Rumah Gudang


Mobil berhenti sebentar di Matangglumpangdua untuk makan. Aku dan Rahmah tidak turun. Kami masih sangat lelah. Hanya berdua di barisan paling belakang minibus L-300 yang memang hanya dua jok penumpang. Setiap singgah maupun melewati kota ini, perasaanku berbeda. Kota ini punya satu juta kenangan. Kenangan bocah kecil yang sangat nakal.

 

Keadaan dalam Rumah Gudang

  Ini adalah kota kelahiranku. Tidak jauh dari kota ini, sekitar dua kolometer ke selatan, aku dibesarkan pada sebuah rumah yang sebenarnya adalah peninggalan kakek Banta Raden[1]. Dulu bangunan itu adalah tempat kakekku menyimpan hasil bumi seperti pinang, kopi, kakao, dan sebagainya yang dibeli dari para petani untuk dijual ke Medan. Halamannya sangat luas untuk menjemur barang dagang itu.

Namun sejak aku bisa mengingat, halaman yang luas itu sudah banyak tumbuh pohon-pohon, khususnya di sisi kiri dan kanan. Sepertinya, sejak kakek mengalami kebangkrutan, pohon-pohon itu ditanam atau tumbuh sendiri karena halamnnya tidak dibutuhkan lagi untuk menjemur. Gudang itupun ditempati ayah dan ibuku sejak setahun setelah mereka menikah.

Kakak yang setahun lebih tua dariku dibawa bersama. Aku lahir di Gudang Paya Cut, begitu keluarga besar menyebut bangunan tempat aku lahir dan dibesarkan. Karena letaknya di desa Paya Cut. Tentu saja aku menenyebutnya rumah.

Bagian belakang hanya sisa sekitar tiga meter. Mungkin sebenarnya hanya sekitar dua meter. Waktu kecil, sesuatu selalu tampak lebih besar, lebih luas, lebih panjang. Aku teringat ujung belakang sisi selatan pernah digunakan sebagai tempat buang air besar. Tidak banyak kenangan di halaman belakang. Ibu bercerita waktu kecil aku sangat nakal sehingga dengan kereta bayi belum bisa jalan berbentuk bundar sering terjun ke halaman belakang yang terjal meskipun pintu belakang sudah dipalang papan. Aku ingat kereta itu bewarna oranye.

Halaman belakang sangat rendah karena tidak ikut ditimbun sebagaimana halaman depan. Aku masih ingat, sebelum aku dan kakak sekolah, aku melihat dia buang kotoran di halaman belakang. Sangat banyak cacing yang masih hidup. Ternyata kakak baru saja diberi obat cacing. Setelah minum obat itu, dia yang dulu sangat kurus berangsur-angsur menjadi gemuk.

Aku penah ditipu ibu. Suatu malam aku minta ikut saat ayah hendak ke luar ke warung. Kata ibu ayah cuma mau ee'. Jadi tidak minta ikut lagi. Sekitar jam sepuluh, ayah masuk menyerahkan sekantong biskuit. Aku meyakini biskuit itu hadir begitu saja di wece untuk ayah, lalu diserahkan kepadaku. Aku meyakini itu sebagai kebenaran dalam waktu sangat lama. Setelah dewasa barulah aku sadar bahwa ayah pergi ke warung. Melalui pintu belakang, Ayah memutar melalui sebuah lorong tepat di sisi utara rumah kami. Di sanalah biskuit dibeli. Semoga kita tidak mudah membohongi anak-anak karena itu akan dipahami kebagai kenyataan, sebagai kebenaran.[2]

Pembatas bagian belakang rumah ada tembok sekitar satu meter. Di tengahnya tidak ditembok supaya bisa keluar melalui halaman belakang. Tepat sebelah tembok ada air mengalir deras kalau akan dimulai musim tanam. Antara aliran dengan sawah ada pematang. Dari situlah tetangga samping selatan sering lewat untuk ke jalan dua meter samping kanan rumah, tembus ke desa Lungkuli, kami menyebutnya Seundok. Dari sana tembus ke jembatan Pante Lhong sungai Peusangan. Aduh, ada banyak kenangan di dekat Sungai Peusangan.[3]

Belakang rumah adalah sawah. Kalau siang, pintu belakang dibuka, angin sepoi-sepoi masuk. Tetapi rumah itu sangat panas. Sebab itulah waktu bayi aku mengalami sakit kulit. Kata ibu, badanku penyakit akibat panas itu menghinggapi nyaris seluruh badan. Aku tidak bisa membayangkan penderitaan ayah dan ibu memikirkan penyakitku. Waktu kecil juga aku sering batuk dan sesak napas. Kalau sedang parah, otot-ototku lemas. Biasanya aku diberi telur kampong setengah mata sebagai obat.

Karena dibangun sebagai gudang, rumahku sebenarnya lapang dan luas. Disekatlah dengan tripleks menjadi dua kamar. Dulu sekatnya dekat dengan dapur yang berposisi di sebelah utara. Akses ke dapur harus keluar dulu melalui sebuah pintu dekat dinding dapur, baru masuk pintu dapur. Dari belakang juga bisa, tetapi aksesnya ke kamar mandi yang tepat di belakang dapur. Aku sangat ingat kami seringnya ke dapur dari depan. Bahkan mau mandi pun aku dari depan. Karena kalau dari belakang, berarti melalui kamar ayah. Setelah masuk MIN, aku segan masuk kamar itu.

Mungkin ayah dan ibu pagi-pagi akses dari belakang kalau hendak mandi. Dari belakang juga tidak harus dianggap keluar, karena tepat di pintu kamar bagian belakang yang dipakai ayah ibu sebagai kamar mereka (sementara depan adalah kamar aku dan kakak), adalah sebuah ruang yang dindingnya sekitar dua meter. Satu meter ke atasnya lagi, baru ada atap. Itu adalah dapur kayu. Biasanya dipakai untuk memasak air minum dan memasak sop kalau meugang (hari makan daging sapi sehari dan dua hari sebelum puasa Ramadhan).

Ke kanan ruang dapur kayu itu adalah ke halaman belakang. Sementara ke kiri, langsung masuk ke kamar mandi yang luas tanpa atap. Dinding kamar mandi sebelah utara tinggi sekitar tiga meter (waktu kecil, sesuatu tampak lebih tinggi dari seharusnya). Dulu di atas dinding yang berbatas langsung dengan jalan lebar dua meter itu dipasang beling-beling. Saat aku bisa mengingat, beling-beling itu sudah rata dengan tembok[4].

Rupanya di bawah dapur kayu itu adalah sumur septic tank. Tapi wece di sebelahnya yang diakses melalui kamar mandi tidak diaktifkan karena tersumbat. Baru belakangan saat aku masuk sekolah diaktifkan kembali. Itu pun dengan kondisi yang tidak sempurna. Aku sangat ingat di wece yang sangat gelap itu, suka membuat air mengalir sesuai kuarahkan untuk menjebak semut-semut. Itu sering kulakukan saat buang air besar. Wece lama di ujung selatan belakang rumah menjadi tidak diaktifkan. Dialih fungsi menjadi tempat pembuangan sampah. Padahal aku punya kesan keajaban biskuit di sana.

Kalau kupikir-pikir, kamar mandi rumah itu keren juga. Selain luas, ia juga punya sebuah ruang untuk mandi di sebelah utara. Air dimasukkan ke bak melalui sebuah lubang yang dibuat. Tetapi kata ibu baknya sudah tidak bisa digunakan lagi karena bocor. Lagi pula kalau tidak bocor, mengisi bak sangat sulit karena harus menimba air. Di ruang untuk mandi yang tidak difungsikan itu, aku pernah memelihara ikan-ikan kecil yang kuambil dari got di desa teman. Kalau beranak, akannya menjadi sangat banyak. Kalau mengganti air, aku harus sangat hati-hati. Karena bila tidak,  anak-anak ikannya bisa terbuang. Aku ingat ikan-ikan itu kumasukkan ke dalam bekas tempat oli lima liter bewarna merah yang kupotong bagian atasnya.

Kamar mandi itu tidak pernah sehat. Air selalu tergenang. Ibu harus menyapu air dengan sapu lidi setelah mencuci. Airnya dialiri melalui got yang digali di sisi utara halaman depan rumah hingga ke parit pinggir jalan. Gotnya sangat panjang karena halamannya sangat luas hingga ke jalan. Panjang halaman dari depan rumah hingga jalan kuperkirakan sekitar tiga puluh lima meter. Lebarnya sekitar dua puluh lima meter. Halaman depan akan tampak sangat luas karena banyak ditumbuhi pohon sisi kiri dan kanannya sehingga menjadi semak-semak.

Air tanah yang dihasilkan sumur kami sangat tidak layak minum. Tetapi tidak ada pilihan. Orang-orang mengatakan dulunya di tanah rumah kami adalah bekas rawa-rawa. Sebelum aku sekolah, setiap subuh ibu menyeberang jalan mengambil air dari sumur tua yang airnya bersih. Air itu digunakan untuk memasak dan dimasak untuk air minum.

Ibu punya cerita mengenai sumur itu. Pada satu malam sebelum sahur, ibu mengambil air ke sana. Saat hendak pergi, dari jauh ibu melihat ada seseorang di dekat sumur. Ibu menjadi semakin berani karena ada orang. Di sana ibu menimba air ke ember dan membawa pulang. Saat perjalanan ke rumah, ibu ingat, saat hendak pergi ada orang, tapi kenapa saat sedang menimba air, tidak ada orang. Jangan-jangan itu hantu. Ibu pun kaget dan segera berlari ke rumah. Ember dilempar begitu saja.    

Cincin sumur lama di rumah lebih lebar. Ayah berusaha memasukkan cincin baru yang lebih kecil, dicor antara dua lapis cincin. Berharap air sumur dapat menjadi lebih bersih. Sepertinya air tidak berubah menjadi sebersih yang diharapkan. Namun usaha itu dilakukan ayah setelah ibu tidak mau lagi mengambil air ke sana karena mengaku melihat hantu.

Sumur pinggir jalan tampat ibu melihat hantu itu adalah jenis sumur yang lama. Bagian atas cincinnya diberi motif ukiran yang indah. Ujung atas juga seperti ada topinya. Bisa buat meletakkan timba. Sekarang sumur itu sudah tidak ada lagi. Orang dulu suka menggali sumur di pinggir jalan. Pulang dari sawah dan ladang bisa langsung mandi sampai bersih, baru masuk ke rumah. Dulu juga tidak semua rumah ada sumur, sehingga tetangga biasa menumpang sumur. Sumur di pinggir jalan juga memudahkan pejalan kaki dan pedati minum bila haus. Begitu budaya zaman dulu.      


 

Ada dua hal penting yang sangat kuingat dengan sumur di rumah. Pertama saat melihat pesawat biasanya aku dan kakak suka ambil kain lalu berteriak sambil membentang kain minta adik (aku dan adik terpaut jauh; delapan tahun). Suatu ketika kami di sumur, pesawat lewat. Kami membentang kain menutup sumur sambil berteriak, ''Kapal, mita adik!!'' takut kalau kapal jatuhkan adik bisa masuk sumur, kami membentangkan kain menutupi sumur.  

Hal lainnya yang aku ingat terkait sumur itu adalah aku pernah menangis sangat keras dekat sumur lalu ayah ambil ranting dipukul ke cincin sumur. Aku menangis semakin keras. Padahal bukan aku yang dipukul. Ayah tidak pernah memukul. Karena kalau dipukul kami bisa meninggal. Ayah orangnya sangat kuat. Alkisah Ayah pernah mengangkat batu sangat besar sebagai penerimaan tantangan dari temannya. Versi yang lain menyebutkan batu itu diameter dua meter. Ayah menggulingnya. Semua yang ada di situ tercengang.  

Rumah kami yang gudang itu awalnya berkamar sebelah utara dekat dinding dapur dan kamar mandi. Kamar Ayah ranjangnya kayu warnah hitam. Dan ranjang di kamar kami warna kuning kayu. Kata ibu, kedua ranjang itu sudah sangat tua usianya.[5] Bahan kayu produk lama memang sangat berkualitas. Juga ada dua lemari. Lemari kamar ayah warna hitam, lemari kamar kami warna kuning. Bahkan lemari hitam di kamar ayah itu masih ada sampai sekarang. Semua perabotan itu adalah termewah di zamannya. Dibeli pada masa kakek Banta Raden sedang di atas angin. Beliau adalah seorang paling kaya di Bireuen pada masa itu. Semua orang mengenalnya.

Ruangan yang luas dari kamar hingga ujung dinding sebelah selatan. Apalagi bagi kesanku yang masih anak kecil. Pasti sangat luas.[6] Belakangan ketika ayah sudah bekerja mengangkut hasil bumi, diberi pakai mobil Chevrolet Luv oleh bosnya, Nek Bah.[7] Orang terkaya di Matangglumpangdua masa itu. Mobil itu dimasukkan ke dalam rumah. Tepat di tengah ruangan. Meski ada mobil, juga sebelah selatan masih luas sekali.

Aku tidak tahu persis kapan kamar dipindah ke bagian selatan gudang itu. Yang jelas hari pertama aku masuk MIN kamar masih disebelah utara. Aku sangat ingat hari pertama sekolah. Aku tidak TK. Seragam pertama adalah putuh-putih. Senin pagi. Ibu memakaikan seragam. Sangat teringat ketika ibu menarik singlet ke bawah supaya lebih ketat setelah dimasukkan ke dalam celana dalam. Tidak lupa minyak rambut cair yang kami sebut minyak amla ditaruh banyak-banyak oleh Ibu serta juga bedak tebal-tebal tanda sudah mandi.

Sebelum kamar dipindah ke arah selatan, ruangan dari kamar hingga dinding selatang kosong melompong. Tidak ada perabotan apapun kecuali sofa coklat yang Ibu sering bilang kursi Muhammad Ali. Ternyata sebutan itu karena dulunya kursi itu bewarna hitam seperti sarung tinju Muhammad Ali. Aku ingat pernah memecahkan telur ayam yang sedang diperam di belakang kursi itu. Keluar darah. Karena telurnya sedang berproses. Aku menyesal telah membunuh calon anak ayam itu. Tapi tidak menyesal karena punya pengetahuan baru, bahwa ternyata begitulah proses kejadian anak ayam.

Meskipun ada dua kamar, sebelum sekolah, kami sering tidur di kamar Ayah, terutama kalau beliau ke luar kota tidak pulang malam. Aku ingat sekali kalau menjelang subuh ada suara toa putar ngaji dari masjid di Keude Asan, desa arah selatan setelah Paya Cut. Waktu itu belum sekolah dan belum mengaji. Tidak tahu itu suara mengaji. Aku merasa seperti di alam lain saat mendengarnya. Serasa hidup sendiri di dunia ini.

Hal lain yang sangat kuingat tentang dua kamar itu adalah ayah menyimpan batu delima di lemarinya. Ada juga batu-batu lainnya. Aku pernah melihat batu itu. Warna merah. Sangat cantik. Aku kagum. Dalam delima ada biji seindah itu. Tapi kata ibu, satu juta buah delima belum tentu ada biji batu. Ya. Tentu saja. Belum lagi kalau ada, belum tentu dapat sempat ditemukan manusia. Bisa jadi yang ada batunya terbuang begitu saja. Sekarang batu itu entah kemana. Lagipula, belum tentu itu batu delima asli.[8]

Isi lemari ayah lainnya adalah pakaian-pakaian ayah. Beliau suka pakai celana kain yang lembut dan kemeja. Itu disetrika dan disusun rapi rapi oleh ibu. Setrikanya merek Nasional. Dibeli dua puluh lima ribu. Kini usianya sudah lebih tiga puluh tahun. Masih bagus. Ayah penampilannya sangat necis meski kantongnya aku tahu selalu tipis.

Dua kamar itu disekat tripleks. Dinding bagian selatan juga tripleks. Dinding utara adalah dinding kamar mandi yang kukuh itu. Material rumah itu bagus semua. Lantainya juga semen padat. Tapi kami tidak buka sandal di dalam rumah. Mungkin karena waham itu adalah gudang. juga karena dari kamar ke dapur harus buka sandal karena aksesnya harus ke luar dulu. Mungkin juga kemudian karena ayah memasukkan mobil ke dalam rumah. Aku sangat ingin rumah kami buka sandal seperti rumah orang kaya. Tapi itu tinggal mimpi.

Aku dapat memaklumi. Karena lantai dapur juga banyak bolong-bolong hingga tampak tanah sana sini. Beda dengan bagian lainnya, dapur dibangun belakangan. Lantai sumur juga suka tergenang air. Kamar mandi tidak beratap. Maka beredar isu ada seorang pria lajang yang suka mengintip. Tetapi kiranya bukan masalah besar. Kami terbiasa mandi pakai basahan.

Dinding selatan rumah tembok rumah, ada jarak dengan pagar selatan sekitar enam puluh sentimeter. Itu adalah tempat mengalir air dari parit besar di sepanjang lorong depan halaman seberang jalan kalau hujan deras. Kalau hujan deras, air parit besar itu selalu mengirim air seperti banjir bandang. Airnya hanya sebagian yang berbelok ke parit jalan menuju utara. Sisanya ke halaman rumah hingga masuk ke dalam rumah, sedikit melalui area selatan antara dinding dan beton rumah, lalu terjun ke sawah.

Yang paling aku ingat adalah bayanganku terhadap salah seorang anak tetangga yang melumuri induk dan dua belas anak ayam kami dengan lem.[9] Kuperkirakan itu dilakukan di lorong antara dinding selatan rumah dan pagar. Kami hampir tidak pernah mengakses lorong itu. Banyak sisa lumpur bekas banjir.

Aku suka lubang-lubang yang ada di dinding bagian belakang rumah. Lubang-lubang itu kalau pagi mengirim cahaya matahari ke dalam. Kalau pintu-pintu ditutup, cahaya itu bisa lebih terang. Cahaya kelap kelip karena diterpa dedaunan di belakang rumah. Kalau tidak salah di belakang rumah ada pohon ubi karet besar. Itu adalah satu-satunya pohon di belakang rumah.

Kami berdiri membelakangi dinding depan rumah sambil bernyanyi seperti sedang di panggung. Cahaya kelap-kelip itu membuat kami seperti sedang tampil di Aneka Ria, program lagu anak-anak menyanyi di panggung dengan diterpa lampu-kelap kelip.

Kalau ada ibu, itu tidak dapat dilakukan. Bukan karena tidak suka menari-nari sambil bernyanyi-nyanyi, melainkan karena pintu tertutup. Ibu sangat benci tutup pintu. Aku sendiri sebaliknya. Aku melihat rumah-rumah orang kaya pintu selalu tertutup. Aku ingin rumah kami seperti rumah orang kaya, makanya aku suka tutup pintu dan ibu sangat tidak suka itu.

 

Mungkin ibu tidak suka tutup pintu kecuali malam, karena rumah kami sangat panas. Semen kasar dinding rumah sangat suka menyerap panas matahari. Bahkan kalau musim terik, sampai jam sepuluh malam bagian luar dinding, khususnya bagian depan masih terasa panas. apalagi rumah kami tidak ada asbes. Bila melihat ke atas, tampak susunan kayu besar-besar yang disusun sedemikian rupa sebagai penyangga seng.

  Hanya kamar ayah yang dibuatkan plastik pengganti asbes. Ada banyak gambar di kota-kotak di plastik itu. Setelah kuperhatinya, hanya ada empat gambar. Selebihnya sama dengan empat gambar itu. Aku ingat plastik itu, warnya merah jambu. Kalau sedang rebahan di kamar ayah, aku suka mengamati gambar-gambar itu.

  Aku tidak pernah melihat tikus di rumah kami. Mungkin karena aku tidak memperhatikan hewan yang suka bersembunyi itu. Kalau cecak banyak. Belakangan ada tokek.

  Pintu depan rumah kami sangat besar. Terbuat dari kayu, dicat merah bata. Wajar dua pintunya besar karena itu gudang. Ayah jadi mudah memasukkan Chevrolet-nya. Setelah ayah berangkat, pintu ditutup sebelah. Sebelahnya lagi dibiarkan terbuka sampai magrib kecuali kami semua ke luar rumah, barulahpintu ditutp semua. Sejak aku ingat, seng atap rumah sudah memerah. Sementara pintu belakang yang juga bewarna merah bata namun ukuran normal, juga selalu dibuka. Berharap ada angin dari sawah. Kalau aku mencoba menutup pintu, biar mirip orang kaya, ibu selalu mengomel, sambil mengatakan, ''Ini rumah, bukan kuburan.''

  Aku sangat ingat dekat pintu belakang itu aku disunat. Mungkin supaya pak mantri bisa dapat penerangan cukup. Mengerikan. Aku ingat ibu mengambil daun pisang. Kami tidak pernah kekurangan daun pisang karena banyak tumbuh di halaman rumah yang luas. Sebelah selatan bahkan ada setumpuk batang pisang. Di tengahnya tempat mengumpulkan sampah dedaunan. Dibakar bila sudah banyak. Beberapa hari sekali. Membakar dirimbunan pohon pisang itu aman. Meski dekat tanah tetanggal, mereka tidak akan terganggu karena posisi rumah mereka masih jauh dari batas.

Antara tanah kami dengan tanah tetangga tidak ada pagar, hanya ada beton. Sepertinya dulu pagar batas tanah kiri, kanan, dan belakang, ada. Pagar duri. Namun sejak aku mengingat, pagar-pagar itu sudah hanya tersisa tak beraturan di beberapa penyangga besi. Kalau ke jalan samping rumah hendak ke timur, kami niasanya lewat samping depan dapur. Karena pagar bagian itu sudah tidak ada lagi.

Beberapa hal yang sangat kuingat sebelum kamar di pindah ke sisi selatan rumah adalah aku salat asar hemdak main bola. Salatnya jadi tidak khusyu karena ingin segera main bola. Sepertinya itu paling lambat kelas dua MIN: karena sekitar kelas tiga MIN sudah dibuat dinding tripleks untuk kamar di selatan.

Sementara di ruang memasak air panas di atas septictank dekat kamar ayah aku ingat di sana pernah ada ranjang besi warna biru tidak dipakai lagi namun masih utuh. Papan-papannaya masih bagus. Dibentang sebuah tikar. Di ranjang itu aku biasanya main menjadi sopir mobil. Kuletakkan setir bekas (yang kelak dijual ibu dua puluh lima ribu kepada tukang loak) di sebuah sudut ranjang. Membayangkan menjadi supir. Aku ingat Junaidi, abangnya Rahmat Syukran, sekitar dua tahun lebih tua dariku, ikut bermain. Aku jadi penumpang. Katanya dia sedang menjadi supir bus Palangi, armada bus terkenal di Aceh. 

Aku pernah melihat penutup sumur septictank itu dibuka. Sangat dalam. Seperti sumur biasa. Mungkin itu waktu wece dalam kamar mandi diperbaiki sehingga tidak ada lagi wece di belakang rumah. Padahal wece itu bisa direhab menjadi lebih baik. Namun ayah orangnya sangat paham bahwa itu hanya rumah mertua. Satu waktu dia pasti akan pindah. Maka ayah tidak pernah melakukan rehab rumah kecuali medesak.

Ada hal yang belakangan kuingat. Septictank itu sangat dekat dengan sumur. Jangan-jangan itulah yang ikut berperan membuat sumur kami menjadi kurang bagus airnya. Konsep mengatur jarak Antara sumur dan septictank baru popular belakangan ini. Meskipun sempat wece di dalam kamar mandi beberapa tahun tidak digunakan, tetapi air septictanknya tetap mengganggu. Apalagi kemudian digunakan kembali. Seingatku,, waktu aku belum sekolah, wece yang digunakan adalah yang dibelakang rumah. Sementara saat aku sekolah MIN, weceya di dalam kamar mandi.

Ada beberapa rehab atas rumah gudang yang dilakukan ayah. Selain menambal sumur dengan cincin baru, ayah juga pernah menimbun halaman yang sangat luas itu. Aku ingat banyak dump truck besar datang mengantar tanah. Itu dilakukan karena ayah perlu menjemur pinang ketika beliau sudah bekerja dagang hasil bumi. Selain itu, ayah juga membangun sekat triplek sisi selatan rumah yang kemudian menjadi dua kamar. Setelah kamar itu di bangun, kamar kami dibuka sekatnya sehingga ada tiga kamar. Bagian bawah dinding kamar baru sedikit dibeton supaya air tidak masuk bila banjir. Tapi rupanya yang membuat dua kamar di sisi selatan rumah dengan sekat tripleks itu adalah ibu.Ya tentu saja hasil menabung kelebihan uang belanja yang diberikan ayah lima ribu rupiah sehari.

Sebelum kamar di sisi selatan dibangun, kami punya tempat luas bermain di dalam rumah. Aku pernah bermain berenang bersama Rahmat (semoga Allah menempatkan dia di tempat yang mulia di sisi-Nya). Kalau malam, terkadang ketika memasukkan mobil ke dalam rumah, ayah membelokkannya ke sisi selatan. Itu kurang kusukai karena paginya sebelum, ayah pergi kami merasa kekurangan area. 

Kamar milik ayah dekat kamar mandi, menurut ibu, sudah dibangun sejak gudang dioperasikan. Para karyawan suka menginap di sana. Menjaga barang dan hasil bumi yang dijemur di halaman yang luas, sebelum ditumbuhi banyak pohon. Saat mula-mula ayah dan ibu tinggal di gudang itu, kamar itulah satu-satunya kamar. Saat awal pindah, kata ibu, beliau mengalami pengalaman menyeramkan. Kata ibu, saat tidur siang di ruang gudang yang luas itu, beliau mendengar ada orang yang sedang bercanda di sumur. Suara mereka jelas, ada suara sumur yang dipakai sedang menimba. Ibu memaklumi karena mungkin ada warga yang tinggal antara sawah dan bukit jauh di belakang rumah yang melalui lorong samping rumah masih mengira gudang itu masih kosong sehingga masih sering digunakan untuk cuci kaki dan sebagainya. Namun karena suara itu kelamaan, ibu pergi ke sumur untuk memeriksa. Ternyata kosong. Ibu belum punya pikiran macam-macam karena mengira mereka sudah pergi.

Ibu tidur lagi. Rupanya ada yang menegur,''Kenapa tidur siang-siang.''

Suara itu jelas sekali didengar.

Kemudian suara pintu depan samping pintu dapur berbunyi. Mungkin ada orang yang datang. Ibu memeriksa. Tiba di pintu itu, malah ada suara sandal orang berjalan dekat pintu belakang yang menghadap ke saah. Ibu ke sana memeriksa. Ternyata tidak ada. Saat itulah ibu sadar ada sesuatu yang tidak beres. Bulu kuduk segera berdiri. Ibu langsung lari ke rumah tetangga yang terletak di sisi selatan. Ibu rumah tangga tetangga dipanggil Macut.

Sebagaimana umumnya tetangga seluruh dunia, Macut mengaku sebenarnya tidak ingin berkomentar mengenai rumah kami itu. Namun, beliau mengatakan, ibu perlu mengetahui bahwa dulu sebelum gudang itu dibangun, di sana adalah rawa-rawa berhantu. Tidak jelas hantu jenis apa yang dimaksud. Tidak hanya Macut, banyak warga lainnya, khususnya mereka yang pulang ke rumahnya melalui lorong samping (sisi utara) rumah kami, juga mengaku dulu di sana sebelum rumah kami dibangun, adalah rawa yang sangat menyeramkan.

 

Setelah rumah itu dibangun, belakangan tidak lama saat aku akan sekolah, beredar isu di dinding bagian luar kamar madi, ada dua hantu. Warga yang pulang melalui lorong itu mengaku sering bertemu. Yang satu laki-laki kurus tinggi putih. Satunya lagi lebih pendek, lebih kekar dan lebih hitam. (Entah kenapa tiba-tiba kok aku ingat satu di antara mereka mirip Cekmir dan satunya lagi mirip Cekdin.)

Para warga yang pulang ke rumah melalui lorong samping rumah mengaku bila mereka sudah dekat, dua hantu itu menghilang ke dalam dinding kamar mandi kami. Anehnya cerita itu bukan sengaja diceritakan untuk menakut-nakuti kami, melainkan berbagi cerita sesama mereka yang tanpa sengaja sampai ke telingan ibu.

Ada juga yang mengaku pernah melihat sepasang hantu itu sedang berjalan di sawah belakang rumah. Namun cerita hantu itu tidak mengganggu kami. Lagi pula kalau takut, apa yang bisa kami lakukan? Lebih baik focus mengurus hal-hal yang bisa kita kendalikan daripada sibuk memikirkan hal-hal yang tidak mampu kita jangkau.

Sebelum dua kamar sisi selatan dibangun, Cekmir, adik ibu setelah Cekdin, saat masih lajang suka di rumah. Dia orangnya sangat rapi. Dia melipat terlebih dahulu lengan panjang kemejanya yang digantung sebelum dipakai. Aku ingat dia mengambil alih sepatu Caterpillar ayah warna kuning belum seminggu dibeli. Ayah terlalu keren dengan sepatu itu. Aku ingat pertama kulihat sepatu ayah itu dipakai saat pulang ada hujan. Genangan air depan rumah membuat ayah harus melebarkan langkah dengan sedikit melompat. Sangat keren ketika sepatu itu sedikit membuat jipratan air. Tampilannya menjadi semakin kerena ayah mengenakan celana jeans biru. Itu sangat keren. Sempurna.

Ayah memang sangat ganteng. Aku belum pernah melihat laki-lagi seganteng ayah. Terakhir aku memperhatikan wajahnya yang sangat tampan adalah bertemu di Caleu, Pidie. Saat itu ayah telah lama menunggu di Caleu untuk memberikan uang kepadaku. Sebelum kamar sisi selatan dibangun, aku sangat ingat Cekmir punya teman seorang tentara yang suka menginap di rumah. Namanya Lubis. Dia diisukan sebagai oknum yang bengis. Namun tidak jelas bagaimana konotasi itu dilekatkan padanya. Karena sejauh yang dapat kuketahui, dia sangat ramah kepada masyarakat dan sangat diidolakan anak-anak.

Setelah dua kamar sisi selatan selesai dibangun, yakni dengan membuat sekat tipleks dan di antaranya dibuat sekat tripleks lagi sehingga menjadi dua kamar, sementara kamar kami tripleknya dibuka. Kemudian kami pindah ke kamar baru bagian belakang. Sementara bekas kamar kami kemudian setelah meja makan dibeli, ditaruh di sana. Kamar pertama bawaan sebelum kami pindah, kosong. Setelah Cekmir nikah, dia pernah tinggal di sana bersama istrinya. Tapi tidak lama.

Sepertinya kamar baru itu dibuat saat aku kelas dua MIN. Kelas tiga, adik, Mahathir, lahir, kamar baru itu sudah ada. Ayah tetap memasukkan mobil ke dalam rumah.

Aku dan kaka sekamar. Kali ini kami punya ranjang masing-masing. Ranjangku besar. Kalau tidak salah itu ranjang yang sebelumnya ditempatkan di ruang dapur kayu di atas septictank. Sementara ranjang kakak sebelumnya ditaruh belakang rumah, tidak dipasang.

Saat Mahathir lahir, aku ingat dia pernah ditidurkan di ranjang kakak. Aku membeli seuah mobil mainanuntuknya. Senang sekali bisa punya adek. Tapi aku ditertawakan karena mobil kubeli untuk adek itu modus, padahal untuk diri sendiri. Sebenarnya tidak demikian, aku mengumpulkan uang lama untuk membeli mobil itu. Untuk adek. Aku tidak tahu kalau kita punya adek, dia akan sekecil itu saat baru lahir. Waktu itu aku mengira, seorang adek bayi yang lahir, sudah bisa diajak main mobil-mobilan.

Aku sangat ingat ada banyak tokek di dalam rumah. Suatu hari, seorang anak muda tetangga yang tinggal jauh di lorong samping utara rumah, datang. Dia melihat banyak tokek dan bernafsu membunuhnya. Dia ambil balok penyangga pintu besar. Dihantamnya tokek yang sedang di dinding kamarku. Berdarah dan jatuh ke atas tempat tidurku. Aku sangat geli. Selalu berusaha tidur menjauh dari bekas tokek itu jatuh. Meski seprai sudah diganti, aku masih geli. Suatu malam aku bangun ternyata kepalaku tepat di bekas tokek itu jatuh. Aku jadi geli dengan kepalaku sendiri. Makanya kalau membenci sesuatu jangan berlebihan. Nanti bisa menghampiri.

Antara kamarku dan kamar ayah ada akses. Mungkin supaya ibu mudah mengawasi kami. Aku hampir tidak pernah ke kamar ayah. Segan. Meskipun keuangan terbatas, tetapi pekerjaan ayah menuntutnya harus punya telepon. Ayah perlu menelepon rakannya di tempat-tempat yang jauh di berbagai pelosok untuk menanyakan apakah ada barang (pinang) yang dapat diangkut. Maka ayah memasang telepon. Dari Matangglumpang dua saat itu, sampai depan rumah kamilah dipasang tiang telepon. Itupun karena ayah memesan. Kalau tidak, tiang itu tidak sampai di sana. Karena halaman kami sangat luas, maka perlu ditampah satu tiang di halaman, karena jarak ke jalan terlalu jauh.  Aku ingat pertamanya tiangnya warna seperti karatan besi. Lama kemudian dicat putih-hitam dan dibubuhi logo Telkom warna biru.

Pasang telepon dapat buku Yellow Pages. Tiap tahun ada edisi baru. Aku dan kakak sering iseng memakai telepon. Minta nomor telepon kawan yang punya telepon. Janjian menelepon jam sekian. Lalu mengobrol yang tidak penting karena tujuannya hanya ingin menelepon dan berbicara melalui telepon. Sampai sekarang aku masih ingat nomor telepon kami. Karena ulah kami, ayah membeli alat kunci tombol telepon. Ada gembok kecil.

Setiap hari ayah meninggalkan uang lima ribu rupiah kepada ibu untuk berbelanja semua kebutuhan dapur kecuali beras. Akulah yang dapat tugas pergi belanja. Uang sisa kukembalikan. Nah, ibu orangnya sangat hemat. Dari sisa belanjaan itulah ibu membeli semua perabotan dan alat elektronik di rumah. Kecuali tivi.

Nantinya rumah dipenuhi perabotan dan berbagai elektronik. Elektronok pertama di rumah adalah kipas angin pitih-hijau yang dibeli sendiri oleh ayah. Kemudian beliau membeli tape kompo merk Digitec. Tape itu sangat bagus. Bertahan puluhan tahun. Sebelum itu, sepertinya ayah pernah membeli beberapa radio. Ayah sangat suka membongkar barang-barang. Radio yang tidak rusak, suka diotak atik. Kalau rusak, nanti dihantar ke ahlinya di pasar.

Pernah ayah memodifikasi dinamo sepeda menjadi sumber energi elektronik. Suatu pagi, ayah pergi dini hari ke Medan. Ibu yang penasaran bagaimana dinamo itu bekerja, coba mempretelinya. Ibu kesetrum. Sangat parah. Aku dari atas ranjang di dalam kelambu sempat melihat ibu terduk lama suatu subuh. Tapi tidak tahu apa yang terjadi. Sepertinya saat itu aku belum sekolah. Kami masih tidur di kamar ayah sisi utara.

Saat ayah pulang Dan tahu apa yang terjadi pada ibu, ayah sudah mulai menyimpan bagus barang-barang yang dipreteli. Lagi pula kalau kami yang tertimpa masalahnya, bisa lebih gawat.

Aku juga pernah tersengat listrik pada colokan. Saat itu aku disuruh tidur siang. Tapi tidak bisa (aku memang tidak pernah mau tidur siang karena memang tidak bisa tertidur). Aku bosan berbaring. Maka di sana ada sebuah paku besar. Aku masukkan ke salah satu lubang colokan. Tidak terjadi apa-apa. Aku heran. Bukannya paku itu besi. Kenapa tidak tersengat listrik? Apakah aku manusia ajaib? Aku sangat heran. Kumasukkan ke lubang satunya lagi. Maka seketika aku tersetrum. Untung saja tidak mati. Kalau saja aku mati saat itu, tentu saja tidak akan ada buku Filsafat Terakhir, Tasawuf Terakhir, dan Teologi Terakhir.

Saat itu aku sudah sekolah. Sudah ada tivi di rumah. Ayah membeli tivi karena ibu bercerita, kalau aku dan kakak ke rumah tetangga samping selatan rumah, menumpang nonton tivi dari balik pintu, kalau ketahuan, anak bungsu tetangga (seusia kakak) bersama kakanya, menuutup pintu. Biasanya setelah pintu ditutup, kami mengintip dari balik jendela. Lalu bila ketahuan masih ada kami di balik jendela, maka jendela juga ditutup. Jadilah mereka menonton tivi seperti menonton bioskop. Kamu pun pulang dengan sedih. Itu berlangsung sering dan lama.

Setelah ayah beli tivi, dari mengumpulkan sisa uang belanja, ibu membeli (sepertinya kredit) lemari tivi. Warna putih. Ada dua tingkat. Bagian atas tempat taruh tivi. Ada kaca. Bagian bawah sedikit lebih kecil. Ada kaca juga sedikit. Sebelum dibeli parabola, aku suka melatakkan sandar bagus (sandal ke pasar, bukan sandal di rumah) di rak bawah. Pada rak atas, bila ditutup, tivi hanya terlihat melalui kaca, separuh bagian atas. Tivi pertama kami enam belas inci. Entah karena takut tivinya kena debu, atau karena kami suka otak-atik tivi tanpa perlu, maka ibu meletakkan balok di bawah tivi supaya tivinya lebih tinggi. Sehingga tampak keseluruhan melalui kaca bila pintu lemati tivi dututup.

Suatu kali, karena baloknya tidak seimbang, saat pintu lemarinya sedang terbuka, tivinya jatuh. Ayah mengomel menyindir kenapa ibu letakkan pha geuleungku (dudukan parutan kelapa) di bawah tivi. Seingatku tivi pertama kami itu enam belas inci. Selebihnya, selain tivi, kipas angin, dan tape kecil Digitec, semuanya dibeli ibu dengan cara mengkredit (angsuran).  Dibayar perbulan dari sisa uang belanja yang hanya lima ribu rupiah perhari.

Hal yang paling kuingat di kamar ayah sisi utara adalah: ibu yang terduduk lama setelah tersetrum listrik. Kemudian aku yang mendengar suara ngengaji dari masjid Keude Asan setiap terbit fajar dan pikiran jadi ke mana-mana. Lainnya adalah ibu yang memakaikan pakaian saat aku hendak sekolah MIN hari pertama: menarik singlet yang telah dimasukkan ke celana dalam menjadi lebih ketat. Pakaiannya seragam putih-putih. Hari Senin. Kamudian empat gambar di kotak-kotak asbes plastik yang kutatap saat berbaring siang.

Seingatku, ayah pernah membeli setrika. Merk Nasional. Tahan hingga puluhan tahun. Waktu itu dibeli sekitar tujuh puluh ribu rupiah. Sangat mahal pada masanya. Ayah juga pernah membeli spring bed. Itu dekat waktu kakek Banta Raden meninggal. Harganya dua juta rupiah. Sangat mahal pada masanya. Tapi masih tahan hingga kemudian puluhan tahun. Bagian atas dan bagian bawah springbed sudah dipisah. Satu buat aku, satu buat Mahathir. Aku ingat Cek Din yang waktu itu tinggal di kamar sisi utara juga membeli spring bed. Kami melemparkan diri ke atasnya dan sangat sakit. Dia membeli harga empat ratus ribu. Kami pikir sama empuknya dengan punya ayah. Springbed ayah beli itu, pada suatu ketika di Bireuen banjir akibat irigasi jebol, mengambang seperti perahu.

Spring bed itu dibeli saat kami hampir pindah ke Bireuen. Kalau tidak salah aku sudah MtS di pesantren. Saat itu ekonomi ayah sudah membaik. Sebelumnya, ibu sudah membeli tempat tidur warna putih dengan motif angsa warna pink. Itu sewarna dengan lemari pakaian tiga pintu dibeli kemudian, yang sama-sama dikredit ibu secara berurutan.

Ayah juga pernah membelikan kami gamebot warna putih. Merek Mr. Bego. Itu kualitas bagus. Tahan beberapa tahun. Aku dan kakak berbagi jatah bermain. Gamebot itu bisa bicara. Mode mainan susun bata. Kalau berhasil memecahkan baris, gamebot akan berkata, “Boleh juga loe”. Kalau kalah, dia akan berkata, “Bego loe.” Megingat ayah yang suka menerapkan disiplin, membeli gamebot buat kami, itu sesuatu sekali. Sama seperti springbed, gamebot dibeli di Medan. Itu dibeli sekitar aku kelas tiga. Gamebotnya bisa bicara. Padahal kami menginginkan gamebot seperti punya teman-teman: bisa aneka permainan seperti perang pesawat tempur dan sebagainya. Gamebot kami hanya bisa main susun bata. Tapi kelebihannya ya tahan lama.

Ibu juga mengkredit parabola. Itu dibeli karena aku menangis keras. Pergi menonton parabola ke rumah yang memiliki itu, jaraknya sangat jauh. Bahkan ada yang ambil tiket: bisa pakai uang, pakai gambar, pakai guli, bahkan pakai mainan dari bungkusan rokok. Itu di rumah warga Seuneubok Aceh. Anaknya pandai berbisnis. Mingkin sekarang sudah menjadi pengusaha bioskop.

Kalau tidak salah, parabola dibeli empat ratus atau tujuh ratus ribu rupiah. Atau empat ratus menjadi tujuh ratus karena dikredit? Perjuangan ibu luar bisa. Padahal itu dibayar dengan sisa uang belanja yang hanya diberi lima ribu rupiah sehari.

Dengan parabola, aku bisa menonton banyak film. Hari Minggu, sejak subuh hingga siang banyak sekali film. Aku sangat suka Minggu pagi. Indahnya seperti di surga. Indah sekali. Setiap minggu pagi bangun tidur setengah tujuh, aku langsung menyalakan tivi, ambil bantal dan berbaring didepannya. Ada Remi, Chibi Maruko Chan, Sailor Moon, Ikkyu-san, Doraemon, Dragon Ball, Power Rangers, Wiro Sableng, Si Buta dari Gua Hantu, Renegade, dan lainnya. Sejak subuh aku sudah tidur di depan tivi. Baru bangun menjelang jam dua belas siang. Receiver parabolanya bermerk Dast. Remi, Ikkyu-san, Sun Goku, mengajarkan kami untuk menjadi anak yang mandiri, tidak mudah menguluh, dan menjadi pejuang tangguh.

Sebelum ada parabola, aku ingat sebelum subuh menonton Piala Dunia. Ada Brazil melawan Rusia, Italia melawan Norwegia, Kamerun melawan Rumania, dan lainnya. Aku tidak membunyikan sura. Tivi kunyalakan senyap. Kalau ketahuan, bisa gawat. Aku kecewa Maradona dipaksa keluar. Aku suka Maradone setengah mati. Pernah menyisakan jajan untuk membeli kaos bola nomor sepuluh. Karena suka Maradona, hingga kini favoritku tim Argentina. Tapi tidak suka Messi meski skilnya kuakui. Selanjutnya Maradona tiada, aku cari alternatif. Roberto Baggio boleh juga. Aku suka gaya rambutnya. Sangat sedih dia gagal penalti. Jadinya Italia adalah favorit kedua. Maradona dan Baggio sama-sama nomor sepuluh. Maka aku beli seragam bola nomor sepuluh. Aku ingin di atas nomor ada nama Maradona. Tapi Malet, adik ibu, membuat namaku sendiri. Jadinya aku terkenal di pasar ikan. Pembeli lain dipanggil kak, bang, sementara aku langsung dipanggil nama.

Lemari tivi, sebagaimana yang kukatakan tadi, dibeli ibu harga tujuh puluh ribu. Itu sangat bagus. Model biasa sekitar tiga puluh lima ribu. Aku lupa apakah itu dikredit juga. Sepertinya sistem tiga atau empat kali bayar.

Dimulai dari kamar kami yang sisi selatan bagian belakang (timur), ranjanku besar tilamnya dua. Sepertinya ranjang sebelumnya di ruang septictank atau tempat dapur kayu. Di sisiku, kakak pakai ranjang kecil. Dulu itu biasa dipakai Cek Mir yang diletakkan di ruang utama gudang. Cek Mir kalau tidur sangat tenang (tidak lasak, tetapi sedikit mengorok). Kalau tidur dia ikat kaki dan kepala pakai kain batik. Tegak hingga bangun. Sekarang dia sudah meninggal. Dia orangnya sangat dermawan. Tapi saying kurang bisa hidup hemat, sehingga kehidupannya tidak sebaik Cekdin.

Lemari hitam yang dulunya di kamar sisi utara dipindah ke kamar baru kami. Ibu pernah mengganti cerminnya di pintu lemari itu. Aku memecahkannya saat sedang narsis. Aku ketakutan. Aku dan kaka berbagi lemari. Kamar baru kami di sampingnya kamar ayah dan ibu. Disekat tripleks. Dua kamar itu dibangun ibu. Sepertinya ada kontribusi uang ayah. Seperti biasa, asbesnya plastik. Kini warnanya biru. Empat gambar berbeda, selainnya identik empat gambar itu. Ada pintu akses antara kamar kami dan kamar ayah.

Kalau ayah keluar kota, aku tidur di kamar ayah bersama ibu dan kakak. Ranjang ibu putih motif angsa warna pink. Indentik dengan warna lemari di kamar ibu, lemari tiga pintu tanpa cermin. Keduanya dikredit ibu. Aku tidak tahu harganya. Pasti mahal. Itu sebelum ayah membeli springbed. Ibu ambil kredit yang dibayar dari sisa uang belanja lima ribu rupiah. Ada satu buah meja dan satu buah kursi di kamar ayah. Sepertinya itu meja sudah ada sejak di kamar sisi utara. Meja itu bahkan dibawa ke Bireuen saat pindah. Saat di Bireuen aku ingat meja itu bagian bawahnya ada penyimpanan rahasia. Aku mengetahui ayah menyimpan rokok di sana. Waktu itu aku kelas tiga MTs. Ayah kalau beli rokok satu selop. Kucuri sebungkus. Alhamdulillah tidak ketahuan. Tidak kucuri lagi karena tidak ketahuan itu cuma sekali. Kalau berkali-kali pasti ketahuan. Aku bisa dihajar.

Ketika kamar pindah di sisi selatan, ayah kalau pergi kadang-kadang meninggalkan uang dikantong. Sepertinya itu disengaja untuk tambahan uang belanja ibu. Kalau ayah sudah pergi, aku ambil seratus dua ratus rupiah, tidak akan dipersoalkan. Satu waktu kukira ayah sudah pergi. Rupanya belum. Kuambil lima ratus. Aku diikat di pohon mangga sisi selatan depan rumah. Setelah ayah pergi, ibu datang untuk melepaskan. Rupanya ikatannya tidak kuat. Belum ibu datang, talinya sudah lepas. Tapi aku pura-pura belum lepas supaya tidak meninggalkan unsur dramatik. Aku ingat waktu itu hari masih gelap. Saat itu ayah sering berangkat setelah salat subuh. Sepertinya akan ke pelosok-pelosok untuk mencari dan membeli pinang dari tengkulak-tengkulak di pedalaman. Waktu itu ayah bekerja kepada Nek Bah, tauke terkaya di Peusangan. Tahun sembilan puluhan saja, gambar rumahnya saja harga dua puluh lama juta rupiah. Waktu itu, harga rumah saja dua puluh lima juta sudah termasuk mewah. Kata temanku, tivi di rumah Nek Bah sebesar pintu.

Sepertinya, mulai dibangun dua kamar sisi selatan aku kelas dua MIN. Aku ingat adikku Mahathir lahir di kamar ayah sisi utara yang kemudian menjadi kamar ketiga. Menjelang siang sebelum kelahiran Mahathir, aku dan nenek (kupanggil mami, ibunya ibu) pergi ke Blang Pala, dua kilometer ke selatan, kemudin masuk ke dalam sekitar empat kilometer untuk mencari dukun beranak yang delapan tahun sebelumnya juga menangani kelahiranku. Kami pergi dengan sepedaku bermerek Cenkifa, dibeli baru melalui orang yang dipanggil ibu Bang Hasyem, kakek yang merawat Rahmat Syukran. Rumah kakaknya rahmat itu sekitar dua ratus meter (dua raturmeter dulu seperti seribu meter sekarang) belakang rumah kami. Diakses melalui lorong samping rumah kami. Tujuh puluh ribu rupiah harganya.

Aku ingat Bang Hasyem membawa pulang sepeda kami dengan cara mengayuhnya, sambil membawa sepedanya sendiri dengan cara dipegang setangnya. Bang Hasyem adalah distributor kerupuk melinjo. Dia juga agen sepeda. Dia orang Pidie. Ibuku suka menyebut asal daerahnya kalau hanya memberi sedikit penurunan harga saat membeli kerupuk melinjo.

 

Sepeda Cenkifa dibeli setelah aku menangis sangat parah. Level empat. Ukurannya terlalu besar buatku yang waktu itu kelas dua MIN. Mungkin maksud ayah supaya ibu juga bisa menggunakannya. Sepeda satunya lagi dibeli sekitar dua tahun kemudian. Aku yang meminta. Ingin punya sepeda bergigi, sepeda gunung. Ayah membeli sepeda perempuan (palangnya miring ke bawah). Padahal aku minta sepeda jenis laki-laki (palangnya vertikal di atas). Tapi engkol roga gigi depan dua. Padahal inginnya engkol roga gigi depan tiga. Engkol roga gigi belakang lima, padahal inginnya enam. Ayah paham bahwa anak-anak akan bahagia kalau dibelikan yang diminta meski detailnya ttidak sesuai keinginan. Lagipula, nanti akan hanya digunakan untuk kebutuhan, Merek sepeda itu Olympic, sangat bagus kualitasnya. Tetapi aku masih penasaran denga sepeda gunung yang kuinginkan. Hingga nantinya kelas tiga MTs kurakit sendiri. Kubeli second dari hasil menabung. Warnanya entah apa, kucat mewah, warna kesukaan. Kubangun sedikit-demi sedikit. Penuh perjuangan. Akhirnya, tidak juga sempurna sebagaimana kuinginkan.

Kalau kupikir-pikir, sepertinya sepeda Olympic itu dibeli buat kakak, meski aku yang meminta. Ukurannya lebih besar dari Cenkifa. Itu sepertinya juga supaya ibu mudah menggunakan. Dan memang yang pakai sepeda itu nantinya adalah kakak. Sementara aku masih pakai Cenkifa. Kalau kupikir-pikir, aku kecewa. Padahal aku yang menangis untuk sepeda itu dibeli. Menangis level tujuh. Itu adalah menangis level kedua tertinggi. Level tertinggi menangis karena sesuatu yang meninggalkan luka seumur hidup.

Ibuku adalah perempuan paling hebat dan paling hemat yang pernah kulihat. Beliau mengkredit semua perabotan rumah dari sisa uang belanja yang lima ribu rupiah. Kalau tidak salah, harga sofa yang dikredit adalah empat ratus ribu. Sofa yang dibeli sangat mewah. Warna abu-abu. Terlalu mewah untuk kondosi rumah seperti rumah kami. Ayah tidak suka membeli perabotan. Tetapi sangat suka menggunakan. Setelah ada sofa, ayah suka tidur di atasnya untuk menonton televisi. Perabotan biasanya dikredit di Bireuen. Jelita, Arjuna, dan Srikandi adalah toko perabotan langganan. Beberapa toko itu masih bertahan puluhan tahun kemudian. Sofa kami yang dikredit ibu bewarna abu-abu. Aku ingat Miz, anak tetangga yang juga kerabat jauh ayah, suka melompat di atas sofa itu. Betapa terkejutnya aku saat kerumahnya, dia marah sofanya kunaiki. Padahal sofa dia sudah dimakan usia.

Ibu juga mengkredit meja makan. Kursinya ada enam. Sama seperti sofa, termasuk yang kualitasnya di atas rata-rata. Meja itu diletakkan di posisi bekas kamar kami yang di sisi utara. Bersebelahan dengan dapur yang diakses dengan cara harus ke luar dari pintu ukuran norman di sisi utara. Berbeda dengan sofa yang bertahan hanya beberapa tahun, meja makan bertahan kemudian hingga puluhan tahun.

Di meja makan itu kami punya banyak kenangan, khususnya saat bulan Ramadhan. Saat itu, banyak sekali makanan dibuat ibu. Banyak juga minuman aneka jenis. Pagi harinya sebagian besar dibuang ke belakang rumah karena tidak habis. Ibu terus membudayakan surplus aneka makanan dan minuman bulan puasa. Sayang sekali kami setiap habis magrib diusir ke meunasah. Padahal seharusnya kami bisa membantu menghabiskan makanan dan minuman yang banyak itu. Kalau bukan bulan puasa, kami juga tidak boleh ada di rumah. Mengaji! Ke tempat rumah siapa saja yang ada mengajar mengaji. Bahkan saat tidak ada yang mengajar mengaji, Kakphon, tetangga ibu yang berumah di lorong depan rumah yang sering disebut Urong Pisang Bue, yang bukan pengajar mengaji juga mengajar kami mengaji. Pokoknya tidak boleh di rumah.

Ibu juga mengkredit lemari hias. Warna coklat. Sangat bagus. Bertahan kemudian puluhan tahun, meski sudah pernah mengalami satu kali perbaikan ulang. Saat pindah ke Bireuen, lemari itu kugunakan untuk mengoleksi buku hingga mengisi seluruh lemari. Bagian bawahnya yang tak berkaca kuisi majalalah-majalah, kliping koran, dan makalah-makalah yang kudapatkan dari berbagai seminar ilmiah saat kuliah di Banda Aceh. Lemari itu bahkan bertahan hingga pindah ke Tanjong Beuridi.

Dulu ayah juga suka mengoleksi majalah. Tempo dan Gatra. Aku ingat, sebelum sekolah, suka membuka lembaran-lembaran majalah itu untuk melihat-lihat gambar-gambar. Ada banyak gambar iklan mobil dan properti. Tapi yang membuatku tertarik adalah dua gambar. Pertama adalah gambar iklan rokok Bentoel. Ada orang sedang terbang layang. Aku suka terbang. Aku ingin terbang. Sejak kecil aku sering bermimpi tiga hal: terbang, mengemudi mobil, dan berbicara bahasa inggris dengan lancar. Gambar satunya lagi adalah pilot sedang di kokpit.

Berarti ayahku punya wawasan luas. Bacaannya Tempo dan Gatra. Ayah juga sekali-kali kulihat membawa pulang koran Kompas. Wah. Beliau paham sekali politik. Ayah pernah bilang, aku menguping tak sengaja, kepada seseorang bahwa jangan pernah melakukan tindak kriminal. Polisi sudah tahu itu sejak kamu punya niat. Aku percaya itu. Polisi punya ilmu forensik.

Sepertinya perabotan di dapur sudah kuceritakan. Ada pemarut kelapa. Saat ibu memarut kelapa, aku suka naik di belakang. Itu seperti naik sepda motor. Kendaraan itu sangat asing bagiku. Ayah tidak pernah mau membeli sepeda motor.

Aku ingat ada dua kompor Hock, kompor minyak tanah. Kardus kompor itu pernah kuingat diletakkan di atas lemari dapu (kami menyebutnya mari makan).  Sering sekali aku membca empat huruf HOCK ukuran bersar di dalam kotak. Di samping kanannya agak ke atas ada tanda ®. Sepuluh tahun kemudian aku mempercatai bahwa tanda itu artinya right, yang berarti kanan, karena tanda itu berada di sebelah kanan. Lima tahun kemudiannya lagi, aku masih meyakini tanda itu tetap simbol untuk right tapi kali ini maknanya adalah bukan untuk kanan tetapi untuk hak. Right berarti hak cipta. ® Berarti itu adalah sebuah merek dagang.

Aku pernah memasak menggunakan Hock saat pulang sekolah ibu sedang tidak ada di rumah. Ibu tidak ada di rumah itu sangat jarang. Rupanya posisi tempat sumbu terperosok ke tempat minyak. Kompor terbakar. Api membesar. Aku ke warung seberang jalan ke kios Silek. Dia datang membasahi goni yang terletak di depan rumah yang biasanya dipakai untuk keset kaki. Lalu Silek mengangkat kompor yang sedang terbakar ke luar. Api dipadamkan. Aku belum makan. Sida, ibunya Miz mengajak ke rumahnya dan aku makan di sana. Makan sangat sedikit. Aku benar-benar tidak suka maka di rumah orang. Ibu mengesankan makan di rumah orang adalah pantangan.

Lemari di dapur yang disebut lemari makan umurnya sudah sangat tua dan masih ada sampai puluhan tahun kemudian dan dibawa serta hingga ke Tanjong Beuridi. Sudah ada sejak Cek Mir masih kecil. Di lemari itu aku sangat ingat pernah membukanya di dalam nasi sudah naik cecak. Aku sangat malu karena saat itu sedang bersama Saf, teman sekolah semeja di MIN selama enam tahun.  Kata dia, nasi tidak bisa di makan lagi. Di mulut cecek ada nasi. Aku tidak sempat melihat mulut cecak.

Di lemari itu, aku ingat pada rak paling atas, ibu menyimpan susu SGM buat adik, Matathir. Aku pernah mencuri susu dia sesendok. Minis, enak luar bisa. Tapi tidak boleh mengulangi. Pencurian berulang pasti akan ketahuan. Sebelum aku sekolah, ayah juga pernah membeli Ovaltine. Ternyata warnanya coklat seperti Milo. Enak sekali. Sayangnya ibu membuatnya terlalu encer supaya lama habis. Ovaltive dibeli setelah aku meminta sambil menangis. Menangis level dua.

Dua meja tidak menarik ada di dapur. Berjajaran di dinding sebelah barat dekat sumur. Satu tempat kompor, satunya lagi tempat menaruh makanan setelah dimasak sebelum dimasukkan ke lemari makan. Dapur kami sangat kotor. Benar-benar membunuh selera makan. Apalagi got melewari bagian dalam dinding dapur sebelah utara. Air got menghitam karena aliran tidak pernah lancer melewati dapur. Memang ditutp papan, tetapi baunya tidak dapat dihindari. Papannya juga menghitam dan menjijikan.

Di dapur ada sebuah kursi bambu panjang di dinding sebelah selatan arah menuju sumur. Aku suka duduk di situ bila ibu sedang di sumur. Pernah suatu kali, usia sebelum sekolah, aku mendengar sebuah ledakan keras. Sepertinya suara ban mobil pecah. Aku membayangkan bumi ini jangan-jangan seperti sebutir tepung yang ada di dalam semesta seperti ban mobil. Melayang layang di angkasa setelah ban mobil alam semesta meledak. Puluhan tahun kemudian aku mengetahui teori bigbang. Aku tidak percaya dengan teori itu. Memercayainya sama saja seperti memercayai hayalan konyol seorang bocah belum sekolah.

Sebelum sekolah aku sudah mengaji di sebuah rumah rumah sekitar empat ratus meter dari rumahku. Belakang rumah Saf. Kata guru mengaji, Tuhan harus lebih dicintai, kemudian guru mengaji, kemudian baru ibu. Ajaran itu tidak dapat kuterima sama-sekali. Bagaimana bisa ibu yang sangat menyayangiku tidak boleh lebih kucintai daripada Tuhan yang entah siapa, tidak kukenal. Bagaimana bisa perempuan tua: bukan saudara, bukan kerabat harus lebih dicintai daripada ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan cinta kasih. Karena dia mengajar mengaji? Bukannya setiap bulan dia dibayar.

Belakangan kulihat seekor induk lembu bersama seekor anaknya yang masih kecil diangkut di bak sebuah truk. Aku memerhatikan induk lembu itu dengan sangat khawatir mengawasi anaknya yang masih sangat imut, lugu, dan polos itu. Terbesit di pikiranku bahwa kasih sayang lembu itu adalah manifestasi kasih sayang Tuhan. Akhirnya aku sadar bahwa seluruh kasih sayang, perjuangan, dan cinta kasih setiap ibu adalah manifestasi kasih sayang Tuhan. Aku jadi sadar bahwa arahan guru mengaji bahwa Allah harus lebih dicintai daripada ibu adalah benar. 

 Guru mengaji yang telah mengajari mengenal huruf hijaiyah sangat besar jasanya. Dengan itu aku bisa mengaji, bisa membaca kitab dan seterusnya. Satu huruf dibaca dari Al-Qur'an sangat banyak pahalanya. Apalagi beberapa lembar mushaf. Dengan kemampuan membaca dan menyimak syarah kitab, aku dapat memeroleh sejuta pengetahuan. Semua kebaikan itu mengalir kepada guru mengaji alif, ba, ta. Tetapi pernyataan bahwa guru mengaji harus lebih dicintai daripada ibu sendiri belum bisa kuterima.

Aku sangat suka memerhatikan ibu membersihkan ikan. Ibu sangat lihai urusan itu. Pernah di sebuah daerah luar Aceh, ibu membersihkan ikan dengan cara yang biasa dilakukan di rumah. Orang-orang lainnya heran karena ibu telah membuang sangat banyak organ dari ikan. Tetapi kesukaan ayah seperti itu.

Saat ibu membersihkan ikan aku suka sekali bertanya. Bertanya tentang banyak hal dan terus-menerus bertanya. Kadang-kadang ibu menjadi kesal.  

Ke kota Matangglumpang Dua aku aku selalu pergi untuk membeli ikan dan beberapa belanjaan. Disuruh ibu setiap hari. Aku harus sudah bisa membaca sebelum sekolah MIN. Aku tidak sekolah TK. Waktu itu, TK hanya untuk anak orang kaya. Untung kakakku mengajariku membaca. Dia setahun lebih tua daripada aku. Aku harus sudah bisa membaca karena harus mengetahui daftar belanjaan. Usia empat tahun aku menyerahkan menu belanjaan pada penjual. Usia empat tahun, meski belum bisa membaca, di daftar pertama catatan belanjaan aku tahu itu 'ikan'. Selanjutnya berubah-ubah. Lama kelamaan aku malu kertas diberikan kepada penjual. Akupun memaksakan diri agar bisa membaca. Itu menjadi cepat karena ada kakakku yang mengajari, sehingga aku bisa membaca sendiri menu bacaan.

Biasanya ibu diberikan uang belanja lima ribu rupiah. Uang itu diserahkan untuk aku berbelanja. Biasanya harga ikan seribu. Biasanya jumlah belanjaan tiga atau empat ribu. Sisanya lagi kukembalikan. Ibuku sangat hemat. Hanya dengan sisa belanjaan seribu dua ribu sehari, bisa membeli banyak perabotan dan alat-alat elektronik. Caranya dikredit, dibayar perbulan. Ibu membeli tempat tidur, lemari, sofa, parabola, meja makan, tape, dan sebagainya. Tivi ayah yan beli.

Tivi dibeli karena tidak tega melihat kami selalu suka ke rumah tetangga untuk nonton tivi. Terkadang anak tetangga suka menutup pintu rumahnya mengetahui aku dan kakak datang untuk nonton tv. Biasanya kalau begitu, kami mengintip melalui jendela sampai ketahuan hingga jendalanya ikut ditutup.

Tetangga sebelah kiri rumah punya banyak anak. Kalau tidak salah dua belas. Anaknya yang paling kecil sebaya dengan aku. Salah satu anak perempuannya yang sudah dewasa menjadi terapis. Bisa mengobati orang sakit yang konon katanya tidak ada obat di rumah sakit. Kalau hendak praktik, dia berubah seperti dirasuki seseorang. Suaranya berubah. Sudah seperti suara laki-laki. Biasanya praktiknya malam. Kadang-kadang kalau ayah ke luar kota, ibu ikut menyaksikan praktik pengobatan. Rada-rada sadar sambil mengantuk, aku sempat mengingat beberapa kali ikut dibawa menyaksikan praktik yang dia lakukan.  Orang-orang dari tempat yang jauh, banyak yang datang. Kabarnya praktik pengobatan itu telah sangat banyak membantu orang.   

Pernah suatu kali dia meminjam satu benda yang kami miliki dan pajang di dinding rumah. Benda itu sangat panjang dan menarik. Sangat besar. Dia meminjam sekitar seminggu. Kalau tidak salah membayar dua puluh lima ribu. Itu sangat banyak buat ibu. Beliau pasti sangat senang.

Dari mana tanduk itu? Dari Jungka Gajah. Banta Leman dan teman-temannya sering berburu.

 

Ada Apa di Depan Rumah?

Halamannya terlalu luas. Bangunan gudangnya terlalu ke belakang. Berdiri melebar dari bagian utara yang awalnya ada sekitar enam meter sisa yang kemudian dibangun dapur dan sumur hingga menjadi mentok dengan jalan lorong di batas utara. Sementara sisi selatan hanya menyisakan sekitar satu meter. Halaman belakang sisa sekitar dua atau tiga meter. Halaman depannya terlalu luas. Apalagi buat kami anak-anak dulu. Sebelum berubah menjadi semacam hutan yang ditumbuhi berbagai pohon, khususnya di sisi utara, sepertinya sebelumnya adalah tanah yang lapang. Itu digunakan kakak dulu untuk menjemur hasil bumi yang dibeli di rukonya di pasar, Jl. Tgk. Abdurrahman. Hasil bumi yang dibeli biasanya adalah pinang, kopi, kacang-kacangan, biji kakao, dan sebagainya. Itu dihantar ke gudang Paya Cut untuk disimpan dan dijemur. Nanti satu waktu dihantar dengan mobil besar ke Medan untuk dijual. Kakek adalah salah satu tauke paling dikenal.

Setelah kakek bangkut akibat harga hasil bumi yang tiba-tiba jatuh, maka asetnya belasan mobil, beberapa ruko, dan beberapa set lainnya dijual. Sepertinya kakek punya banyak urusan dengan bank. Bahkan rumah Paya Cut sepertinya juga bersangkut dengan bank hingga pembeli gudang itu kemudian membayar kepada dua pihak: bank dan kakek. Aku tidak tahu pasti. Yang kuingata adalah sebum aku MIN, halaman gudang pada sisi tengahnya menjadi semacam lorong menuju rumah. Sementara sisi utara semacam hutan. Sisi selatan penuh dengan tanaman pisang hingga ke tempat ibu membuang sampah.

Lebih dekat ke rumah, di sisi selatan, umbuh tiga pohon besar: mangga, jambu manis, dan satu lagi tidak ingat. Sangat rindang di bahwanya. Usia MIN aku pernah membuat sebuah gawang sepakbola di bawahnya. Kalau lagi sakit tidak boleh main panas, aku main tendangan penalti bersama teman. Kami pancang dua tiang, atasnya dengan tali. Halaman rumah juga pernah menjadi lapangan bola. Main sore bersama teman-teman. Tetapi tidak selalu. Kami kurang suka halaman rumahku menjadi lapangan bola karena, kiri kanan banyak tumbuhan.  Maka aku lebih sering ke belakang kios Mateh untuk main bola. Lapangan bocoh di bawah dua pohon sawo yang sangat besar. Di sampingnya lapangan orang dewasa.

Sisi kiri di bawah tiga pohon aku ingat pernah kupas mangga: aku ibu, dan Mahathir yang baru berusia sekitar sembilan bulan. Matathir meraih sabit dan  menghantam sisi kanan dijadku. Lukanya dalam, tetapi darah kelur sedikit sekali. Perih sekali karena sabitnya tumpul. Kepala pusing akibat hantaman.

Bila dekat rumah sisi kiri ada pohon jambu yang lebih besar yang buahnya manis, di sisi kanan agak jauh dari rumah, ada pohon jambu batangnya lebih keci, rasanya asam sekali. Tapi kalau kubayangkan sekarang, dia sangat enak. Dekat jambu asam itulah banyak sekali pohon-pohon yang membuat halaman rumah kami menjadi seperti hutan lebat. Dekat situ juga ada pohon kelapa dari pesta kawin Cek Din. Di antaranya aku ingat ada pohon kemiri yang sangat tinggi. Banyak pohon lain yang aku lupa.

Sisi kanan lebih dekat dengan rumah ada kelapa gading. Buahnya sangat enak. Aku ingat pernah ada orangutan nyasar ke atas pohon itu. Dia datang dari sisi kanan rumah seberang jalan lorong itu ada pohon sawo besar sangat lebat dan horor yang kemudian ke atas nya adalah bukit sangat lebat seperti hutan belantara. Lama kemudian aku bangga menjadi orang Sumatera karena di hutan kami mengandung fauna paling kaya di dunia. Ada harimau, kedih, orangutan, macan, badak, dan ratusan lainnya. Kompleksitas itu hanya ada di Sumatera. Makanya aku tidak pernah suka orang yang suka tanam sawit.

Sebelum aku masuk MIN, dua meter dari dari rumah depan pintu dapur ada pohon sawo sangat besar dan sangat lebat tetapi tidak horor karena depan rumah sendiri. Kalau lagi musim, buahnya sangat banyal ada agen yang datang mamjat petik sendiri lalu membayar. Ibu jadi punya tambahan uang belanja. Aku ingat ayah pernah memanjatnya untuk memotong sebuah ranting yang mengganggu seng rumah. Beliau melakukan itu sambik mengenakan handuk mau mandi. Aku heran handuknya kencang sekali. Itu dilakukan sambil satu tangan memegang parang pula. Tetapi batangnya bukan tegak tunggal seperti kelapa. Dari bawah batangnya sudah bercabang banyak dengan . Batang-batang yang bercabang itu sangat sebar-besar. Pohom itu membuat sisi utara rumah seperti dapur dan kamar awal kami menjadi terlalu tidak panas. Seingatku, sekitar aku kelas tiga MIN, pohon sawo itu sudah tidak ada lagi. Mungkin ditebang. Kasihan sekali. Tidak jauh dari lokasi pohon sawo, sekitar aku kelas tiga, bilan puasa, entah pohon sawo masih ada entah tidak adalagi, aku disuruh memanjat pohon nangka yang belum terlalu besar batangnya, untuk memotong sebuah cabang. Saat hendak meraih cabang itu, aku terjatuh. Perutku menimpa cabang dibawahnya. Aku pitam. Seketika dipaksa minum air garam. Aku berusaha menolak, tetapi tubuh tidak berdaya. Air garamnya tertelan. Aku sangat kesal dan sakit hati. Puasaku batal. Aku tidak suka puasa sunnat. Makanya dalam kondisi apapun aku selalu memaksakan diri untuk tidak tinggal puasa Ramadhan.

Depan rumah dekat dinding kamar baru ayah, aku tahu banyak ditanami pohon hias daunnya mirip daun pisang warna merah tua seluruhnya. Aku tahu itu dari sebuah fotoku sekitar kelas empat MIN. Tetapi sepertinya saat aku sebelum sekolah sampai kelas satu atau dua, tanaman-tanaman hias itu belum ada. Lapang saja di sana. Ibu mudah saja melangkah ke tetangga.

 

Kalau tidak salah, sebelum aku MIN, antara rumah kami dengan tetangga itu ada pagar kawat duri. Perlu hati-hati melewati celah pagar yang agak lebar. Sebelah utara menuju lorong samping rumah juga begitu. Tetapi setidaknya aku kelas empat, pagar-pagar itu sudah hanya tinggal di sisi depan yang jarang di datangi. Paling depan halaman yang bagiku anak kecil waktu itu tampak sangat jauh, sisi selatannya ada gundukan. Dibuat ayah sebagai usaha menahan air yang datang dari parit samping lorong Pisang Bue. Tapi usaha itu gagal. Karena air bah yang datang saat hujan masuk melalui jembatan kami yang sangat lebar.

Sisi selatan yang ada gundukan itu ditanami sayur terong oleh ibu. Ibu suka sekali terong. Sementara tidak. Sebelum ditimbun, ayah pernah mengubur seekor anak anjing di sana. Dia tewas tertabrak vespa di jalan. Ayah pernah memukul Anjing itu. Dipukul karena bermain-main dengaku. Anjing itu menggelutiku. Aku menangis keras. Anjing itu peliharaan kami. Aku tidak ingat anjing itu. Juga tidak ingat saat dia menggelutiku. Tapi tampaknya itu adalah anjing yang sangat imut. 

Sisi utara paling dekat jalan ada pohon jambu biji di sana. Resanya enak. Ukuran buahnya kecil. Pernah Miz mengambil buah itu bersama temannya. Aku datang melarang mereka saat sedang memanjat. Padahal apa urusanku jahat sekali. Mungkin dia sedang ingin berbangga pada teman-temannya bahwa kami adalah familinya. Famili jauh. Jauh sekali. Ayah Miz. Sangat tampan. Masuk kelompok sipil bersenjata, meninggal karena sakit di hutan. Menurut radio bergigi, dia meninggal karena sakit. Sakit karena lama tenggelam di sungai saat menjala ikan. Kabarnya dia terjerat jala. Setelah itu, dia mulai sakit-sakitan.

Setelah sopir dan beberapa penumpang selesai makan, mereka kembali ke minibus. L300 itu berangkat. Kulirik Rahma di sampingku. Dia ketiduran. Bus kembali melaju dengan kencang. Aku masih mengenang bocah nakal di kota kecil itu.

 



[1] Kakek Banta Raden adalah Ayahnya ibuku. Konon, beliau menjadi kaya karena berhutang uang Dua Puluh Lima Juta Rupiah pada Bank BNI yang disebut Bank 46 Bireuen. Kakek punya beberapa rumah toko di Matangglumpangdua, punya banyak mobil, punya rumah besar di Tanjong Beuridi, punya gudang di Paya Cut, dan banyak properti lainnya. Dagang hasil bumi adalah usaha utamanya. Tetapi kekayaannya tidak berlangsung lama. Hanya beberapa tahun. Harga kakao tiba-tiba anjlok. Saat itu Banta Raden punya sangat banyak stok. Ekonominya merosot dan kemudian ambruk. Kecelakan atas kendaraan-kendaraannya juga terus terjadi. Bahkan ada mobil yang terbakar tiba-tiba saat sedang parkir.

Hingga Banta Raden beruzlah ke Alue Mudek, kaki Gunong Goh, Bireuen. Di sana membuka kedai di perkampungan transmigran. Juga membeli beberapa jenis hasil bumi yang dihasilkan warga transmigran. Suatu Hari Banta Raden didatangi tentara BKO. Dia difitnah oleh seorang saingan usaha. Tentara memerintahkan Banta Raden memanjat atap rumahnya. Kemudian dia dilempari dengan jantung pisang hingga terjatuh. Aku ingat ketika Ibu mengunjungi kakek di balai kesehatan di Matangglumpangdua yang berletak dekat Polsek Peusangan. Kakek menginap beberapa hari di sana.

Banta Raden orangnya berpenampilan rapi. Dia juga orang berpendidikan. Sekolah di PGA Al-Muslim Peusangan. Tetapi memutuskan untuk tidak mengajar karena gaji guru waktu itu tidak cukup untuk makan. Teman-teman seangkatan beliau kemudian menjadi guru pegawai negeri. Kampus Al-Muslim membuat beliau berwawasan luas dan punya pemikiran moderat. Sebelum menjadi orang kaya, Banta Raden adalah pekerja keras. Beliau menetap di sebuah kaki bukit untuk membuka lahan menanam kacang. Konon aslinya beliau adalah dari Paya Ni, Peusangan. Itu arah utara Simpang Kameng.

Banta Raden pernah menetap di Padang Sidempuan beberapa tahun. Di sana beliau dianggap dukun atau orang keramat karena suatu hari ada seorang anak disengat kalajengking. Beliau mengambil belimbing kering (asam sunti) dan mengoleskan pada luka. Anak itu segera sembuh.

Banta Raden kemudian kembali ke Tanjong Beuridi membangun sebuah rumah berbentuk toko karena maksud sebagai hunian sekaligus kedai. Saat sedang memasang bata bangunan baru rumahnya, Apa Suh, adik kandungnya memanggil beliau agar dapat membantu menarik pohon kelapa yang sedang ditebang. Rupaya ujung kelapa mengenai belia dan meninggal di tempat. Saat itu aku kelas satu pesantren di Medan. Ayah membawa pulang springbed bagus saat hari meninggalnya kakek. Springbed itu bertahan hingga kemudian puluhan tahun.

[2] Sewaktu kecil sebelum sekolah, aku selalu minta ikut tiap Ayah ke luar rumah. Satu malam, aku minta ikut. Kata Ibu, Ayah ke WC. WC kami di belakang rumah. Terpisah dengan bangunan rumah. Hanya dindingi terpal bekas, warna biru. Tidak ada kloset, apalagi pipa dan septic tank. Hanya digali sedalam satu meter. Di situlah kotoran berulat, membusuk, dan seterusnya. 

Belakangan sewaktu aku MIN, WC kami sudah diaktifkan kembali yang di dalam bangunan rumah. Dekat sumur. Meski klosetnya ada, namun tidak mengalir dengan baik ke septic tank yang jaraknya sekitar satu meter dari kloset. Keberadaan septic tank itu baru belakangan aku ketahui sewaktu pembersihan sumbatan pipa. Rupanya Mak memasak air panas dan sop di atas septic tank. Di atas septic tank itu, dapur cadangan berbahan bakar kayu bertempat. Dapur itu hanya dipakai untuk masak sop waktu makmeugang dan merebus air panas.

Kamar mandi rumah kami lumayan elit juga kalau aku pikir-pikir. Selain ada bagian wece, sebelah utara ada ruang mandi, lengkap dengan bak air. Tidak difungsikan lagi memang sejak aku ingat. Selain karena bocor, juga tidak ada mesin pompa air. Tetapi memang sepertinya didesain untuk pengisian air manual. Ada sedikit lubang di dinding arah cincin sumur. Melalui itu harusnya air diisi ke bak. Tidak ada kran atau pipa air. Hanya ada tempat menampung air di dinding untuk ditumpahkan langsung ke bak di balik dinding. 

Perbaikan-perbaikan besar tidak akan dilakukan Ayah untuk rumah kami di Paya Cut. Karena Ayah paham bahwa itu adalah milik Ayahnya Ibu. Kalaupun diperbaiki, nantinya juga akan menjadi milik orang. Sementara Mak tentu hanya akan kedapatan warisan sedikit, berhubung beliau adalah perempuan.

Rumah di Paya Cut sebenarnya adalah gudang yang didirikan Kakek Banta Raden. Gudang itu dibangun untuk menyimpan hasil bumi yang dibeli dari warga di pasar Matangglumangdua maupun menyimpan barang sembako untuk dijual di toko-tokonya di pasar itu. Kakek Banta Raden pernah menjadi orang sangat dikenal karena kekayaannya. Beliau punya puluhan mobil dan sekitar sepuluh toko di Matangglumangdua. Namun sejak Mak menikah, beliau sudah bangkrut. Dagang hasil bumi memang bisa membuat orang kaya mendadak dan tiba-tiba bangkrut. Terkadang, berdagang itu seperti main judi. Maka harus sangat hati-hati, tidak hanya kalkulasi matematis, tapi juga kalkulasi keberkatan.

Karena sebenarnya merupakan sebuah gudang, maka itu denah rumah kami aneh. Pekarangan belakang hanya sekitar tiga meter. Termasuk galian wece sebelum kembali ke wece dalam kamar nandi. Tapi halaman depan sekitar seratus meter. Itu adalah hitunganku sebagai anak-anak. Karena sepertinya hanya sekitar dua puluh meter. Itu didesain untuk menjemur pinang. Setelah Pak Nek bangkrut, tumbuh banyak jenis pohon pinggir pekarangan. Bagian tengah tetap lapang namun berumput. 

Waktu aku MIN, Ayah telah berdagang pinang. Beliau memiliki lahan luas untuk menjemur pinang. Di depan rumah. Ayah sangat baik pada tetangga. Makanya kalau tiba-tiba hujan, tidak ada orang di rumah, para tetangga dan pemuda yang lagi nongkrong di warung depan rumah. Meski sangat dihormati pemuda karena sangat baik, Ayah jarang ke luar ke warung atau pergi mengobrol dengan sesama bapak-bapak tetangga. Mungkin itu menjadi bagian hingga aku besar aku masih terus percaya bahwa Ayah ke wece, bukan ke warung. Seingat aku selama di Matang, Ayah tidak pernah ke warung sepulang bekerja. Pulang dari kerja, Ayah lebih suka di rumah. Dulu membaca Koran dan majalah. Lalu setelah ada tivi, sika menonton tivi.

Saat Ayah masuk lagi ke rumah, yang kata Mak Cuma ke wece, pria paling tampan yang pernah aku lihat itu pulang membawa oleh-oleh roti. Aku masih ingat itu adalah biscuit berbungkus biru, coklat ditaburi gula, berbentuk segi empat, ada selai coklat di Antara masing-masing dua roto yang menempel. Di lempar Ayah ke dekat aku golek-golek di atas tempat tidur. Waktu itu aku sangat yakin bahwa roti itu benar-benar diperoleh Ayah dari dalam wece di belakang rumah. Bahkan hingga Oktober 2016, aku tidak benar-benar percaya bahwa Ayah keluar dari pintu belakang hanya untuk membuat aku yakin beliau cuma ke wece,  supaya aku tidak minta ikut. Samping rumah ada jalan kecil tembus hingga Lueng Kuli. Jadi, kalau keluar pintu belakang, bisa langsung ke lorong itu dan ke depan. Lalu ke warung.

Bahkan hingga saat ini aku belum benar-benar percaya sebenarnya Ayah bukan ke wece tetapi pergi ke warung. Hingga kini aku lebih yakin, meski bagaimanapun caranya, roti itu dibawa Ayah dari wece, bukan dibeli dari warung. Hingga saat ini, sangat sulit memang memeriksa secara ilmiah bagaimana menghasilkan roti dari wece. Tetapi aku lebih percaya itu daripada Ayah ke warung. 

Aku lebih percaya kata Ibu bahwa Ayah ke WC. Meski perkataan beliau belum dapat ditemukan akurasinya dengan logika dan sains. Bahwa Ayah ke wece, bukan ke warung. Jadi, aku lebih percaya roti itu dari wece.

 

[3] Di Tepi Sungai Peusangan aku duduk menunggu dirimu. Kupikir aku sedang duduk di tepi Sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu. Kita telah berjanji akan bertemu di sini. Kau akan mengajakku ke sebuah tempat yang tidak aku ketahui. Kupikir aku sedang duduk di tepi sungai Peusangan. Sedang menunggu dirimu.

Sementara hari-hari yang kulalui setelah itu, hingga hari ini, hanya lamunanku saja. Hanya lamunan. Sementara aku sedang duduk di tepi sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu.

Oh. Bagaimana ini bisa terjadi? Mungkinkah hari-hari yang kulalui setelah itu, hanya sebagai lamunan. Sementara aku sedang berada di tepi sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu. Padahal aku sedang duduk di tepi sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu. Itu tidak pernah terjadi. Itu hanya lamunan. Sehingga hari-hari yang kulalui setelah itu lah, yang benar-benar kenyataan.        

Mungkin sebenarnya hari-hari setelah itu adalah lamunan-lamunanku saja. Sebenarnya aku sedang berada di tepi sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu. Sekalipun hari-hari setelah itu adalah peristiwa yang nyata. Namun jiwaku tidak lagi ikut bersama jasadku. Jiwaku telah duduk di tepi sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu.

[4] Satu waktu, ibuku pernah memergoki seorang pemuda yang tinggal di jalan samping rumah yang lebarnya dua meter tembus ke Lueng Kuli itu. Dia mengintip ibu yang sedang mandi dengan memanjat tembok. Tembok itu memang langsung berada di sisi jalan. Namamanya Du (disamarkan). Dia adalah pemuda pengangguran yang putus sekolah. Hal yang paling kuingat dari dia adalah pernah membeli sedikit bensin dimasukkan ke plastik, diikat karet, dimasukkan ke saku depan celana. Di rumah entah kenapa dia main korek, sepertinya korek kayu, korek itu jatuh dan membuat celana dan sekitarnya terkobar api.

Hal yang lebih akuingat dari tembok itu adalah orang-orang selalu bercerita kalau lewat di jalan samping rumah, sering melihat dua orang hantu. Yang satu agak pendek dan agak gemuk. Satunya lagi agak tinggi dan agak kurus. Kalau ada orang, semakin didekati, mereka menempel ke dinding. Pernah juga ada yang menagatakan dua hantu itu sedang berada di sawah, datang dari hutan dan yang berada di ujung persawahan. Sepertinya hantu tersebut berasal dari hutan itu.

Hutan dimaksud dijangkau melalui pematang sawah. Ujung hitan yang berdekatan dengan sawah adalah kebunnya Usam. Beliau adalah orang kaya di Paya Cut. Di kebunnya itu banyak pohon kelapa. Para lelaki yang tidak punya pekerjaan tetap suka bekerja jasa dengan memetik, mengupas dan menjual kelapa dari kebun Usam. Sepertinya Usam adalah pensiunan pegawai negeri.

[5] Aku suka sekali ranjang Ayah dan ibu, ada tempat penyimpanan dua pintu di bagian kaki. Ukurannya seperti satu tingkat lemari. Biasanya Ayah suka meletakkan majalah di situ. Ayah suka sekali membeli majalah Tempo. Aku suka menggunting gambar menarik di majalah itu. Sayang sekali. Padahal majalah-majalah itu kalau dikoleksi bisa menjadi benda legendaris.

Aku ingat Ayah sering membawa pulang majalah Gatra dan Tempo dan koran Kompas. Ayah suka sekali mengamati perkembangan politik. Itu dilakukan sejak masih lajang. Kata orang di Jungka Gajah, waktu lajang Ayah suka membawa radio kemana-mana. Sebagaimana pemuda lajang lainnya, beliau tidur di menasah. Jangan-jangan namaku juga diinspirasi dari nama tokoh politik Philipina. Sementara nama adikku terispirasi dari nama tokoh politik Malaysia.

Aku juga suka ranjang kami. Di bagian kepala ada dua laci penyimpanan berpintu di sisi kiri dan kanan. Sementara di tengah adalah penyimpanan terbuka. Di laci sebelahnya, Kakak suka meletakkan buku. Sementara di sebelahku, aku suka meletakkan Al-Qur’an supaya kalau tidur. Supaya tidak diculik hantu.

[6] Di ruang yang luas itu, aku ingat pernah bermain dengan Rahmat Syukran, teman masa kecilku. Kami pura-pura ada kolam di situ. Kami berenang di lantai. Aku suka bermain dengannya. Tangan rahmat lentik. Dia jago main guli. Setiap aku membeli guli, selalu habis karena kalah bermain dengannya. Kabarnya dia sudah meninggal usia kami sekolah menengan, waktu aku pindah ke Bireuen. Dia meninggal karena diare. Kasihan sekali. Dia dibesarkan neneknya. Mereka kembar. Kakanya kembar bernama Rahmi Raihan.

[7] Kabarnya di rumah Nek Bah ada tivi seukuran pintu. Rumah Nek Bah adalah terbesar di Matangglumpangdua masa itu. Sampai hari ini, rumah itu masih tidak out model. Gambarnya saja dibeli dua puluh lima juta rupiah. Uang segitu, pada masa itu bisa membuat sebuah rumah mewah.

[8] Di kampung kami, beberapa rumah orang kaya tumbuh delima jenis itu. Tetapi siapa yang berani mengambil bahkan buah-buah yang jatuh sekalipun. Mendekati rumah-rumah orang kaya saja kami ngeri. Kalaupun melihat, hanya curi-curi pandang. Itupun terasa seperti sudah melakukan dosa besar. Desa Paya dan desa Seuneubok Aceh bersebelahan. Dibatasi Jalan Matangglumpangdua-Tanjong Beuridi. Bisa disebut Jalan Al-Muslim. Dekat Meunasah Seuneubok Aceh ada rumah orang kaya. Di teras ada kursi mewah: dari tali semacam plastic bewarna putih biru merah.

Di depan rumah itu pernah dibangun sebuah kios kerajinan kulit. Kami pernah jual ular ke sna. Dibeli lima ratus rupiah. Berbagi untuk beberapa orang.

 

[9] Itu adalah dugaan ibu yang diceritakan kepada temannya sekampung. Tidak ada pembuktian empiris untuk hal itu. Ibu juga tidak melihat langsung. 

Rumah Gudang Rumah Gudang Reviewed by Miswari on 20.38 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.