Mobil berhenti sebentar di Matangglumpangdua untuk makan. Aku dan Rahmah tidak turun. Kami masih sangat lelah. Hanya berdua di barisan paling belakang minibus L-300 yang memang hanya dua jok penumpang. Setiap singgah maupun melewati kota ini, perasaanku berbeda. Kota ini punya satu juta kenangan. Kenangan bocah kecil yang sangat nakal.
Keadaan dalam Rumah Gudang
Ini adalah kota
kelahiranku. Tidak jauh dari kota ini, sekitar dua kolometer ke selatan, aku
dibesarkan pada sebuah rumah yang sebenarnya adalah peninggalan kakek Banta
Raden[1].
Dulu bangunan itu adalah tempat kakekku menyimpan hasil bumi seperti pinang,
kopi, kakao, dan sebagainya yang dibeli dari para petani untuk dijual ke Medan.
Halamannya sangat luas untuk menjemur barang dagang itu.
Namun sejak aku bisa mengingat, halaman yang luas itu
sudah banyak tumbuh pohon-pohon, khususnya di sisi kiri dan kanan. Sepertinya,
sejak kakek mengalami kebangkrutan, pohon-pohon itu ditanam atau tumbuh sendiri
karena halamnnya tidak dibutuhkan lagi untuk menjemur. Gudang itupun ditempati
ayah dan ibuku sejak setahun setelah mereka menikah.
Kakak yang setahun lebih tua dariku dibawa bersama. Aku
lahir di Gudang Paya Cut, begitu keluarga besar menyebut bangunan tempat aku
lahir dan dibesarkan. Karena letaknya di desa Paya Cut. Tentu saja aku
menenyebutnya rumah.
Bagian belakang hanya sisa sekitar tiga meter. Mungkin
sebenarnya hanya sekitar dua meter. Waktu kecil, sesuatu selalu tampak lebih
besar, lebih luas, lebih panjang. Aku teringat ujung belakang sisi selatan
pernah digunakan sebagai tempat buang air besar. Tidak banyak kenangan di
halaman belakang. Ibu bercerita waktu kecil aku sangat nakal sehingga dengan
kereta bayi belum bisa jalan berbentuk bundar sering terjun ke halaman belakang
yang terjal meskipun pintu belakang sudah dipalang papan. Aku ingat kereta itu
bewarna oranye.
Halaman belakang sangat rendah karena tidak ikut
ditimbun sebagaimana halaman depan. Aku masih ingat, sebelum aku dan kakak
sekolah, aku melihat dia buang kotoran di halaman belakang. Sangat banyak
cacing yang masih hidup. Ternyata kakak baru saja diberi obat cacing. Setelah
minum obat itu, dia yang dulu sangat kurus berangsur-angsur menjadi gemuk.
Aku penah ditipu ibu. Suatu malam aku minta ikut saat
ayah hendak ke luar ke warung. Kata ibu ayah cuma mau ee'. Jadi tidak minta
ikut lagi. Sekitar jam sepuluh, ayah masuk menyerahkan sekantong biskuit. Aku
meyakini biskuit itu hadir begitu saja di wece untuk ayah, lalu diserahkan
kepadaku. Aku meyakini itu sebagai kebenaran dalam waktu sangat lama. Setelah
dewasa barulah aku sadar bahwa ayah pergi ke warung. Melalui pintu belakang,
Ayah memutar melalui sebuah lorong tepat di sisi utara rumah kami. Di sanalah
biskuit dibeli. Semoga kita tidak mudah membohongi anak-anak karena itu akan
dipahami kebagai kenyataan, sebagai kebenaran.[2]
Pembatas bagian belakang rumah ada tembok sekitar satu
meter. Di tengahnya tidak ditembok supaya bisa keluar melalui halaman belakang.
Tepat sebelah tembok ada air mengalir deras kalau akan dimulai musim tanam.
Antara aliran dengan sawah ada pematang. Dari situlah tetangga samping selatan sering
lewat untuk ke jalan dua meter samping kanan rumah, tembus ke desa Lungkuli,
kami menyebutnya Seundok. Dari sana tembus ke jembatan Pante Lhong sungai
Peusangan. Aduh, ada banyak kenangan di dekat Sungai Peusangan.[3]
Belakang rumah adalah sawah. Kalau siang, pintu belakang
dibuka, angin sepoi-sepoi masuk. Tetapi rumah itu sangat panas. Sebab itulah
waktu bayi aku mengalami sakit kulit. Kata ibu, badanku penyakit akibat panas
itu menghinggapi nyaris seluruh badan. Aku tidak bisa membayangkan penderitaan
ayah dan ibu memikirkan penyakitku. Waktu kecil juga aku sering batuk dan sesak
napas. Kalau sedang parah, otot-ototku lemas. Biasanya aku diberi telur kampong
setengah mata sebagai obat.
Karena dibangun sebagai gudang, rumahku sebenarnya
lapang dan luas. Disekatlah dengan tripleks menjadi dua kamar. Dulu sekatnya dekat
dengan dapur yang berposisi di sebelah utara. Akses ke dapur harus keluar dulu
melalui sebuah pintu dekat dinding dapur, baru masuk pintu dapur. Dari belakang
juga bisa, tetapi aksesnya ke kamar mandi yang tepat di belakang dapur. Aku
sangat ingat kami seringnya ke dapur dari depan. Bahkan mau mandi pun aku dari
depan. Karena kalau dari belakang, berarti melalui kamar ayah. Setelah masuk
MIN, aku segan masuk kamar itu.
Mungkin ayah dan ibu pagi-pagi akses dari belakang kalau
hendak mandi. Dari belakang juga tidak harus dianggap keluar, karena tepat di pintu
kamar bagian belakang yang dipakai ayah ibu sebagai kamar mereka (sementara
depan adalah kamar aku dan kakak), adalah sebuah ruang yang dindingnya sekitar
dua meter. Satu meter ke atasnya lagi, baru ada atap. Itu adalah dapur kayu.
Biasanya dipakai untuk memasak air minum dan memasak sop kalau meugang (hari
makan daging sapi sehari dan dua hari sebelum puasa Ramadhan).
Ke kanan ruang dapur kayu itu adalah ke halaman
belakang. Sementara ke kiri, langsung masuk ke kamar mandi yang luas tanpa
atap. Dinding kamar mandi sebelah utara tinggi sekitar tiga meter (waktu kecil,
sesuatu tampak lebih tinggi dari seharusnya). Dulu di atas dinding yang
berbatas langsung dengan jalan lebar dua meter itu dipasang beling-beling. Saat
aku bisa mengingat, beling-beling itu sudah rata dengan tembok[4].
Rupanya di bawah dapur kayu itu adalah sumur septic tank.
Tapi wece di sebelahnya yang diakses melalui kamar mandi tidak diaktifkan
karena tersumbat. Baru belakangan saat aku masuk sekolah diaktifkan kembali.
Itu pun dengan kondisi yang tidak sempurna. Aku sangat ingat di wece yang
sangat gelap itu, suka membuat air mengalir sesuai kuarahkan untuk menjebak
semut-semut. Itu sering kulakukan saat buang air besar. Wece lama di ujung
selatan belakang rumah menjadi tidak diaktifkan. Dialih fungsi menjadi tempat
pembuangan sampah. Padahal aku punya kesan keajaban biskuit di sana.
Kalau kupikir-pikir, kamar mandi rumah itu keren juga.
Selain luas, ia juga punya sebuah ruang untuk mandi di sebelah utara. Air
dimasukkan ke bak melalui sebuah lubang yang dibuat. Tetapi kata ibu baknya
sudah tidak bisa digunakan lagi karena bocor. Lagi pula kalau tidak bocor,
mengisi bak sangat sulit karena harus menimba air. Di ruang untuk mandi yang
tidak difungsikan itu, aku pernah memelihara ikan-ikan kecil yang kuambil dari
got di desa teman. Kalau beranak, akannya menjadi sangat banyak. Kalau
mengganti air, aku harus sangat hati-hati. Karena bila tidak, anak-anak ikannya bisa terbuang. Aku ingat
ikan-ikan itu kumasukkan ke dalam bekas tempat oli lima liter bewarna merah
yang kupotong bagian atasnya.
Kamar mandi itu tidak pernah sehat. Air selalu
tergenang. Ibu harus menyapu air dengan sapu lidi setelah mencuci. Airnya
dialiri melalui got yang digali di sisi utara halaman depan rumah hingga ke
parit pinggir jalan. Gotnya sangat panjang karena halamannya sangat luas hingga
ke jalan. Panjang halaman dari depan rumah hingga jalan kuperkirakan sekitar
tiga puluh lima meter. Lebarnya sekitar dua puluh lima meter. Halaman depan
akan tampak sangat luas karena banyak ditumbuhi pohon sisi kiri dan kanannya
sehingga menjadi semak-semak.
Air tanah yang dihasilkan sumur kami sangat tidak layak
minum. Tetapi tidak ada pilihan. Orang-orang mengatakan dulunya di tanah rumah
kami adalah bekas rawa-rawa. Sebelum aku sekolah, setiap subuh ibu menyeberang
jalan mengambil air dari sumur tua yang airnya bersih. Air itu digunakan untuk
memasak dan dimasak untuk air minum.
Ibu punya cerita mengenai sumur itu. Pada satu malam
sebelum sahur, ibu mengambil air ke sana. Saat hendak pergi, dari jauh ibu
melihat ada seseorang di dekat sumur. Ibu menjadi semakin berani karena ada
orang. Di sana ibu menimba air ke ember dan membawa pulang. Saat perjalanan ke
rumah, ibu ingat, saat hendak pergi ada orang, tapi kenapa saat sedang menimba
air, tidak ada orang. Jangan-jangan itu hantu. Ibu pun kaget dan segera berlari
ke rumah. Ember dilempar begitu saja.
Cincin sumur lama di rumah lebih lebar. Ayah berusaha
memasukkan cincin baru yang lebih kecil, dicor antara dua lapis cincin. Berharap
air sumur dapat menjadi lebih bersih. Sepertinya air tidak berubah menjadi
sebersih yang diharapkan. Namun usaha itu dilakukan ayah setelah ibu tidak mau
lagi mengambil air ke sana karena mengaku melihat hantu.
Sumur pinggir jalan tampat ibu melihat hantu itu adalah
jenis sumur yang lama. Bagian atas cincinnya diberi motif ukiran yang indah.
Ujung atas juga seperti ada topinya. Bisa buat meletakkan timba. Sekarang sumur
itu sudah tidak ada lagi. Orang dulu suka menggali sumur di pinggir jalan.
Pulang dari sawah dan ladang bisa langsung mandi sampai bersih, baru masuk ke
rumah. Dulu juga tidak semua rumah ada sumur, sehingga tetangga biasa menumpang
sumur. Sumur di pinggir jalan juga memudahkan pejalan kaki dan pedati minum
bila haus. Begitu budaya zaman dulu.
Ada dua hal penting yang sangat kuingat dengan sumur di
rumah. Pertama saat melihat pesawat biasanya aku dan kakak suka ambil kain lalu
berteriak sambil membentang kain minta adik (aku dan adik terpaut jauh; delapan
tahun). Suatu ketika kami di sumur, pesawat lewat. Kami membentang kain menutup
sumur sambil berteriak, ''Kapal, mita adik!!'' takut kalau kapal jatuhkan adik
bisa masuk sumur, kami membentangkan kain menutupi sumur.
Hal lainnya yang aku ingat terkait sumur itu adalah aku
pernah menangis sangat keras dekat sumur lalu ayah ambil ranting dipukul ke
cincin sumur. Aku menangis semakin keras. Padahal bukan aku yang dipukul. Ayah
tidak pernah memukul. Karena kalau dipukul kami bisa meninggal. Ayah orangnya
sangat kuat. Alkisah Ayah pernah mengangkat batu sangat besar sebagai
penerimaan tantangan dari temannya. Versi yang lain menyebutkan batu itu diameter
dua meter. Ayah menggulingnya. Semua yang ada di situ tercengang.
Rumah kami yang gudang itu awalnya berkamar sebelah
utara dekat dinding dapur dan kamar mandi. Kamar Ayah ranjangnya kayu warnah
hitam. Dan ranjang di kamar kami warna kuning kayu. Kata ibu, kedua ranjang itu
sudah sangat tua usianya.[5]
Bahan kayu produk lama memang sangat berkualitas. Juga ada dua lemari. Lemari
kamar ayah warna hitam, lemari kamar kami warna kuning. Bahkan lemari hitam di
kamar ayah itu masih ada sampai sekarang. Semua perabotan itu adalah termewah
di zamannya. Dibeli pada masa kakek Banta Raden sedang di atas angin. Beliau adalah
seorang paling kaya di Bireuen pada masa itu. Semua orang mengenalnya.
Ruangan yang luas dari kamar hingga ujung dinding
sebelah selatan. Apalagi bagi kesanku yang masih anak kecil. Pasti sangat luas.[6]
Belakangan ketika ayah sudah bekerja mengangkut hasil bumi, diberi pakai mobil
Chevrolet Luv oleh bosnya, Nek Bah.[7]
Orang terkaya di Matangglumpangdua masa itu. Mobil itu dimasukkan ke dalam
rumah. Tepat di tengah ruangan. Meski ada mobil, juga sebelah selatan masih
luas sekali.
Aku tidak tahu persis kapan kamar dipindah ke bagian
selatan gudang itu. Yang jelas hari pertama aku masuk MIN kamar masih disebelah
utara. Aku sangat ingat hari pertama sekolah. Aku tidak TK. Seragam pertama
adalah putuh-putih. Senin pagi. Ibu memakaikan seragam. Sangat teringat ketika
ibu menarik singlet ke bawah supaya lebih ketat setelah dimasukkan ke dalam
celana dalam. Tidak lupa minyak rambut cair yang kami sebut minyak amla ditaruh
banyak-banyak oleh Ibu serta juga bedak tebal-tebal tanda sudah mandi.
Sebelum kamar dipindah ke arah selatan, ruangan dari
kamar hingga dinding selatang kosong melompong. Tidak ada perabotan apapun
kecuali sofa coklat yang Ibu sering bilang kursi Muhammad Ali. Ternyata sebutan
itu karena dulunya kursi itu bewarna hitam seperti sarung tinju Muhammad Ali.
Aku ingat pernah memecahkan telur ayam yang sedang diperam di belakang kursi
itu. Keluar darah. Karena telurnya sedang berproses. Aku menyesal telah
membunuh calon anak ayam itu. Tapi tidak menyesal karena punya pengetahuan
baru, bahwa ternyata begitulah proses kejadian anak ayam.
Meskipun ada dua kamar, sebelum sekolah, kami sering
tidur di kamar Ayah, terutama kalau beliau ke luar kota tidak pulang malam. Aku
ingat sekali kalau menjelang subuh ada suara toa putar ngaji dari masjid di
Keude Asan, desa arah selatan setelah Paya Cut. Waktu itu belum sekolah dan
belum mengaji. Tidak tahu itu suara mengaji. Aku merasa seperti di alam lain saat
mendengarnya. Serasa hidup sendiri di dunia ini.
Hal lain yang sangat kuingat tentang dua kamar itu
adalah ayah menyimpan batu delima di lemarinya. Ada juga batu-batu lainnya. Aku
pernah melihat batu itu. Warna merah. Sangat cantik. Aku kagum. Dalam delima
ada biji seindah itu. Tapi kata ibu, satu juta buah delima belum tentu ada biji
batu. Ya. Tentu saja. Belum lagi kalau ada, belum tentu dapat sempat ditemukan
manusia. Bisa jadi yang ada batunya terbuang begitu saja. Sekarang batu itu
entah kemana. Lagipula, belum tentu itu batu delima asli.[8]
Isi lemari ayah lainnya adalah pakaian-pakaian ayah.
Beliau suka pakai celana kain yang lembut dan kemeja. Itu disetrika dan disusun
rapi rapi oleh ibu. Setrikanya merek Nasional. Dibeli dua puluh lima ribu. Kini
usianya sudah lebih tiga puluh tahun. Masih bagus. Ayah penampilannya sangat
necis meski kantongnya aku tahu selalu tipis.
Dua kamar itu disekat tripleks. Dinding bagian selatan
juga tripleks. Dinding utara adalah dinding kamar mandi yang kukuh itu. Material
rumah itu bagus semua. Lantainya juga semen padat. Tapi kami tidak buka sandal
di dalam rumah. Mungkin karena waham itu adalah gudang. juga karena dari kamar
ke dapur harus buka sandal karena aksesnya harus ke luar dulu. Mungkin juga
kemudian karena ayah memasukkan mobil ke dalam rumah. Aku sangat ingin rumah
kami buka sandal seperti rumah orang kaya. Tapi itu tinggal mimpi.
Aku dapat memaklumi. Karena lantai dapur juga banyak
bolong-bolong hingga tampak tanah sana sini. Beda dengan bagian lainnya, dapur
dibangun belakangan. Lantai sumur juga suka tergenang air. Kamar mandi tidak
beratap. Maka beredar isu ada seorang pria lajang yang suka mengintip. Tetapi
kiranya bukan masalah besar. Kami terbiasa mandi pakai basahan.
Dinding selatan rumah tembok rumah, ada jarak dengan
pagar selatan sekitar enam puluh sentimeter. Itu adalah tempat mengalir air
dari parit besar di sepanjang lorong depan halaman seberang jalan kalau hujan
deras. Kalau hujan deras, air parit besar itu selalu mengirim air seperti
banjir bandang. Airnya hanya sebagian yang berbelok ke parit jalan menuju
utara. Sisanya ke halaman rumah hingga masuk ke dalam rumah, sedikit melalui
area selatan antara dinding dan beton rumah, lalu terjun ke sawah.
Yang paling aku ingat adalah bayanganku terhadap salah
seorang anak tetangga yang melumuri induk dan dua belas anak ayam kami dengan
lem.[9]
Kuperkirakan itu dilakukan di lorong antara dinding selatan rumah dan pagar.
Kami hampir tidak pernah mengakses lorong itu. Banyak sisa lumpur bekas banjir.
Aku suka lubang-lubang yang ada di dinding bagian
belakang rumah. Lubang-lubang itu kalau pagi mengirim cahaya matahari ke dalam.
Kalau pintu-pintu ditutup, cahaya itu bisa lebih terang. Cahaya kelap kelip
karena diterpa dedaunan di belakang rumah. Kalau tidak salah di belakang rumah
ada pohon ubi karet besar. Itu adalah satu-satunya pohon di belakang rumah.
Kami berdiri membelakangi dinding depan rumah sambil
bernyanyi seperti sedang di panggung. Cahaya kelap-kelip itu membuat kami
seperti sedang tampil di Aneka Ria, program lagu anak-anak menyanyi di panggung
dengan diterpa lampu-kelap kelip.
Kalau ada ibu, itu tidak dapat dilakukan. Bukan karena
tidak suka menari-nari sambil bernyanyi-nyanyi, melainkan karena pintu
tertutup. Ibu sangat benci tutup pintu. Aku sendiri sebaliknya. Aku melihat
rumah-rumah orang kaya pintu selalu tertutup. Aku ingin rumah kami seperti
rumah orang kaya, makanya aku suka tutup pintu dan ibu sangat tidak suka itu.
Mungkin ibu tidak suka tutup pintu kecuali malam, karena
rumah kami sangat panas. Semen kasar dinding rumah sangat suka menyerap panas
matahari. Bahkan kalau musim terik, sampai jam sepuluh malam bagian luar
dinding, khususnya bagian depan masih terasa panas. apalagi rumah kami tidak
ada asbes. Bila melihat ke atas, tampak susunan kayu besar-besar yang disusun
sedemikian rupa sebagai penyangga seng.
Hanya kamar ayah
yang dibuatkan plastik pengganti asbes. Ada banyak gambar di kota-kotak di
plastik itu. Setelah kuperhatinya, hanya ada empat gambar. Selebihnya sama
dengan empat gambar itu. Aku ingat plastik itu, warnya merah jambu. Kalau
sedang rebahan di kamar ayah, aku suka mengamati gambar-gambar itu.
Aku tidak pernah
melihat tikus di rumah kami. Mungkin karena aku tidak memperhatikan hewan yang
suka bersembunyi itu. Kalau cecak banyak. Belakangan ada tokek.
Pintu depan
rumah kami sangat besar. Terbuat dari kayu, dicat merah bata. Wajar dua
pintunya besar karena itu gudang. Ayah jadi mudah memasukkan Chevrolet-nya.
Setelah ayah berangkat, pintu ditutup sebelah. Sebelahnya lagi dibiarkan
terbuka sampai magrib kecuali kami semua ke luar rumah, barulahpintu ditutp
semua. Sejak aku ingat, seng atap rumah sudah memerah. Sementara pintu belakang
yang juga bewarna merah bata namun ukuran normal, juga selalu dibuka. Berharap
ada angin dari sawah. Kalau aku mencoba menutup pintu, biar mirip orang kaya,
ibu selalu mengomel, sambil mengatakan, ''Ini rumah, bukan kuburan.''
Aku sangat ingat
dekat pintu belakang itu aku disunat. Mungkin supaya pak mantri bisa dapat
penerangan cukup. Mengerikan. Aku ingat ibu mengambil daun pisang. Kami tidak
pernah kekurangan daun pisang karena banyak tumbuh di halaman rumah yang luas.
Sebelah selatan bahkan ada setumpuk batang pisang. Di tengahnya tempat
mengumpulkan sampah dedaunan. Dibakar bila sudah banyak. Beberapa hari sekali.
Membakar dirimbunan pohon pisang itu aman. Meski dekat tanah tetanggal, mereka
tidak akan terganggu karena posisi rumah mereka masih jauh dari batas.
Antara tanah kami dengan tanah tetangga tidak ada pagar,
hanya ada beton. Sepertinya dulu pagar batas tanah kiri, kanan, dan belakang,
ada. Pagar duri. Namun sejak aku mengingat, pagar-pagar itu sudah hanya tersisa
tak beraturan di beberapa penyangga besi. Kalau ke jalan samping rumah hendak
ke timur, kami niasanya lewat samping depan dapur. Karena pagar bagian itu
sudah tidak ada lagi.
Beberapa hal yang sangat kuingat sebelum kamar di pindah
ke sisi selatan rumah adalah aku salat asar hemdak main bola. Salatnya jadi
tidak khusyu karena ingin segera main bola. Sepertinya itu paling lambat kelas
dua MIN: karena sekitar kelas tiga MIN sudah dibuat dinding tripleks untuk
kamar di selatan.
Sementara di ruang memasak air panas di atas septictank
dekat kamar ayah aku ingat di sana pernah ada ranjang besi warna biru tidak
dipakai lagi namun masih utuh. Papan-papannaya masih bagus. Dibentang sebuah
tikar. Di ranjang itu aku biasanya main menjadi sopir mobil. Kuletakkan setir
bekas (yang kelak dijual ibu dua puluh lima ribu kepada tukang loak) di sebuah
sudut ranjang. Membayangkan menjadi supir. Aku ingat Junaidi, abangnya Rahmat
Syukran, sekitar dua tahun lebih tua dariku, ikut bermain. Aku jadi penumpang.
Katanya dia sedang menjadi supir bus Palangi, armada bus terkenal di Aceh.
Aku pernah melihat penutup sumur septictank itu dibuka.
Sangat dalam. Seperti sumur biasa. Mungkin itu waktu wece dalam kamar mandi
diperbaiki sehingga tidak ada lagi wece di belakang rumah. Padahal wece itu
bisa direhab menjadi lebih baik. Namun ayah orangnya sangat paham bahwa itu
hanya rumah mertua. Satu waktu dia pasti akan pindah. Maka ayah tidak pernah
melakukan rehab rumah kecuali medesak.
Ada hal yang belakangan kuingat. Septictank itu sangat
dekat dengan sumur. Jangan-jangan itulah yang ikut berperan membuat sumur kami
menjadi kurang bagus airnya. Konsep mengatur jarak Antara sumur dan septictank
baru popular belakangan ini. Meskipun sempat wece di dalam kamar mandi beberapa
tahun tidak digunakan, tetapi air septictanknya tetap mengganggu. Apalagi
kemudian digunakan kembali. Seingatku,, waktu aku belum sekolah, wece yang
digunakan adalah yang dibelakang rumah. Sementara saat aku sekolah MIN, weceya
di dalam kamar mandi.
Ada beberapa rehab atas rumah gudang yang dilakukan
ayah. Selain menambal sumur dengan cincin baru, ayah juga pernah menimbun
halaman yang sangat luas itu. Aku ingat banyak dump truck besar datang
mengantar tanah. Itu dilakukan karena ayah perlu menjemur pinang ketika beliau
sudah bekerja dagang hasil bumi. Selain itu, ayah juga membangun sekat triplek
sisi selatan rumah yang kemudian menjadi dua kamar. Setelah kamar itu di
bangun, kamar kami dibuka sekatnya sehingga ada tiga kamar. Bagian bawah
dinding kamar baru sedikit dibeton supaya air tidak masuk bila banjir. Tapi
rupanya yang membuat dua kamar di sisi selatan rumah dengan sekat tripleks itu
adalah ibu.Ya tentu saja hasil menabung kelebihan uang belanja yang diberikan
ayah lima ribu rupiah sehari.
Sebelum kamar di sisi selatan dibangun, kami punya
tempat luas bermain di dalam rumah. Aku pernah bermain berenang bersama Rahmat
(semoga Allah menempatkan dia di tempat yang mulia di sisi-Nya). Kalau malam,
terkadang ketika memasukkan mobil ke dalam rumah, ayah membelokkannya ke sisi
selatan. Itu kurang kusukai karena paginya sebelum, ayah pergi kami merasa
kekurangan area.
Kamar milik ayah dekat kamar mandi, menurut ibu, sudah
dibangun sejak gudang dioperasikan. Para karyawan suka menginap di sana.
Menjaga barang dan hasil bumi yang dijemur di halaman yang luas, sebelum
ditumbuhi banyak pohon. Saat mula-mula ayah dan ibu tinggal di gudang itu,
kamar itulah satu-satunya kamar. Saat awal pindah, kata ibu, beliau mengalami
pengalaman menyeramkan. Kata ibu, saat tidur siang di ruang gudang yang luas
itu, beliau mendengar ada orang yang sedang bercanda di sumur. Suara mereka
jelas, ada suara sumur yang dipakai sedang menimba. Ibu memaklumi karena mungkin
ada warga yang tinggal antara sawah dan bukit jauh di belakang rumah yang
melalui lorong samping rumah masih mengira gudang itu masih kosong sehingga
masih sering digunakan untuk cuci kaki dan sebagainya. Namun karena suara itu kelamaan,
ibu pergi ke sumur untuk memeriksa. Ternyata kosong. Ibu belum punya pikiran
macam-macam karena mengira mereka sudah pergi.
Ibu tidur lagi. Rupanya ada yang menegur,''Kenapa tidur
siang-siang.''
Suara itu jelas sekali didengar.
Kemudian suara pintu depan samping pintu dapur berbunyi.
Mungkin ada orang yang datang. Ibu memeriksa. Tiba di pintu itu, malah ada
suara sandal orang berjalan dekat pintu belakang yang menghadap ke saah. Ibu ke
sana memeriksa. Ternyata tidak ada. Saat itulah ibu sadar ada sesuatu yang
tidak beres. Bulu kuduk segera berdiri. Ibu langsung lari ke rumah tetangga
yang terletak di sisi selatan. Ibu rumah tangga tetangga dipanggil Macut.
Sebagaimana umumnya tetangga seluruh dunia, Macut
mengaku sebenarnya tidak ingin berkomentar mengenai rumah kami itu. Namun,
beliau mengatakan, ibu perlu mengetahui bahwa dulu sebelum gudang itu dibangun,
di sana adalah rawa-rawa berhantu. Tidak jelas hantu jenis apa yang dimaksud.
Tidak hanya Macut, banyak warga lainnya, khususnya mereka yang pulang ke
rumahnya melalui lorong samping (sisi utara) rumah kami, juga mengaku dulu di
sana sebelum rumah kami dibangun, adalah rawa yang sangat menyeramkan.
Setelah rumah itu dibangun, belakangan tidak lama saat
aku akan sekolah, beredar isu di dinding bagian luar kamar madi, ada dua hantu.
Warga yang pulang melalui lorong itu mengaku sering bertemu. Yang satu
laki-laki kurus tinggi putih. Satunya lagi lebih pendek, lebih kekar dan lebih
hitam. (Entah kenapa tiba-tiba kok aku ingat satu di antara mereka mirip Cekmir
dan satunya lagi mirip Cekdin.)
Para warga yang pulang ke rumah melalui lorong samping
rumah mengaku bila mereka sudah dekat, dua hantu itu menghilang ke dalam
dinding kamar mandi kami. Anehnya cerita itu bukan sengaja diceritakan untuk
menakut-nakuti kami, melainkan berbagi cerita sesama mereka yang tanpa sengaja
sampai ke telingan ibu.
Ada juga yang mengaku pernah melihat sepasang hantu itu
sedang berjalan di sawah belakang rumah. Namun cerita hantu itu tidak
mengganggu kami. Lagi pula kalau takut, apa yang bisa kami lakukan? Lebih baik focus
mengurus hal-hal yang bisa kita kendalikan daripada sibuk memikirkan hal-hal
yang tidak mampu kita jangkau.
Sebelum dua kamar sisi selatan dibangun, Cekmir, adik
ibu setelah Cekdin, saat masih lajang suka di rumah. Dia orangnya sangat rapi.
Dia melipat terlebih dahulu lengan panjang kemejanya yang digantung sebelum
dipakai. Aku ingat dia mengambil alih sepatu Caterpillar ayah warna kuning
belum seminggu dibeli. Ayah terlalu keren dengan sepatu itu. Aku ingat pertama
kulihat sepatu ayah itu dipakai saat pulang ada hujan. Genangan air depan rumah
membuat ayah harus melebarkan langkah dengan sedikit melompat. Sangat keren
ketika sepatu itu sedikit membuat jipratan air. Tampilannya menjadi semakin
kerena ayah mengenakan celana jeans biru. Itu sangat keren. Sempurna.
Ayah memang sangat ganteng. Aku belum pernah melihat
laki-lagi seganteng ayah. Terakhir aku memperhatikan wajahnya yang sangat
tampan adalah bertemu di Caleu, Pidie. Saat itu ayah telah lama menunggu di
Caleu untuk memberikan uang kepadaku. Sebelum kamar sisi selatan dibangun, aku
sangat ingat Cekmir punya teman seorang tentara yang suka menginap di rumah.
Namanya Lubis. Dia diisukan sebagai oknum yang bengis. Namun tidak jelas
bagaimana konotasi itu dilekatkan padanya. Karena sejauh yang dapat kuketahui,
dia sangat ramah kepada masyarakat dan sangat diidolakan anak-anak.
Setelah dua kamar sisi selatan selesai dibangun, yakni
dengan membuat sekat tipleks dan di antaranya dibuat sekat tripleks lagi
sehingga menjadi dua kamar, sementara kamar kami tripleknya dibuka. Kemudian
kami pindah ke kamar baru bagian belakang. Sementara bekas kamar kami kemudian
setelah meja makan dibeli, ditaruh di sana. Kamar pertama bawaan sebelum kami
pindah, kosong. Setelah Cekmir nikah, dia pernah tinggal di sana bersama
istrinya. Tapi tidak lama.
Sepertinya kamar baru itu dibuat saat aku kelas dua MIN.
Kelas tiga, adik, Mahathir, lahir, kamar baru itu sudah ada. Ayah tetap
memasukkan mobil ke dalam rumah.
Aku dan kaka sekamar. Kali ini kami punya ranjang
masing-masing. Ranjangku besar. Kalau tidak salah itu ranjang yang sebelumnya
ditempatkan di ruang dapur kayu di atas septictank. Sementara ranjang kakak
sebelumnya ditaruh belakang rumah, tidak dipasang.
Saat Mahathir lahir, aku ingat dia pernah ditidurkan di
ranjang kakak. Aku membeli seuah mobil mainanuntuknya. Senang sekali bisa punya
adek. Tapi aku ditertawakan karena mobil kubeli untuk adek itu modus, padahal
untuk diri sendiri. Sebenarnya tidak demikian, aku mengumpulkan uang lama untuk
membeli mobil itu. Untuk adek. Aku tidak tahu kalau kita punya adek, dia akan
sekecil itu saat baru lahir. Waktu itu aku mengira, seorang adek bayi yang
lahir, sudah bisa diajak main mobil-mobilan.
Aku sangat ingat ada banyak tokek di dalam rumah. Suatu
hari, seorang anak muda tetangga yang tinggal jauh di lorong samping utara
rumah, datang. Dia melihat banyak tokek dan bernafsu membunuhnya. Dia ambil
balok penyangga pintu besar. Dihantamnya tokek yang sedang di dinding kamarku.
Berdarah dan jatuh ke atas tempat tidurku. Aku sangat geli. Selalu berusaha
tidur menjauh dari bekas tokek itu jatuh. Meski seprai sudah diganti, aku masih
geli. Suatu malam aku bangun ternyata kepalaku tepat di bekas tokek itu jatuh.
Aku jadi geli dengan kepalaku sendiri. Makanya kalau membenci sesuatu jangan
berlebihan. Nanti bisa menghampiri.
Antara kamarku dan kamar ayah ada akses. Mungkin supaya
ibu mudah mengawasi kami. Aku hampir tidak pernah ke kamar ayah. Segan.
Meskipun keuangan terbatas, tetapi pekerjaan ayah menuntutnya harus punya
telepon. Ayah perlu menelepon rakannya di tempat-tempat yang jauh di berbagai
pelosok untuk menanyakan apakah ada barang (pinang) yang dapat diangkut. Maka
ayah memasang telepon. Dari Matangglumpang dua saat itu, sampai depan rumah kamilah
dipasang tiang telepon. Itupun karena ayah memesan. Kalau tidak, tiang itu
tidak sampai di sana. Karena halaman kami sangat luas, maka perlu ditampah satu
tiang di halaman, karena jarak ke jalan terlalu jauh. Aku ingat pertamanya tiangnya warna seperti
karatan besi. Lama kemudian dicat putih-hitam dan dibubuhi logo Telkom warna
biru.
Pasang telepon dapat buku Yellow Pages. Tiap tahun ada edisi baru. Aku dan kakak sering iseng
memakai telepon. Minta nomor telepon kawan yang punya telepon. Janjian
menelepon jam sekian. Lalu mengobrol yang tidak penting karena tujuannya hanya
ingin menelepon dan berbicara melalui telepon. Sampai sekarang aku masih ingat
nomor telepon kami. Karena ulah kami, ayah membeli alat kunci tombol telepon. Ada
gembok kecil.
Setiap hari ayah meninggalkan uang lima ribu rupiah
kepada ibu untuk berbelanja semua kebutuhan dapur kecuali beras. Akulah yang
dapat tugas pergi belanja. Uang sisa kukembalikan. Nah, ibu orangnya sangat
hemat. Dari sisa belanjaan itulah ibu membeli semua perabotan dan alat
elektronik di rumah. Kecuali tivi.
Nantinya rumah dipenuhi perabotan dan berbagai
elektronik. Elektronok pertama di rumah adalah kipas angin pitih-hijau yang
dibeli sendiri oleh ayah. Kemudian beliau membeli tape kompo merk Digitec. Tape
itu sangat bagus. Bertahan puluhan tahun. Sebelum itu, sepertinya ayah pernah
membeli beberapa radio. Ayah sangat suka membongkar barang-barang. Radio yang
tidak rusak, suka diotak atik. Kalau rusak, nanti dihantar ke ahlinya di pasar.
Pernah ayah memodifikasi dinamo sepeda menjadi sumber
energi elektronik. Suatu pagi, ayah pergi dini hari ke Medan. Ibu yang
penasaran bagaimana dinamo itu bekerja, coba mempretelinya. Ibu kesetrum.
Sangat parah. Aku dari atas ranjang di dalam kelambu sempat melihat ibu terduk
lama suatu subuh. Tapi tidak tahu apa yang terjadi. Sepertinya saat itu aku
belum sekolah. Kami masih tidur di kamar ayah sisi utara.
Saat ayah pulang Dan tahu apa yang terjadi pada ibu,
ayah sudah mulai menyimpan bagus barang-barang yang dipreteli. Lagi pula kalau
kami yang tertimpa masalahnya, bisa lebih gawat.
Aku juga pernah tersengat listrik pada colokan. Saat itu
aku disuruh tidur siang. Tapi tidak bisa (aku memang tidak pernah mau tidur
siang karena memang tidak bisa tertidur). Aku bosan berbaring. Maka di sana ada
sebuah paku besar. Aku masukkan ke salah satu lubang colokan. Tidak terjadi
apa-apa. Aku heran. Bukannya paku itu besi. Kenapa tidak tersengat listrik?
Apakah aku manusia ajaib? Aku sangat heran. Kumasukkan ke lubang satunya lagi.
Maka seketika aku tersetrum. Untung saja tidak mati. Kalau saja aku mati saat
itu, tentu saja tidak akan ada buku Filsafat
Terakhir, Tasawuf Terakhir, dan Teologi
Terakhir.
Saat itu aku sudah sekolah. Sudah ada tivi di rumah.
Ayah membeli tivi karena ibu bercerita, kalau aku dan kakak ke rumah tetangga
samping selatan rumah, menumpang nonton tivi dari balik pintu, kalau ketahuan,
anak bungsu tetangga (seusia kakak) bersama kakanya, menuutup pintu. Biasanya
setelah pintu ditutup, kami mengintip dari balik jendela. Lalu bila ketahuan
masih ada kami di balik jendela, maka jendela juga ditutup. Jadilah mereka
menonton tivi seperti menonton bioskop. Kamu pun pulang dengan sedih. Itu
berlangsung sering dan lama.
Setelah ayah beli tivi, dari mengumpulkan sisa uang
belanja, ibu membeli (sepertinya kredit) lemari tivi. Warna putih. Ada dua
tingkat. Bagian atas tempat taruh tivi. Ada kaca. Bagian bawah sedikit lebih
kecil. Ada kaca juga sedikit. Sebelum dibeli parabola, aku suka melatakkan
sandar bagus (sandal ke pasar, bukan sandal di rumah) di rak bawah. Pada rak
atas, bila ditutup, tivi hanya terlihat melalui kaca, separuh bagian atas. Tivi
pertama kami enam belas inci. Entah karena takut tivinya kena debu, atau karena
kami suka otak-atik tivi tanpa perlu, maka ibu meletakkan balok di bawah tivi
supaya tivinya lebih tinggi. Sehingga tampak keseluruhan melalui kaca bila
pintu lemati tivi dututup.
Suatu kali, karena baloknya tidak seimbang, saat pintu
lemarinya sedang terbuka, tivinya jatuh. Ayah mengomel menyindir kenapa ibu
letakkan pha geuleungku (dudukan
parutan kelapa) di bawah tivi. Seingatku tivi pertama kami itu enam belas inci.
Selebihnya, selain tivi, kipas angin, dan tape kecil Digitec, semuanya dibeli
ibu dengan cara mengkredit (angsuran).
Dibayar perbulan dari sisa uang belanja yang hanya lima ribu rupiah
perhari.
Hal yang paling kuingat di kamar ayah sisi utara adalah:
ibu yang terduduk lama setelah tersetrum listrik. Kemudian aku yang mendengar
suara ngengaji dari masjid Keude Asan setiap terbit fajar dan pikiran jadi ke
mana-mana. Lainnya adalah ibu yang memakaikan pakaian saat aku hendak sekolah
MIN hari pertama: menarik singlet yang telah dimasukkan ke celana dalam menjadi
lebih ketat. Pakaiannya seragam putih-putih. Hari Senin. Kamudian empat gambar
di kotak-kotak asbes plastik yang kutatap saat berbaring siang.
Seingatku, ayah pernah membeli setrika. Merk Nasional. Tahan
hingga puluhan tahun. Waktu itu dibeli sekitar tujuh puluh ribu rupiah. Sangat
mahal pada masanya. Ayah juga pernah membeli spring bed. Itu dekat waktu kakek
Banta Raden meninggal. Harganya dua juta rupiah. Sangat mahal pada masanya. Tapi
masih tahan hingga kemudian puluhan tahun. Bagian atas dan bagian bawah
springbed sudah dipisah. Satu buat aku, satu buat Mahathir. Aku ingat Cek Din
yang waktu itu tinggal di kamar sisi utara juga membeli spring bed. Kami
melemparkan diri ke atasnya dan sangat sakit. Dia membeli harga empat ratus
ribu. Kami pikir sama empuknya dengan punya ayah. Springbed ayah beli itu, pada
suatu ketika di Bireuen banjir akibat irigasi jebol, mengambang seperti perahu.
Spring bed itu dibeli saat kami hampir pindah ke
Bireuen. Kalau tidak salah aku sudah MtS di pesantren. Saat itu ekonomi ayah
sudah membaik. Sebelumnya, ibu sudah membeli tempat tidur warna putih dengan
motif angsa warna pink. Itu sewarna dengan lemari pakaian tiga pintu dibeli
kemudian, yang sama-sama dikredit ibu secara berurutan.
Ayah juga pernah membelikan kami gamebot warna putih. Merek
Mr. Bego. Itu kualitas bagus. Tahan beberapa tahun. Aku dan kakak berbagi jatah
bermain. Gamebot itu bisa bicara. Mode mainan susun bata. Kalau berhasil
memecahkan baris, gamebot akan berkata, “Boleh juga loe”. Kalau kalah, dia akan
berkata, “Bego loe.” Megingat ayah yang suka menerapkan disiplin, membeli
gamebot buat kami, itu sesuatu sekali. Sama seperti springbed, gamebot dibeli
di Medan. Itu dibeli sekitar aku kelas tiga. Gamebotnya bisa bicara. Padahal
kami menginginkan gamebot seperti punya teman-teman: bisa aneka permainan seperti
perang pesawat tempur dan sebagainya. Gamebot kami hanya bisa main susun bata.
Tapi kelebihannya ya tahan lama.
Ibu juga mengkredit parabola. Itu dibeli karena aku
menangis keras. Pergi menonton parabola ke rumah yang memiliki itu, jaraknya
sangat jauh. Bahkan ada yang ambil tiket: bisa pakai uang, pakai gambar, pakai
guli, bahkan pakai mainan dari bungkusan rokok. Itu di rumah warga Seuneubok
Aceh. Anaknya pandai berbisnis. Mingkin sekarang sudah menjadi pengusaha
bioskop.
Kalau tidak salah, parabola dibeli empat ratus atau
tujuh ratus ribu rupiah. Atau empat ratus menjadi tujuh ratus karena dikredit?
Perjuangan ibu luar bisa. Padahal itu dibayar dengan sisa uang belanja yang
hanya diberi lima ribu rupiah sehari.
Dengan parabola, aku bisa menonton banyak film. Hari
Minggu, sejak subuh hingga siang banyak sekali film. Aku sangat suka Minggu
pagi. Indahnya seperti di surga. Indah sekali. Setiap minggu pagi bangun tidur
setengah tujuh, aku langsung menyalakan tivi, ambil bantal dan berbaring
didepannya. Ada Remi, Chibi Maruko Chan, Sailor Moon, Ikkyu-san, Doraemon,
Dragon Ball, Power Rangers, Wiro Sableng, Si Buta dari Gua Hantu, Renegade, dan
lainnya. Sejak subuh aku sudah tidur di depan tivi. Baru bangun menjelang jam
dua belas siang. Receiver parabolanya bermerk Dast. Remi, Ikkyu-san, Sun Goku,
mengajarkan kami untuk menjadi anak yang mandiri, tidak mudah menguluh, dan
menjadi pejuang tangguh.
Sebelum ada parabola, aku ingat sebelum subuh menonton
Piala Dunia. Ada Brazil melawan Rusia, Italia melawan Norwegia, Kamerun melawan
Rumania, dan lainnya. Aku tidak membunyikan sura. Tivi kunyalakan senyap. Kalau
ketahuan, bisa gawat. Aku kecewa Maradona dipaksa keluar. Aku suka Maradone
setengah mati. Pernah menyisakan jajan untuk membeli kaos bola nomor sepuluh.
Karena suka Maradona, hingga kini favoritku tim Argentina. Tapi tidak suka
Messi meski skilnya kuakui. Selanjutnya Maradona tiada, aku cari alternatif. Roberto
Baggio boleh juga. Aku suka gaya rambutnya. Sangat sedih dia gagal penalti.
Jadinya Italia adalah favorit kedua. Maradona dan Baggio sama-sama nomor
sepuluh. Maka aku beli seragam bola nomor sepuluh. Aku ingin di atas nomor ada
nama Maradona. Tapi Malet, adik ibu, membuat namaku sendiri. Jadinya aku
terkenal di pasar ikan. Pembeli lain dipanggil kak, bang, sementara aku
langsung dipanggil nama.
Lemari tivi, sebagaimana yang kukatakan tadi, dibeli ibu
harga tujuh puluh ribu. Itu sangat bagus. Model biasa sekitar tiga puluh lima
ribu. Aku lupa apakah itu dikredit juga. Sepertinya sistem tiga atau empat kali
bayar.
Dimulai dari kamar kami yang sisi selatan bagian
belakang (timur), ranjanku besar tilamnya dua. Sepertinya ranjang sebelumnya di
ruang septictank atau tempat dapur kayu. Di sisiku, kakak pakai ranjang kecil.
Dulu itu biasa dipakai Cek Mir yang diletakkan di ruang utama gudang. Cek Mir
kalau tidur sangat tenang (tidak lasak, tetapi sedikit mengorok). Kalau tidur
dia ikat kaki dan kepala pakai kain batik. Tegak hingga bangun. Sekarang dia
sudah meninggal. Dia orangnya sangat dermawan. Tapi saying kurang bisa hidup
hemat, sehingga kehidupannya tidak sebaik Cekdin.
Lemari hitam yang dulunya di kamar sisi utara dipindah
ke kamar baru kami. Ibu pernah mengganti cerminnya di pintu lemari itu. Aku
memecahkannya saat sedang narsis. Aku ketakutan. Aku dan kaka berbagi lemari.
Kamar baru kami di sampingnya kamar ayah dan ibu. Disekat tripleks. Dua kamar
itu dibangun ibu. Sepertinya ada kontribusi uang ayah. Seperti biasa, asbesnya
plastik. Kini warnanya biru. Empat gambar berbeda, selainnya identik empat
gambar itu. Ada pintu akses antara kamar kami dan kamar ayah.
Kalau ayah keluar kota, aku tidur di kamar ayah bersama
ibu dan kakak. Ranjang ibu putih motif angsa warna pink. Indentik dengan warna
lemari di kamar ibu, lemari tiga pintu tanpa cermin. Keduanya dikredit ibu. Aku
tidak tahu harganya. Pasti mahal. Itu sebelum ayah membeli springbed. Ibu ambil
kredit yang dibayar dari sisa uang belanja lima ribu rupiah. Ada satu buah meja
dan satu buah kursi di kamar ayah. Sepertinya itu meja sudah ada sejak di kamar
sisi utara. Meja itu bahkan dibawa ke Bireuen saat pindah. Saat di Bireuen aku
ingat meja itu bagian bawahnya ada penyimpanan rahasia. Aku mengetahui ayah
menyimpan rokok di sana. Waktu itu aku kelas tiga MTs. Ayah kalau beli rokok
satu selop. Kucuri sebungkus. Alhamdulillah tidak ketahuan. Tidak kucuri lagi
karena tidak ketahuan itu cuma sekali. Kalau berkali-kali pasti ketahuan. Aku
bisa dihajar.
Ketika kamar pindah di sisi selatan, ayah kalau pergi
kadang-kadang meninggalkan uang dikantong. Sepertinya itu disengaja untuk
tambahan uang belanja ibu. Kalau ayah sudah pergi, aku ambil seratus dua ratus
rupiah, tidak akan dipersoalkan. Satu waktu kukira ayah sudah pergi. Rupanya
belum. Kuambil lima ratus. Aku diikat di pohon mangga sisi selatan depan rumah.
Setelah ayah pergi, ibu datang untuk melepaskan. Rupanya ikatannya tidak kuat.
Belum ibu datang, talinya sudah lepas. Tapi aku pura-pura belum lepas supaya
tidak meninggalkan unsur dramatik. Aku ingat waktu itu hari masih gelap. Saat
itu ayah sering berangkat setelah salat subuh. Sepertinya akan ke
pelosok-pelosok untuk mencari dan membeli pinang dari tengkulak-tengkulak di
pedalaman. Waktu itu ayah bekerja kepada Nek Bah, tauke terkaya di Peusangan.
Tahun sembilan puluhan saja, gambar rumahnya saja harga dua puluh lama juta
rupiah. Waktu itu, harga rumah saja dua puluh lima juta sudah termasuk mewah.
Kata temanku, tivi di rumah Nek Bah sebesar pintu.
Sepertinya, mulai dibangun dua kamar sisi selatan aku
kelas dua MIN. Aku ingat adikku Mahathir lahir di kamar ayah sisi utara yang
kemudian menjadi kamar ketiga. Menjelang siang sebelum kelahiran Mahathir, aku
dan nenek (kupanggil mami, ibunya ibu) pergi ke Blang Pala, dua kilometer ke
selatan, kemudin masuk ke dalam sekitar empat kilometer untuk mencari dukun
beranak yang delapan tahun sebelumnya juga menangani kelahiranku. Kami pergi
dengan sepedaku bermerek Cenkifa, dibeli baru melalui orang yang dipanggil ibu Bang
Hasyem, kakek yang merawat Rahmat Syukran. Rumah kakaknya rahmat itu sekitar
dua ratus meter (dua raturmeter dulu seperti seribu meter sekarang) belakang
rumah kami. Diakses melalui lorong samping rumah kami. Tujuh puluh ribu rupiah
harganya.
Aku ingat Bang Hasyem membawa pulang sepeda kami dengan
cara mengayuhnya, sambil membawa sepedanya sendiri dengan cara dipegang
setangnya. Bang Hasyem adalah distributor kerupuk melinjo. Dia juga agen sepeda.
Dia orang Pidie. Ibuku suka menyebut asal daerahnya kalau hanya memberi sedikit
penurunan harga saat membeli kerupuk melinjo.
Sepeda Cenkifa dibeli setelah aku menangis sangat parah.
Level empat. Ukurannya terlalu besar buatku yang waktu itu kelas dua MIN.
Mungkin maksud ayah supaya ibu juga bisa menggunakannya. Sepeda satunya lagi
dibeli sekitar dua tahun kemudian. Aku yang meminta. Ingin punya sepeda
bergigi, sepeda gunung. Ayah membeli sepeda perempuan (palangnya miring ke bawah).
Padahal aku minta sepeda jenis laki-laki (palangnya vertikal di atas). Tapi engkol
roga gigi depan dua. Padahal inginnya engkol roga gigi depan tiga. Engkol roga
gigi belakang lima, padahal inginnya enam. Ayah paham bahwa anak-anak akan
bahagia kalau dibelikan yang diminta meski detailnya ttidak sesuai keinginan. Lagipula,
nanti akan hanya digunakan untuk kebutuhan, Merek sepeda itu Olympic, sangat
bagus kualitasnya. Tetapi aku masih penasaran denga sepeda gunung yang
kuinginkan. Hingga nantinya kelas tiga MTs kurakit sendiri. Kubeli second dari
hasil menabung. Warnanya entah apa, kucat mewah, warna kesukaan. Kubangun
sedikit-demi sedikit. Penuh perjuangan. Akhirnya, tidak juga sempurna
sebagaimana kuinginkan.
Kalau kupikir-pikir, sepertinya sepeda Olympic itu
dibeli buat kakak, meski aku yang meminta. Ukurannya lebih besar dari Cenkifa.
Itu sepertinya juga supaya ibu mudah menggunakan. Dan memang yang pakai sepeda
itu nantinya adalah kakak. Sementara aku masih pakai Cenkifa. Kalau
kupikir-pikir, aku kecewa. Padahal aku yang menangis untuk sepeda itu dibeli. Menangis
level tujuh. Itu adalah menangis level kedua tertinggi. Level tertinggi
menangis karena sesuatu yang meninggalkan luka seumur hidup.
Ibuku adalah perempuan paling hebat dan paling hemat
yang pernah kulihat. Beliau mengkredit semua perabotan rumah dari sisa uang
belanja yang lima ribu rupiah. Kalau tidak salah, harga sofa yang dikredit
adalah empat ratus ribu. Sofa yang dibeli sangat mewah. Warna abu-abu. Terlalu
mewah untuk kondosi rumah seperti rumah kami. Ayah tidak suka membeli
perabotan. Tetapi sangat suka menggunakan. Setelah ada sofa, ayah suka tidur di
atasnya untuk menonton televisi. Perabotan biasanya dikredit di Bireuen. Jelita,
Arjuna, dan Srikandi adalah toko perabotan langganan. Beberapa toko itu masih
bertahan puluhan tahun kemudian. Sofa kami yang dikredit ibu bewarna abu-abu.
Aku ingat Miz, anak tetangga yang juga kerabat jauh ayah, suka melompat di atas
sofa itu. Betapa terkejutnya aku saat kerumahnya, dia marah sofanya kunaiki. Padahal
sofa dia sudah dimakan usia.
Ibu juga mengkredit meja makan. Kursinya ada enam. Sama
seperti sofa, termasuk yang kualitasnya di atas rata-rata. Meja itu diletakkan
di posisi bekas kamar kami yang di sisi utara. Bersebelahan dengan dapur yang
diakses dengan cara harus ke luar dari pintu ukuran norman di sisi utara.
Berbeda dengan sofa yang bertahan hanya beberapa tahun, meja makan bertahan kemudian
hingga puluhan tahun.
Di meja makan itu kami punya banyak kenangan, khususnya
saat bulan Ramadhan. Saat itu, banyak sekali makanan dibuat ibu. Banyak juga
minuman aneka jenis. Pagi harinya sebagian besar dibuang ke belakang rumah
karena tidak habis. Ibu terus membudayakan surplus aneka makanan dan minuman
bulan puasa. Sayang sekali kami setiap habis magrib diusir ke meunasah. Padahal
seharusnya kami bisa membantu menghabiskan makanan dan minuman yang banyak itu.
Kalau bukan bulan puasa, kami juga tidak boleh ada di rumah. Mengaji! Ke tempat
rumah siapa saja yang ada mengajar mengaji. Bahkan saat tidak ada yang mengajar
mengaji, Kakphon, tetangga ibu yang berumah di lorong depan rumah yang sering
disebut Urong Pisang Bue, yang bukan pengajar mengaji juga mengajar kami
mengaji. Pokoknya tidak boleh di rumah.
Ibu juga mengkredit lemari hias. Warna coklat. Sangat
bagus. Bertahan kemudian puluhan tahun, meski sudah pernah mengalami satu kali
perbaikan ulang. Saat pindah ke Bireuen, lemari itu kugunakan untuk mengoleksi
buku hingga mengisi seluruh lemari. Bagian bawahnya yang tak berkaca kuisi
majalalah-majalah, kliping koran, dan makalah-makalah yang kudapatkan dari
berbagai seminar ilmiah saat kuliah di Banda Aceh. Lemari itu bahkan bertahan
hingga pindah ke Tanjong Beuridi.
Dulu ayah juga suka mengoleksi majalah. Tempo dan Gatra.
Aku ingat, sebelum sekolah, suka membuka lembaran-lembaran majalah itu untuk
melihat-lihat gambar-gambar. Ada banyak gambar iklan mobil dan properti. Tapi
yang membuatku tertarik adalah dua gambar. Pertama adalah gambar iklan rokok
Bentoel. Ada orang sedang terbang layang. Aku suka terbang. Aku ingin terbang.
Sejak kecil aku sering bermimpi tiga hal: terbang, mengemudi mobil, dan
berbicara bahasa inggris dengan lancar. Gambar satunya lagi adalah pilot sedang
di kokpit.
Berarti ayahku punya wawasan luas. Bacaannya Tempo dan
Gatra. Ayah juga sekali-kali kulihat membawa pulang koran Kompas. Wah. Beliau paham sekali politik. Ayah pernah bilang, aku
menguping tak sengaja, kepada seseorang bahwa jangan pernah melakukan tindak
kriminal. Polisi sudah tahu itu sejak kamu punya niat. Aku percaya itu. Polisi
punya ilmu forensik.
Sepertinya perabotan di dapur sudah kuceritakan. Ada
pemarut kelapa. Saat ibu memarut kelapa, aku suka naik di belakang. Itu seperti
naik sepda motor. Kendaraan itu sangat asing bagiku. Ayah tidak pernah mau
membeli sepeda motor.
Aku ingat ada dua kompor Hock, kompor minyak tanah. Kardus
kompor itu pernah kuingat diletakkan di atas lemari dapu (kami menyebutnya mari makan). Sering sekali aku membca empat huruf HOCK
ukuran bersar di dalam kotak. Di samping kanannya agak ke atas ada tanda ®.
Sepuluh tahun kemudian aku mempercatai bahwa tanda itu artinya right, yang berarti kanan, karena tanda
itu berada di sebelah kanan. Lima tahun kemudiannya lagi, aku masih meyakini
tanda itu tetap simbol untuk right tapi
kali ini maknanya adalah bukan untuk kanan tetapi untuk hak. Right berarti hak cipta. ® Berarti itu
adalah sebuah merek dagang.
Aku pernah memasak menggunakan Hock saat pulang sekolah
ibu sedang tidak ada di rumah. Ibu tidak ada di rumah itu sangat jarang.
Rupanya posisi tempat sumbu terperosok ke tempat minyak. Kompor terbakar. Api
membesar. Aku ke warung seberang jalan ke kios Silek. Dia datang membasahi goni
yang terletak di depan rumah yang biasanya dipakai untuk keset kaki. Lalu Silek
mengangkat kompor yang sedang terbakar ke luar. Api dipadamkan. Aku belum
makan. Sida, ibunya Miz mengajak ke rumahnya dan aku makan di sana. Makan
sangat sedikit. Aku benar-benar tidak suka maka di rumah orang. Ibu mengesankan
makan di rumah orang adalah pantangan.
Lemari di dapur yang disebut lemari makan umurnya sudah
sangat tua dan masih ada sampai puluhan tahun kemudian dan dibawa serta hingga
ke Tanjong Beuridi. Sudah ada sejak Cek Mir masih kecil. Di lemari itu aku
sangat ingat pernah membukanya di dalam nasi sudah naik cecak. Aku sangat malu
karena saat itu sedang bersama Saf, teman sekolah semeja di MIN selama enam
tahun. Kata dia, nasi tidak bisa di
makan lagi. Di mulut cecek ada nasi. Aku tidak sempat melihat mulut cecak.
Di lemari itu, aku ingat pada rak paling atas, ibu
menyimpan susu SGM buat adik, Matathir. Aku pernah mencuri susu dia sesendok.
Minis, enak luar bisa. Tapi tidak boleh mengulangi. Pencurian berulang pasti
akan ketahuan. Sebelum aku sekolah, ayah juga pernah membeli Ovaltine. Ternyata
warnanya coklat seperti Milo. Enak sekali. Sayangnya ibu membuatnya terlalu
encer supaya lama habis. Ovaltive dibeli setelah aku meminta sambil menangis.
Menangis level dua.
Dua meja tidak menarik ada di dapur. Berjajaran di dinding
sebelah barat dekat sumur. Satu tempat kompor, satunya lagi tempat menaruh
makanan setelah dimasak sebelum dimasukkan ke lemari makan. Dapur kami sangat
kotor. Benar-benar membunuh selera makan. Apalagi got melewari bagian dalam
dinding dapur sebelah utara. Air got menghitam karena aliran tidak pernah lancer
melewati dapur. Memang ditutp papan, tetapi baunya tidak dapat dihindari.
Papannya juga menghitam dan menjijikan.
Di dapur ada sebuah kursi bambu panjang di dinding
sebelah selatan arah menuju sumur. Aku suka duduk di situ bila ibu sedang di
sumur. Pernah suatu kali, usia sebelum sekolah, aku mendengar sebuah ledakan
keras. Sepertinya suara ban mobil pecah. Aku membayangkan bumi ini
jangan-jangan seperti sebutir tepung yang ada di dalam semesta seperti ban
mobil. Melayang layang di angkasa setelah ban mobil alam semesta meledak. Puluhan
tahun kemudian aku mengetahui teori bigbang. Aku tidak percaya dengan teori
itu. Memercayainya sama saja seperti memercayai hayalan konyol seorang bocah
belum sekolah.
Sebelum sekolah aku sudah mengaji di sebuah rumah rumah
sekitar empat ratus meter dari rumahku. Belakang rumah Saf. Kata guru mengaji,
Tuhan harus lebih dicintai, kemudian guru mengaji, kemudian baru ibu. Ajaran
itu tidak dapat kuterima sama-sekali. Bagaimana bisa ibu yang sangat
menyayangiku tidak boleh lebih kucintai daripada Tuhan yang entah siapa, tidak
kukenal. Bagaimana bisa perempuan tua: bukan saudara, bukan kerabat harus lebih
dicintai daripada ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan cinta kasih.
Karena dia mengajar mengaji? Bukannya setiap bulan dia dibayar.
Belakangan kulihat seekor induk lembu bersama seekor
anaknya yang masih kecil diangkut di bak sebuah truk. Aku memerhatikan induk
lembu itu dengan sangat khawatir mengawasi anaknya yang masih sangat imut,
lugu, dan polos itu. Terbesit di pikiranku bahwa kasih sayang lembu itu adalah
manifestasi kasih sayang Tuhan. Akhirnya aku sadar bahwa seluruh kasih sayang,
perjuangan, dan cinta kasih setiap ibu adalah manifestasi kasih sayang Tuhan.
Aku jadi sadar bahwa arahan guru mengaji bahwa Allah harus lebih dicintai
daripada ibu adalah benar.
Guru mengaji yang
telah mengajari mengenal huruf hijaiyah sangat besar jasanya. Dengan itu aku
bisa mengaji, bisa membaca kitab dan seterusnya. Satu huruf dibaca dari
Al-Qur'an sangat banyak pahalanya. Apalagi beberapa lembar mushaf. Dengan
kemampuan membaca dan menyimak syarah kitab, aku dapat memeroleh sejuta
pengetahuan. Semua kebaikan itu mengalir kepada guru mengaji alif, ba, ta. Tetapi pernyataan bahwa
guru mengaji harus lebih dicintai daripada ibu sendiri belum bisa kuterima.
Aku sangat suka memerhatikan ibu membersihkan ikan. Ibu
sangat lihai urusan itu. Pernah di sebuah daerah luar Aceh, ibu membersihkan
ikan dengan cara yang biasa dilakukan di rumah. Orang-orang lainnya heran
karena ibu telah membuang sangat banyak organ dari ikan. Tetapi kesukaan ayah
seperti itu.
Saat ibu membersihkan ikan aku suka sekali bertanya.
Bertanya tentang banyak hal dan terus-menerus bertanya. Kadang-kadang ibu
menjadi kesal.
Ke kota Matangglumpang Dua aku aku selalu pergi untuk
membeli ikan dan beberapa belanjaan. Disuruh ibu setiap hari. Aku harus sudah
bisa membaca sebelum sekolah MIN. Aku tidak sekolah TK. Waktu itu, TK hanya
untuk anak orang kaya. Untung kakakku mengajariku membaca. Dia setahun lebih
tua daripada aku. Aku harus sudah bisa membaca karena harus mengetahui daftar
belanjaan. Usia empat tahun aku menyerahkan menu belanjaan pada penjual. Usia
empat tahun, meski belum bisa membaca, di daftar pertama catatan belanjaan aku
tahu itu 'ikan'. Selanjutnya berubah-ubah. Lama kelamaan aku malu kertas
diberikan kepada penjual. Akupun memaksakan diri agar bisa membaca. Itu menjadi
cepat karena ada kakakku yang mengajari, sehingga aku bisa membaca sendiri menu
bacaan.
Biasanya ibu diberikan uang belanja lima ribu rupiah.
Uang itu diserahkan untuk aku berbelanja. Biasanya harga ikan seribu. Biasanya
jumlah belanjaan tiga atau empat ribu. Sisanya lagi kukembalikan. Ibuku sangat
hemat. Hanya dengan sisa belanjaan seribu dua ribu sehari, bisa membeli banyak
perabotan dan alat-alat elektronik. Caranya dikredit, dibayar perbulan. Ibu
membeli tempat tidur, lemari, sofa, parabola, meja makan, tape, dan sebagainya.
Tivi ayah yan beli.
Tivi dibeli karena tidak tega melihat kami selalu suka
ke rumah tetangga untuk nonton tivi. Terkadang anak tetangga suka menutup pintu
rumahnya mengetahui aku dan kakak datang untuk nonton tv. Biasanya kalau
begitu, kami mengintip melalui jendela sampai ketahuan hingga jendalanya ikut
ditutup.
Tetangga sebelah kiri rumah punya banyak anak. Kalau
tidak salah dua belas. Anaknya yang paling kecil sebaya dengan aku. Salah satu
anak perempuannya yang sudah dewasa menjadi terapis. Bisa mengobati orang sakit
yang konon katanya tidak ada obat di rumah sakit. Kalau hendak praktik, dia
berubah seperti dirasuki seseorang. Suaranya berubah. Sudah seperti suara
laki-laki. Biasanya praktiknya malam. Kadang-kadang kalau ayah ke luar kota, ibu
ikut menyaksikan praktik pengobatan. Rada-rada sadar sambil mengantuk, aku
sempat mengingat beberapa kali ikut dibawa menyaksikan praktik yang dia
lakukan. Orang-orang dari tempat yang
jauh, banyak yang datang. Kabarnya praktik pengobatan itu telah sangat banyak
membantu orang.
Pernah suatu kali dia meminjam satu benda yang kami
miliki dan pajang di dinding rumah. Benda itu sangat panjang dan menarik. Sangat
besar. Dia meminjam sekitar seminggu. Kalau tidak salah membayar dua puluh lima
ribu. Itu sangat banyak buat ibu. Beliau pasti sangat senang.
Dari mana tanduk itu? Dari Jungka Gajah. Banta Leman dan
teman-temannya sering berburu.
Ada Apa di Depan Rumah?
Halamannya terlalu luas. Bangunan gudangnya terlalu ke
belakang. Berdiri melebar dari bagian utara yang awalnya ada sekitar enam meter
sisa yang kemudian dibangun dapur dan sumur hingga menjadi mentok dengan jalan
lorong di batas utara. Sementara sisi selatan hanya menyisakan sekitar satu
meter. Halaman belakang sisa sekitar dua atau tiga meter. Halaman depannya terlalu
luas. Apalagi buat kami anak-anak dulu. Sebelum berubah menjadi semacam hutan
yang ditumbuhi berbagai pohon, khususnya di sisi utara, sepertinya sebelumnya
adalah tanah yang lapang. Itu digunakan kakak dulu untuk menjemur hasil bumi
yang dibeli di rukonya di pasar, Jl. Tgk. Abdurrahman. Hasil bumi yang dibeli
biasanya adalah pinang, kopi, kacang-kacangan, biji kakao, dan sebagainya. Itu
dihantar ke gudang Paya Cut untuk disimpan dan dijemur. Nanti satu waktu
dihantar dengan mobil besar ke Medan untuk dijual. Kakek adalah salah satu
tauke paling dikenal.
Setelah kakek bangkut akibat harga hasil bumi yang
tiba-tiba jatuh, maka asetnya belasan mobil, beberapa ruko, dan beberapa set
lainnya dijual. Sepertinya kakek punya banyak urusan dengan bank. Bahkan rumah
Paya Cut sepertinya juga bersangkut dengan bank hingga pembeli gudang itu
kemudian membayar kepada dua pihak: bank dan kakek. Aku tidak tahu pasti. Yang
kuingata adalah sebum aku MIN, halaman gudang pada sisi tengahnya menjadi
semacam lorong menuju rumah. Sementara sisi utara semacam hutan. Sisi selatan
penuh dengan tanaman pisang hingga ke tempat ibu membuang sampah.
Lebih dekat ke rumah, di sisi selatan, umbuh tiga pohon
besar: mangga, jambu manis, dan satu lagi tidak ingat. Sangat rindang di
bahwanya. Usia MIN aku pernah membuat sebuah gawang sepakbola di bawahnya.
Kalau lagi sakit tidak boleh main panas, aku main tendangan penalti bersama
teman. Kami pancang dua tiang, atasnya dengan tali. Halaman rumah juga pernah
menjadi lapangan bola. Main sore bersama teman-teman. Tetapi tidak selalu. Kami
kurang suka halaman rumahku menjadi lapangan bola karena, kiri kanan banyak
tumbuhan. Maka aku lebih sering ke
belakang kios Mateh untuk main bola. Lapangan bocoh di bawah dua pohon sawo
yang sangat besar. Di sampingnya lapangan orang dewasa.
Sisi kiri di bawah tiga pohon aku ingat pernah kupas
mangga: aku ibu, dan Mahathir yang baru berusia sekitar sembilan bulan.
Matathir meraih sabit dan menghantam
sisi kanan dijadku. Lukanya dalam, tetapi darah kelur sedikit sekali. Perih
sekali karena sabitnya tumpul. Kepala pusing akibat hantaman.
Bila dekat rumah sisi kiri ada pohon jambu yang lebih
besar yang buahnya manis, di sisi kanan agak jauh dari rumah, ada pohon jambu
batangnya lebih keci, rasanya asam sekali. Tapi kalau kubayangkan sekarang, dia
sangat enak. Dekat jambu asam itulah banyak sekali pohon-pohon yang membuat
halaman rumah kami menjadi seperti hutan lebat. Dekat situ juga ada pohon
kelapa dari pesta kawin Cek Din. Di antaranya aku ingat ada pohon kemiri yang
sangat tinggi. Banyak pohon lain yang aku lupa.
Sisi kanan lebih dekat dengan rumah ada kelapa gading.
Buahnya sangat enak. Aku ingat pernah ada orangutan nyasar ke atas pohon itu.
Dia datang dari sisi kanan rumah seberang jalan lorong itu ada pohon sawo besar
sangat lebat dan horor yang kemudian ke atas nya adalah bukit sangat lebat
seperti hutan belantara. Lama kemudian aku bangga menjadi orang Sumatera karena
di hutan kami mengandung fauna paling kaya di dunia. Ada harimau, kedih,
orangutan, macan, badak, dan ratusan lainnya. Kompleksitas itu hanya ada di
Sumatera. Makanya aku tidak pernah suka orang yang suka tanam sawit.
Sebelum aku masuk MIN, dua meter dari dari rumah depan
pintu dapur ada pohon sawo sangat besar dan sangat lebat tetapi tidak horor
karena depan rumah sendiri. Kalau lagi musim, buahnya sangat banyal ada agen
yang datang mamjat petik sendiri lalu membayar. Ibu jadi punya tambahan uang
belanja. Aku ingat ayah pernah memanjatnya untuk memotong sebuah ranting yang
mengganggu seng rumah. Beliau melakukan itu sambik mengenakan handuk mau mandi.
Aku heran handuknya kencang sekali. Itu dilakukan sambil satu tangan memegang
parang pula. Tetapi batangnya bukan tegak tunggal seperti kelapa. Dari bawah
batangnya sudah bercabang banyak dengan . Batang-batang yang bercabang itu
sangat sebar-besar. Pohom itu membuat sisi utara rumah seperti dapur dan kamar
awal kami menjadi terlalu tidak panas. Seingatku, sekitar aku kelas tiga MIN,
pohon sawo itu sudah tidak ada lagi. Mungkin ditebang. Kasihan sekali. Tidak
jauh dari lokasi pohon sawo, sekitar aku kelas tiga, bilan puasa, entah pohon
sawo masih ada entah tidak adalagi, aku disuruh memanjat pohon nangka yang
belum terlalu besar batangnya, untuk memotong sebuah cabang. Saat hendak meraih
cabang itu, aku terjatuh. Perutku menimpa cabang dibawahnya. Aku pitam.
Seketika dipaksa minum air garam. Aku berusaha menolak, tetapi tubuh tidak
berdaya. Air garamnya tertelan. Aku sangat kesal dan sakit hati. Puasaku batal.
Aku tidak suka puasa sunnat. Makanya dalam kondisi apapun aku selalu memaksakan
diri untuk tidak tinggal puasa Ramadhan.
Depan rumah dekat dinding kamar baru ayah, aku tahu
banyak ditanami pohon hias daunnya mirip daun pisang warna merah tua
seluruhnya. Aku tahu itu dari sebuah fotoku sekitar kelas empat MIN. Tetapi
sepertinya saat aku sebelum sekolah sampai kelas satu atau dua, tanaman-tanaman
hias itu belum ada. Lapang saja di sana. Ibu mudah saja melangkah ke tetangga.
Kalau tidak salah, sebelum aku MIN, antara rumah kami
dengan tetangga itu ada pagar kawat duri. Perlu hati-hati melewati celah pagar yang
agak lebar. Sebelah utara menuju lorong samping rumah juga begitu. Tetapi
setidaknya aku kelas empat, pagar-pagar itu sudah hanya tinggal di sisi depan
yang jarang di datangi. Paling depan halaman yang bagiku anak kecil waktu itu
tampak sangat jauh, sisi selatannya ada gundukan. Dibuat ayah sebagai usaha
menahan air yang datang dari parit samping lorong Pisang Bue. Tapi usaha itu
gagal. Karena air bah yang datang saat hujan masuk melalui jembatan kami yang
sangat lebar.
Sisi selatan yang ada gundukan itu ditanami sayur terong
oleh ibu. Ibu suka sekali terong. Sementara tidak. Sebelum ditimbun, ayah
pernah mengubur seekor anak anjing di sana. Dia tewas tertabrak vespa di jalan.
Ayah pernah memukul Anjing itu. Dipukul karena bermain-main dengaku. Anjing itu
menggelutiku. Aku menangis keras. Anjing itu peliharaan kami. Aku tidak ingat
anjing itu. Juga tidak ingat saat dia menggelutiku. Tapi tampaknya itu adalah
anjing yang sangat imut.
Sisi utara paling dekat jalan ada pohon jambu biji di
sana. Resanya enak. Ukuran buahnya kecil. Pernah Miz mengambil buah itu bersama
temannya. Aku datang melarang mereka saat sedang memanjat. Padahal apa urusanku
jahat sekali. Mungkin dia sedang ingin berbangga pada teman-temannya bahwa kami
adalah familinya. Famili jauh. Jauh sekali. Ayah Miz. Sangat tampan. Masuk kelompok
sipil bersenjata, meninggal karena sakit di hutan. Menurut radio bergigi, dia
meninggal karena sakit. Sakit karena lama tenggelam di sungai saat menjala
ikan. Kabarnya dia terjerat jala. Setelah itu, dia mulai sakit-sakitan.
Setelah sopir dan beberapa penumpang selesai makan,
mereka kembali ke minibus. L300 itu berangkat. Kulirik Rahma di sampingku. Dia
ketiduran. Bus kembali melaju dengan kencang. Aku masih mengenang bocah nakal
di kota kecil itu.
[1] Kakek Banta Raden adalah Ayahnya ibuku.
Konon, beliau menjadi kaya karena berhutang uang Dua Puluh Lima Juta Rupiah
pada Bank BNI yang disebut Bank 46 Bireuen. Kakek punya beberapa rumah toko di
Matangglumpangdua, punya banyak mobil, punya rumah besar di Tanjong Beuridi,
punya gudang di Paya Cut, dan banyak properti lainnya. Dagang hasil bumi adalah
usaha utamanya. Tetapi kekayaannya tidak berlangsung lama. Hanya beberapa
tahun. Harga kakao tiba-tiba anjlok. Saat itu Banta Raden punya sangat banyak
stok. Ekonominya merosot dan kemudian ambruk. Kecelakan atas kendaraan-kendaraannya
juga terus terjadi. Bahkan ada mobil yang terbakar tiba-tiba saat sedang
parkir.
Hingga Banta Raden beruzlah
ke Alue Mudek, kaki Gunong Goh, Bireuen. Di sana membuka kedai di perkampungan
transmigran. Juga membeli beberapa jenis hasil bumi yang dihasilkan warga
transmigran. Suatu Hari Banta Raden didatangi tentara BKO. Dia difitnah oleh
seorang saingan usaha. Tentara memerintahkan Banta Raden memanjat atap
rumahnya. Kemudian dia dilempari dengan jantung pisang hingga terjatuh. Aku ingat
ketika Ibu mengunjungi kakek di balai kesehatan di Matangglumpangdua yang
berletak dekat Polsek Peusangan. Kakek menginap beberapa hari di sana.
Banta Raden orangnya
berpenampilan rapi. Dia juga orang berpendidikan. Sekolah di PGA Al-Muslim
Peusangan. Tetapi memutuskan untuk tidak mengajar karena gaji guru waktu itu
tidak cukup untuk makan. Teman-teman seangkatan beliau kemudian menjadi guru
pegawai negeri. Kampus Al-Muslim membuat beliau berwawasan luas dan punya
pemikiran moderat. Sebelum menjadi orang kaya, Banta Raden adalah pekerja
keras. Beliau menetap di sebuah kaki bukit untuk membuka lahan menanam kacang.
Konon aslinya beliau adalah dari Paya Ni, Peusangan. Itu arah utara Simpang
Kameng.
Banta Raden pernah menetap
di Padang Sidempuan beberapa tahun. Di sana beliau dianggap dukun atau orang
keramat karena suatu hari ada seorang anak disengat kalajengking. Beliau
mengambil belimbing kering (asam sunti) dan mengoleskan pada luka. Anak itu
segera sembuh.
Banta Raden kemudian
kembali ke Tanjong Beuridi membangun sebuah rumah berbentuk toko karena maksud
sebagai hunian sekaligus kedai. Saat sedang memasang bata bangunan baru
rumahnya, Apa Suh, adik kandungnya memanggil beliau agar dapat membantu menarik
pohon kelapa yang sedang ditebang. Rupaya ujung kelapa mengenai belia dan
meninggal di tempat. Saat itu aku kelas satu pesantren di Medan. Ayah membawa
pulang springbed bagus saat hari meninggalnya kakek. Springbed itu bertahan
hingga kemudian puluhan tahun.
[2] Sewaktu
kecil sebelum sekolah, aku selalu minta ikut tiap Ayah ke luar rumah. Satu
malam, aku minta ikut. Kata Ibu, Ayah ke WC. WC kami di belakang rumah.
Terpisah dengan bangunan rumah. Hanya dindingi terpal bekas, warna biru. Tidak
ada kloset, apalagi pipa dan septic tank.
Hanya digali sedalam satu meter. Di situlah kotoran berulat, membusuk, dan
seterusnya.
Belakangan sewaktu aku MIN, WC kami sudah diaktifkan kembali yang
di dalam bangunan rumah. Dekat sumur. Meski klosetnya ada, namun tidak mengalir
dengan baik ke septic tank yang jaraknya sekitar satu meter dari kloset.
Keberadaan septic tank itu baru
belakangan aku ketahui sewaktu pembersihan sumbatan pipa. Rupanya Mak memasak
air panas dan sop di atas septic tank. Di atas septic tank itu, dapur cadangan berbahan bakar kayu bertempat.
Dapur itu hanya dipakai untuk masak sop waktu makmeugang dan merebus air panas.
Kamar mandi rumah kami lumayan elit juga kalau aku pikir-pikir.
Selain ada bagian wece, sebelah utara ada ruang mandi, lengkap dengan bak air.
Tidak difungsikan lagi memang sejak aku ingat. Selain karena bocor, juga tidak
ada mesin pompa air. Tetapi memang sepertinya didesain untuk pengisian air
manual. Ada sedikit lubang di dinding arah cincin sumur. Melalui itu harusnya
air diisi ke bak. Tidak ada kran atau pipa air. Hanya ada tempat menampung air
di dinding untuk ditumpahkan langsung ke bak di balik dinding.
Perbaikan-perbaikan besar tidak akan dilakukan Ayah untuk rumah
kami di Paya Cut. Karena Ayah paham bahwa itu adalah milik Ayahnya Ibu.
Kalaupun diperbaiki, nantinya juga akan menjadi milik orang. Sementara Mak
tentu hanya akan kedapatan warisan sedikit, berhubung beliau adalah perempuan.
Rumah di Paya Cut sebenarnya adalah gudang yang didirikan Kakek
Banta Raden. Gudang itu dibangun untuk menyimpan hasil bumi yang dibeli dari
warga di pasar Matangglumangdua maupun menyimpan barang sembako untuk dijual di
toko-tokonya di pasar itu. Kakek Banta Raden pernah menjadi orang sangat
dikenal karena kekayaannya. Beliau punya puluhan mobil dan sekitar sepuluh toko
di Matangglumangdua. Namun sejak Mak menikah, beliau sudah bangkrut. Dagang
hasil bumi memang bisa membuat orang kaya mendadak dan tiba-tiba bangkrut.
Terkadang, berdagang itu seperti main judi. Maka harus sangat hati-hati, tidak
hanya kalkulasi matematis, tapi juga kalkulasi keberkatan.
Karena sebenarnya merupakan sebuah gudang, maka itu denah rumah
kami aneh. Pekarangan belakang hanya sekitar tiga meter. Termasuk galian wece
sebelum kembali ke wece dalam kamar nandi. Tapi halaman depan sekitar seratus
meter. Itu adalah hitunganku sebagai anak-anak. Karena sepertinya hanya sekitar
dua puluh meter. Itu didesain untuk menjemur pinang. Setelah Pak Nek bangkrut,
tumbuh banyak jenis pohon pinggir pekarangan. Bagian tengah tetap lapang namun
berumput.
Waktu aku MIN, Ayah telah berdagang pinang. Beliau memiliki lahan
luas untuk menjemur pinang. Di depan rumah. Ayah sangat baik pada tetangga.
Makanya kalau tiba-tiba hujan, tidak ada orang di rumah, para tetangga dan
pemuda yang lagi nongkrong di warung depan rumah. Meski sangat dihormati pemuda
karena sangat baik, Ayah jarang ke luar ke warung atau pergi mengobrol dengan
sesama bapak-bapak tetangga. Mungkin itu menjadi bagian hingga aku besar aku
masih terus percaya bahwa Ayah ke wece, bukan ke warung. Seingat aku selama di
Matang, Ayah tidak pernah ke warung sepulang bekerja. Pulang dari kerja, Ayah
lebih suka di rumah. Dulu membaca Koran dan majalah. Lalu setelah ada
tivi, sika menonton tivi.
Saat Ayah masuk lagi ke rumah, yang kata Mak Cuma ke wece, pria
paling tampan yang pernah aku lihat itu pulang membawa oleh-oleh roti. Aku
masih ingat itu adalah biscuit berbungkus biru, coklat ditaburi gula, berbentuk
segi empat, ada selai coklat di Antara masing-masing dua roto yang menempel. Di
lempar Ayah ke dekat aku golek-golek di atas tempat tidur. Waktu itu aku sangat
yakin bahwa roti itu benar-benar diperoleh Ayah dari dalam wece di belakang
rumah. Bahkan hingga Oktober 2016, aku tidak benar-benar percaya bahwa Ayah
keluar dari pintu belakang hanya untuk membuat aku yakin beliau cuma ke wece, supaya aku tidak minta ikut. Samping rumah
ada jalan kecil tembus hingga Lueng Kuli. Jadi, kalau keluar pintu belakang,
bisa langsung ke lorong itu dan ke depan. Lalu ke warung.
Bahkan hingga saat ini aku belum benar-benar percaya sebenarnya Ayah
bukan ke wece tetapi pergi ke warung. Hingga kini aku lebih yakin, meski
bagaimanapun caranya, roti itu dibawa Ayah dari wece, bukan dibeli dari warung.
Hingga saat ini, sangat sulit memang memeriksa secara ilmiah bagaimana
menghasilkan roti dari wece. Tetapi aku lebih percaya itu daripada Ayah ke
warung.
Aku lebih percaya kata Ibu bahwa Ayah ke WC. Meski perkataan
beliau belum dapat ditemukan akurasinya dengan logika dan sains. Bahwa Ayah ke
wece, bukan ke warung. Jadi, aku lebih percaya roti itu dari wece.
[3] Di Tepi Sungai Peusangan aku duduk menunggu dirimu. Kupikir aku
sedang duduk di tepi Sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu. Kita telah
berjanji akan bertemu di sini. Kau akan mengajakku ke sebuah tempat yang tidak
aku ketahui. Kupikir aku sedang duduk di tepi sungai Peusangan. Sedang menunggu
dirimu.
Sementara hari-hari yang kulalui setelah
itu, hingga hari ini, hanya lamunanku saja. Hanya lamunan. Sementara aku sedang
duduk di tepi sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu.
Oh. Bagaimana ini bisa terjadi? Mungkinkah
hari-hari yang kulalui setelah itu, hanya sebagai lamunan. Sementara aku sedang
berada di tepi sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu. Padahal aku sedang
duduk di tepi sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu. Itu tidak pernah
terjadi. Itu hanya lamunan. Sehingga hari-hari yang kulalui setelah itu lah,
yang benar-benar kenyataan.
Mungkin sebenarnya hari-hari setelah itu
adalah lamunan-lamunanku saja. Sebenarnya aku sedang berada di tepi sungai
Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu. Sekalipun hari-hari setelah itu adalah
peristiwa yang nyata. Namun jiwaku tidak lagi ikut bersama jasadku. Jiwaku
telah duduk di tepi sungai Peusangan. Aku sedang menunggu dirimu.
[4] Satu waktu, ibuku pernah memergoki seorang pemuda yang tinggal di
jalan samping rumah yang lebarnya dua meter tembus ke Lueng Kuli itu. Dia
mengintip ibu yang sedang mandi dengan memanjat tembok. Tembok itu memang
langsung berada di sisi jalan. Namamanya Du (disamarkan). Dia adalah pemuda
pengangguran yang putus sekolah. Hal yang paling kuingat dari dia adalah pernah
membeli sedikit bensin dimasukkan ke plastik, diikat karet, dimasukkan ke saku
depan celana. Di rumah entah kenapa dia main korek, sepertinya korek kayu,
korek itu jatuh dan membuat celana dan sekitarnya terkobar api.
Hal yang lebih akuingat dari tembok itu
adalah orang-orang selalu bercerita kalau lewat di jalan samping rumah, sering
melihat dua orang hantu. Yang satu agak pendek dan agak gemuk. Satunya lagi
agak tinggi dan agak kurus. Kalau ada orang, semakin didekati, mereka menempel
ke dinding. Pernah juga ada yang menagatakan dua hantu itu sedang berada di
sawah, datang dari hutan dan yang berada di ujung persawahan. Sepertinya hantu
tersebut berasal dari hutan itu.
Hutan dimaksud dijangkau melalui pematang
sawah. Ujung hitan yang berdekatan dengan sawah adalah kebunnya Usam. Beliau
adalah orang kaya di Paya Cut. Di kebunnya itu banyak pohon kelapa. Para lelaki
yang tidak punya pekerjaan tetap suka bekerja jasa dengan memetik, mengupas dan
menjual kelapa dari kebun Usam. Sepertinya Usam adalah pensiunan pegawai
negeri.
[5] Aku suka sekali ranjang
Ayah dan ibu, ada tempat penyimpanan dua pintu di bagian kaki. Ukurannya
seperti satu tingkat lemari. Biasanya Ayah suka meletakkan majalah di situ. Ayah
suka sekali membeli majalah Tempo. Aku suka menggunting gambar menarik di
majalah itu. Sayang sekali. Padahal majalah-majalah itu kalau dikoleksi bisa
menjadi benda legendaris.
Aku ingat Ayah
sering membawa pulang majalah Gatra dan Tempo dan koran Kompas. Ayah suka
sekali mengamati perkembangan politik. Itu dilakukan sejak masih lajang. Kata
orang di Jungka Gajah, waktu lajang Ayah suka membawa radio kemana-mana.
Sebagaimana pemuda lajang lainnya, beliau tidur di menasah. Jangan-jangan
namaku juga diinspirasi dari nama tokoh politik Philipina. Sementara nama
adikku terispirasi dari nama tokoh politik Malaysia.
Aku juga suka
ranjang kami. Di bagian kepala ada dua laci penyimpanan berpintu di sisi kiri
dan kanan. Sementara di tengah adalah penyimpanan terbuka. Di laci sebelahnya, Kakak
suka meletakkan buku. Sementara di sebelahku, aku suka meletakkan Al-Qur’an
supaya kalau tidur. Supaya tidak diculik hantu.
[6] Di ruang yang luas itu, aku ingat pernah bermain dengan Rahmat
Syukran, teman masa kecilku. Kami pura-pura ada kolam di situ. Kami berenang di
lantai. Aku suka bermain dengannya. Tangan rahmat lentik. Dia jago main guli.
Setiap aku membeli guli, selalu habis karena kalah bermain dengannya. Kabarnya
dia sudah meninggal usia kami sekolah menengan, waktu aku pindah ke Bireuen.
Dia meninggal karena diare. Kasihan sekali. Dia dibesarkan neneknya. Mereka
kembar. Kakanya kembar bernama Rahmi Raihan.
[7] Kabarnya di rumah Nek Bah ada tivi seukuran pintu. Rumah Nek Bah
adalah terbesar di Matangglumpangdua masa itu. Sampai hari ini, rumah itu masih
tidak out model. Gambarnya saja dibeli dua puluh lima juta rupiah. Uang segitu,
pada masa itu bisa membuat sebuah rumah mewah.
[8] Di kampung kami, beberapa
rumah orang kaya tumbuh delima jenis itu. Tetapi siapa yang berani mengambil
bahkan buah-buah yang jatuh sekalipun. Mendekati rumah-rumah orang kaya saja
kami ngeri. Kalaupun melihat, hanya curi-curi pandang. Itupun terasa seperti
sudah melakukan dosa besar. Desa Paya dan desa Seuneubok Aceh bersebelahan.
Dibatasi Jalan Matangglumpangdua-Tanjong Beuridi. Bisa disebut Jalan Al-Muslim.
Dekat Meunasah Seuneubok Aceh ada rumah orang kaya. Di teras ada kursi mewah:
dari tali semacam plastic bewarna putih biru merah.
Di depan rumah
itu pernah dibangun sebuah kios kerajinan kulit. Kami pernah jual ular ke sna.
Dibeli lima ratus rupiah. Berbagi untuk beberapa orang.
[9] Itu adalah dugaan ibu yang diceritakan kepada temannya sekampung.
Tidak ada pembuktian empiris untuk hal itu. Ibu juga tidak melihat langsung.
Reviewed by Miswari
on
20.38
Rating:

Tidak ada komentar: