
pertandingan menarik antara para pengurus daerah PII seluruh Aceh dengan tim
kami dari Pengurus Wilayah. Aku jadi striker dan Azadin menjadi kiper. Kami
menang 4-1.
Masih dengan
para kader PII, pada satu waktu aku pernah diajak main futsal oleh generasi
muda PII Bireuen di Meunasah Blang, Bireuen. Permainannya mengasyikkan. Sayang
sekali tim lawan kecewa karena mereka tidak bisa membobol gawangku. Mungkin
saja seandainya aku pemain profesional, itu adalah puncak kegemilanganku
sebagai penjaga gawang. Tapi bukan itu permainan futsal yang paling menarik
buatku.
Permainan futsal
paling menarik adalah di Jakarta bersama Pengurus Besar PII. menghadapi Pemuda
Muhammadiyah. Tampaknya kami tampil di lapangan yang terletak di sebuah mall di
kawasan Senen sebagai pecundang. Maklum saja, karena bahkan ada di antara kami
yang menendang bola saja tidak kena. Satu-satunya di antara kami yang jago main
bola hanya Kadri. Dia menjadi ujung tobak. Pemain lainnya seperti Dede, Ridha,
Putra, dan beberapa lagi, kemampuannya pas-pasan. Aku bertindak sebagai kiper.
Berbeda dengan
Pemuda Muhammadiyah yang membawa banyak teman sehingga bisa gonta-ganti pemain
dengan mudah setiap ada yang lelah, kami hanya membawa delapan orang, yang
artinya hanya punya dua pemain cadangan. Bahkan salah satu di antara pemain cadangan kami, beberapa kali menolak
join ketika ada yang lelah, karena dia memang sama-sekali tidak bisa menendang
bola. Akhirnya dia terpaksa masuk karena memang sudah sangat dipaksa. Dan hanya
berdiri dan sesekali berlari-lari kecil saja di lapangan, nyaris tanpa
menyentuh bola. Pemuda Muhammadiyah juga didampingi kader-kader putri yang
ramai dan cantik-cantik. Pokoknya tim lawan punya kesiapan fisik dan psikis
yang solid.
Kami bermain
mati-matian. Aku sendiri nyaris pingsan kelelahan. Serangan datang
bertubi-tubi. Untung saja lapangannya sangat bagus. Di antara rumput sintetik
yang sangat nyaman, ada potongan-potongan hitam sepertikaret di lapangan. Itu
membuat kualitas lapangan futsal itu sangat nyaman. Aku tampil maksimal. Tiang
gawang juga dilapisi karet tebal. Sangat aman. Karena sudah yakin kalah, tidak
ada yang kuperjuangkan kecuali sekuat tenaga meminimalisir jumlah kebobolan.
Aku berjuang seperti orang gila. Aku selalu membatin: Kalah sudah pasti, tapi
usahakan kebobolannya tidak sebanyak mungkin.
Otot-ototku
lemas semua. Padahal saat itu usiaku sangat muda, usia dengan stamina maksimal.
Lututku menjadi sangat lemas. Benar-benar lemas. Aku bermain nyaris tak
sadarkan diri. Hanya berusaha menghalau serangan bertubi-tubi. Para pemain tim
lawan badannya gagah semua. Ototnya kekar. Mereka juga punya supporter perempuan cantik-cantik.
Aku belum
pernah merasakan selelah itu. Sekaligus belum pernah bermain bola senikmat itu.
Itu adalah permainan bola yang sangat mengesankan. Aku sangat bersemangat
bermain. Ada semacam satu ideologi yang kupertahankan. Sekaligus kenikmatan
yang luar biasa karena memperjuangkannya dengan sesuatu yang kusukai, yakni
bermain bola. Sekitar seperti inilah bila seseorang harus bekerja keras, namun
pada bidang yang sangat dia sukai.
Misiku hanya
mempertahankan agar kami tidak kebobolan sebanyak mungkin. Pada waktu istirahat
yang hanya berlangsung sejenak, sempat kulirik papan skor digital di dinding.
Di sana tertera 3-1. Oh, rupanya sudah kebobolan tiga gol, pikirku.
Babak kedua aku
bermain mati-matian. Serangan semakin dahsyat. Aku hanya berpikir untuk
meminimalisir kekalahan. Saat itu aku nyaris tidak bisa berdiri. Lutut dan
seluruh ototku sangat lemas. Bahu seperti sedang memakai tas gunung ukuran
paling besar. Saat itu terpikir olehku, sebab itulah tidak baik minuman dan
obat peningkat stamina. Karena ia memanipulasi otot yang sudah lemas, sementara
jantung tidak kuat. Bila sesuatu dilakukan secara alami, maka otot akan
terlebih dahulu kelelahan dibandingkan jantung. Bayangkan otot dipaksa oleh minuman
berenergi, jantung akan lebih dahulu berhenti dibandingkan otot. Itu dapat
menyebabkan kematian.
Akhir
pertandingan kulirik kembali papan skor digital itu. 6-4. Oh, Sampai enam
rupanya kebobolannya, pikirku. Aku membatin lagi: lumayan juga, tidak sia-sia
perjuanganku hingga hampir mati. Selisih kekalahan tidak terlalu menganga. Namun
setelah lelah teman-teman berkurang, barulah tampak satu dia di antara teman
setim muncul raut wajah bahagia. Itu tentu karena menikmati pertandingan, atau
mensyukuri kekalahan yang tidak telakh. Beberapa pemain lawan datang menyalami
dan mengucapkan selamat. Aku masih memaklumi selamat yang dimaksud karena kami
bermain dengan baik sehingga tidak termasuk kategori dibantai. Karena selisih
golnya tidak banyak, maka kami kalah terhormat.
Baru menjelang
pulang kuketahui bahwa ternyata kami tidak kalah. Rupanya kami menang. Nikmat
sekali. Kemenangan itu menjadi perbincangan seminggu di Menteng Raya 58. Selama
seminggu itu, kami yang bermain futsal hari itu berjalan dengan wajah tegak,
penuh kebanggaan.
Selanjutnya
setelah pertandingan paling mengesankan itu, aku tidak terlalu ingat main bola
mana lagi yang menarik. Saat pulang ke Aceh, aku ingat pernah beberapa kali
main futsal bersama para dosen IAIN Langsa. Tapi pada sebuah portal berita aku
mendapatkan informasi bahwa berkeringat di malam hari itu kurang sehat. Lagi
pula permainan di sana kurang menarik. Beberapa pemain yang sama sekali tidak
punya skil, tetapi bermain sangat ngotot. Jadinya banyak yang menuai cidera.
Itu sangat merugikan. Ingin mencari keringat kenapa malah mendapatkan darah,
patah, dan terkilir. Akhirnya aku berhenti ikut, dan memilih joging di pagi
hari untuk berkeringat.
Saat kembali ke
Jakarta untuk kuliah doktor, aku kembali berkesempatan bermain futsal. Meskipun
hanya bermain beberapa kali, aku sangat menikmatinya. Sayang sekali para pemain
umumnya hanya bertujuan mencari keringat, jadi mereka kurang serius untuk
memperdulikan skil dan teknik bermain. Maklum saja, mereka adalah orang-orang
yang umumnya bekerja di kantor dari pagi hingga sore. Hanya hari Minggu saja
mereka punya waktu untuk mengeluarkan keringat. Kalau tidak, mereka bisa cepat
diserang penyakit. Pagi sampai sore berada di ruang ber-AC. tetapi ada juga di
antara mereka yang bekerja di pasar. Mereka bermain bola pagi Minggu untuk
mencari hiburan. Hanya golongan ini yang bermain serius. Aku menikmati beberapa
pertandingan bersama orang-orang Aceh di Jakarta itu.
Pertandingan
bola jenis futsal lainnya yang kuikuti adalah turnamen tempatku bekerja yang
mempertemukan antar fakultas. Aku bermain untuk Fakultas FEBI. Sebenarnya aku
sudah malas bermain bersama orang-orang kampus, mereka dengan mudah membuat
orang lain cidera. Sebab itu pada pertandingan pertama, aku masih enggan ikut. Timku
kalah melawan Fakultas Tarbiah. Padahal Fakultas Tarbiyah sebelumnya dibantai Fakultas
Syariah. Pertandingan kedua timku, aku ikut. Beberapa pemain penting Syariah
tidak ikut. Kami membantai Syariah. Kemudian kami mengalahkan Biro I. Kemudian pertandingan
melawan Biro II aku tidak ikut, karena kakiku sudah sangat sakit. Biar keren,
sebut saja aku sedang cidera. Teman setimku lebih parah lagi. Dia striker yang
tidak mencetak satu golpun sepanjang pertandingan. Persis seperti Giroud pada
Piala Dunia 2018. Ternyata dia mengalami geger otak ringan. Pulang dari Penang,
kesehatannya membaik.
Reviewed by Miswari
on
03.27
Rating:
Tidak ada komentar: