Aku tinggal di Westview, sebuah perumahan mewah dekat
kota Louisville. Kukatakan mewah tetapi jangan membayangkannya seperti mansion
mewah ataupun perumahan seperti yang dapat kamu lihat di pulau buatan
berrbentuk daun kurma di Dubai. Westview adalah perumahan yang indah dan asri.
Banyak pepohonan besar dan indah tumbuh di pinggiran jalan antara aspal dan
trotoar untuk joging. Jaraknya sudah ditata sedemikian rupa. Sehingga tidak
akan merasakan sengatan matahari ketika berjalan di sepanjang trotoar
perumahan. Kabarnya, perumahan itu dipersiapkan sepuluh tahun sebelum dihuni
para pembeli. Sehingga setelah semuanya siap, pepohonan sudah lebat, segala
teknis permasalahan telah diatasi di masa pengujian pra-pakai, barulah boleh
dihuni secara permanen. Rumah-rumahnya semua dicat warna putih. Putih adalah
lambang kebersihan. Semua rumah dibangun dua lantai. Bisa dikatakan tiga lantai
karena lotengnya juga bisa menjadi tempat yang nyaman. Kalau malam hari, aku
suka naik ke loteng unuk menulis.
Kalau tidak salah sudah tiga tahun aku telah menempati
salah satu rumah di Westview. Aku tinggal sendirian. Tetapi tidak terlalu
membosankan. Pagi hari aku berolahraga di halaman belakang rumah. Aku lebih
suka di jogging track yang dibuat sederhana daripada berlari di atas
mesin yang dibagikan otoritas. Lelah berolahraga aku menyiram dan merapikan
tanaman. Tidak banyak yang kutanam di halaman rumah. Nanti kamu akan tahu
penyebabnya. Aku lebih suka melakukannya di halaman belakang.
Setelah bergembira bersama tanaman, aku mandi dan
berpakaian rapi. Menuju teras belakang di lantai dua. Di sana aku ''bekerja''.
Menulis berbagai hal yang aku pikir dan rasakan. Tetapi durasi menulis lebih
sering kuberikan untuk menceritakan pengalaman masa lalu. Biasanya aku
melakukannya hingga menjelang sore.
Setiap sore kuusahakan menuliskan sebuah potongan cerita
yang utuh. Itu kubagikan kepada berbagai komunitas di sosial media yang
terhubung ke seluruh dunia. Setiap harinya ada banyak pembaca. Tulisanku banyak
penggemarnya karena di seluruh dunia, tidak banyak lagi yang menulis setelah
kejadian besar yang menimpa planet bumi beberapa tahun lalu.
Kurasa perlu kukabari kenapa aku memilih bekerja di
teras belakang lantai dua. Alasan pertama memang terlalu berbahaya berada di
depan rumah. Kejadian itu bisa datang kapan saja. Bumi belum benar-benar
steril. Alasan kedua yang lebih penting. Setiap pagi biasanya aku melihat
seorang perempuan cantik kulit putih sibuk di teras belakang lantai dua
rumahnya. Usianya mungkin sudah empat puluh. Tetapi dia terlalu cantik. Aku
tidak tahu betul kesibukannya apa. Sepertinya dia sedang menata beberapa
bonsai. Mungkin juga memberi makan beberapa hewan peliharaan. Kami belum pernah
bertegur sapa. Sepertinya sama seperti aku, dia juga tinggal sendiri.
Ada lebih seratus rumah di Westview. Semuanya terlihat
sepi. Sepertinya setiap rumah hanya dihuni satu orang. Bahkan bisa jadi banyak
rumah yang tidak diisi. Setelah bencana besar terjadi, setiap orang yang
selamat ditempatkan di berbagai perumahan. Kebutuhan makanan, olahraga, dan
sebagainya dipenuhi oleh otoritas. Di Westview ada sebuah mall yang sering
sekali sepi. Orang-orang berjalan tanpa gairah. Kehilangan keluarga dan
orang-orang yang dicintai benar-benar membuat kami frustasi.
Sebelum bencana terjadi, banyak kalangan menduga
penurunan populasi manusia akan membuat manusia berbahagia. Tetapi ini terjadi
secara spontan. Sebagai manusia, mental kami ambruk. Ada yang menduga generasi
baru akan berubah, menjadi lebih berbahagia karena mereka bukan orang-orang
yang turut mengalami bagaimana peristiwa besar yang sangat mengerikan itu
melanda.
Menurutku, generasi selanjutnya juga tidak akan
berbahagia. Karena yang akan mendidik mereka adalah generasi frustasi, generasi
yang mengalami trauma luar biasa seperti kami. Bila generasi setelah kami akan
demikian, bagitu pula generasi selanjutnya lagi dan seterusnya. Tidak ada yang
akan hidup dengan bahagia. Manusia makhluk sosial, akan berbahagia bila
bersama; bercanda tawa, berbagi cerita. Tetapi apakah mereka akan belajar
tertawa dan bergairah dalam hidup bergantung pada generasi sebelumnya yang
mencontohkan. Sementara kami sudah berhenti tertawa sejak peristiwa itu
melanda.
Dalam kondisi murung, sebagaimana banyak manusia
lainnya, terkadang dua minggu sekali aku pergi ke mall untuk berbelanja. Sudah
dua tahun makanan dan pakaian itu-itu saja. Kabarnya warga di otoritas-otoritas
berkembang yang memproduksi pakaian dan makanan untuk kami juga sama. Tidak ada
gairah hidup. Mereka bekerja setengah sadar. Setengah kesadaran lainnya sudah
diliputi trauma. Kejadian itu menghinggapi seluruh dunia.
Bila ke mall yang berada di dekat gerbang masuk utama
Westview, aku akan disapa Singh, seorang India yang sama seperti aku, dibawa
orangtuanya ke Amerika Serikat sejak kecil. Dia selalu berusaha senyum manis
saat melihat Lamborghini kelabu yang kukendarai. Sama seperti berbagai fasilitas
lainnya, mobil itu juga diberikan otoritas. Aku nyaris tidak pernah keluar Wesview
meskipun mobil itu aman-aman saja dibawa keliling Amerika Serikat. Aku hanya
mengendarainya dua atau tiga kali sehari ke Westview Mall.
Sebenarnya aku agak malas mengobrol dengan Singh. Namun
hanya dia manusia yang kuajak berbicara langsung dalam beberapa tahun
belakangan. Kali ini Singh mengabarkan bahwa ada bencana baru yang membunuh
banyak mamalia. Kabarnya muncul di Eropa. Karantina ketat mulai diberlakukan
kembali di beberapa kawasan di Eropa. Nah, inilah yang membuatku malas mengobrol
dengan Singh. Banyak dari yang dia kabarkan tidak ada benarnya. Tetapi beberapa
memang nyata. Semoga apa yang dia kabarkan kali ini termasuk yang tidak nyata.
Mengobrol dengan petugas keamanan mall itu membuatku semakin gelisan. Bencana
itu bisa mendarat kapan saja di Amerika Serikat.
Sekitar dua puluh tahun lalu, ada penyakit flu yang
menyerang umat manusia. Penyebarannya karena virus itu menempel di fasilitas
umum, sentuhan, dan interaksi jarak dekat. Tetapi kali ini menjadi sangat sulit
dideteksi. Ada yang mengatakan penyebarannya melalui udara. Tetapi apa yang
menyebar? Penyebaran virus melalui udara tidak akan semasif itu. Pernah
dilakukan bunkerisasi. Selama satu bulan ratusan orang di bunker kedap udara
dan memproduksi udara sendiri penghuninya aman-aman saja. Sudah dijamin steril.
Ternyata bulan kedua satu-persatu tumbang dan bulan ketiga semuanya tewas. Ada yang mengatakan itu adalah seleksi DNA.
Tetapi saintis tidak dapat memastikan itu. Buktinya ada saudara kandung yang
tewas ada yang selamat meski DNAnya identik. Anak-anak tewas semua. Sementara
banyak ayahnya yang selamat. Sehingga beberapa tahun lalu diumumkan bahwa
anak-anak diseluruh dunia telah habis. Ada yang mengatakan itu merupakan hawa
dari luar angkasa yang masuk ke bumi akibat kebocoran atmosfer. Kebocoran itu
memang terjadi. Tetapi ahli luar angkasa tidak melakukan pengumuman resmi
terkait hal itu. Kalau memang karena radiasi, kenapa sebagian manusia selamat
dan sebagian lainnya tewas?
Di antara banyak teori yang berkembang, menurutku teori
radiasi lebih memungkinkan. Itu lebih masuk akal meskipun beberapa kali aku
pernah membaca sanggahan dari saintis bidang astronomi. Bagiku, dan sepertinya
berlaku bagi banyak manusia yang tersisa di muka bumi, apakah itu sains, fiksi,
maupun doktrin religi, itu semua sama saja. Mana yang mudah diterima dan tidak
berbelit-belit, itu yang kami terima. Lagi pula yang disebut fakta hanyalah apa
yang ada di depan mata. Dan itu adalah tipikal manusia-manusia setengah sadar
seperti kami. Sama seperti setiap aku berjalan di mall.
Aku ke lantai atas untuk melihat-lihat pakaian. Tidak
ada motivasi untuk memilih jenis ini maupun jenis itu. Kami hanya mengambil
mana yang mudah dipakai dan tidak mudah kotor. Tidak ada yang perlu membayar.
Hanya menscan barcode jenis barang dengan kartu identitas digital. Semuanya
ditanggung otoritas. Sebenarnya barang apapun yang dibutuhkan warga yang
tersisa, bisa dipesan melalui kartu identitas digital. Hanya tiga puluh menit
paling lama, akan ada drone yang akan meletakkannya di atap rumah. Semua rumah
sudah dibuatkan pot penerimaan barang di setiap atapnya. Itu sebagai usaha
untuk menjadi manusia normal seperti sebelumnya, meski akan mustahil. Ya
seperti biasanya: di mall, kafe, bar, bioskop, tempat konser, lapangan
sepakbola, kami berjalan seperti orang bingung. Para pemain sepak bola juga
seperti orang bingung. Bahkan nyaris melupakan bahwa sejarah sepak bola pernah
melahirkan manusia agresif, atraktif, gesit, lincah, dan ambisius seperti Yatsin,
Maradona, Ronaldo, dan Messi.
Bagi sebagian orang, jalan-jalan ke mall dan objek
wisata merupakan sebuah tindakan yang lebih mengerikan. Mereka memiliki
momen-momen indah bersama orang-orang dicintai di tempat-tempat itu. Mereka
tidak kuasa ketika ingatan itu kembali. Biasanya anak berjalan di tengah antara
ayah dan ibunya. Tangan sebelah kanan dipegang tangan kiri ibu. Tangan sebelah
kiri dipegang tangan kanan ayah. Itu biasanya yang terjadi. Aku membayangkan
diriku waktu kecil juga pernah mengalami hal seperti itu. Ibu dan ayah memagang
erat tanganku. Kami menaiki eskafator. Karena itu adalah pengalaman pertama,
tentu saja sepatu baruku bewarna coklat muda terlepas, nyaris tersedot ujung
atas tangga berjalan itu. Agak lama aku membayangkan itu. Ah, ini cuma
lamunanku saja. Sekedar imajinasi. Memang hal-hal umum yang dialami banyak
orang, terkadang membuat orang mengira dia ikut mengalaminya.
Aku memilih beberapa pakaian dan turun ke lantai bawah
untuk mengambil makanan untuk persediaan beberapa hari. Saat aku pulang, Singh
sudah tidak ada. Lagi pula sebenarnya dia tidak perlu menjaga mall itu. Tidak
ada lagi manusia yang berhasrat untuk mencuri. Semua yang dibutuhkan sudah
disediakan otoritas. Tetapi Singh tetap menyukai pekerjaan itu. Dia pernah
mengatakan, dia harus bekerja supaya orang-orang tidak lupa cara tersenyum. Dan
memang sejauh kuperhatikan, pekerjaan Singh adalah memberi senyuman kepada
setiap pengunjung yang datang. Meskipun hanya sepuluh persen dari mereka yang
membalas senyum Singh. Sebagian besar sama sekali tidak lagi bisa tersenyum
sudah beberapa tahun. Kehilangan orang-orang tercinta memang sangat
menyakitkan. Seribu kali lebih menyakitkan daripada kematian. Lagipula, siapa
saja yang pernah hidup di masa peristiwa besar itu terjadi, tidak akan bisa
melupakan kengeriannya. Kematian jauh lebih menyenangkan daripada dilanda
ketakuan saban siang dan malam.
Dari situ aku mempelajari bahwa manusia hidup dengan
kenangannya. Masa depan hanya sebuah motivasi. Motivasi itu sepenuhnya
dibangkitkan oleh energi masa lalu. Sebab itulah, siapa saja yang mengalami
masa lalu yang tidak menyenangkan, tidak akan punya semangat membangun masa
depan. Dari sini aku paham kenapa dulu manusia membuat hukuman sekeras-kerasnya
kepada pelaku deskriminasi terhadap anak. Karena mereka telah merusak masa
depan orang. Itu lebih kejam daripada pembunuhan.
Aku heran kenapa dulu pernah ada orang jahat yang
berusaha memusnahkan separuh populasi dengan harapan stabilitas jumlah manusia
di muka bumi akan menciptakan keseimbangan. Padahal cara itu membuat
manusia-manusia yang tersisasi kehilangan kesadarannya. Mereka akan hidup dalam
trauma yang mengerikan. Tidak ada motivasi membangun masa depan. Itulah yang
kami alami hari ini. Bahkan yang masih muda tidak tertarik dengan lawan
jenisnya. Tidak ada motivasi membangun rumah tangga. Sepertinya di antara
alasan mereka, karena takut peristiwa besar serupa datang kembali. Itu akan
sangat menyakitkan bila yang hilang adalah orang yang disayangi.
Meskipun anak muda belum merasakan bagimana kehilangan
kekasih dan anak, tetapi sepertinya mereka bisa membayangkan penderitaannya.
Yang pasti, mereka tidak punya motivasi. Sementara orang yang sudah berusia dan
pernah punya pengalaman berkeluarga, pasti tidak ingin menderita kembali.
Penderitaan yang pernah dialami saja tidak akan tersembuhkan.
Otoritas selalu berusaha supaya orang-orang mau
berkeluarga. Tetapi sepertinya umat manusia sudah mati rasa. Bahkan petugas otoritas
yang menyerukan saja tidak bersedia melakukannya. Aku sangat yakin umat manusia
akan segera punah. Untuk melanjutkan hidup dan menciptakan generasi selanjutnya,
manusia perlu motivasi. Tetapi kini tidak ada lagi, setidaknya di otoritas
tempat aku tinggal sejak kecil.
Aku dibawa ke Texas pada usia enam tahun. Masa di negeri
Ayah, aku hanya mengingatnya samar-samar. Kami tinggal di sebuah kompleks
perumahan. Di kota itu ada sebuah mall. Setiap akhir pekan kami dibawa ke sana
untuk bermain bobocar. Pulangnya dibelikan popcorn. Ayahku bekerja di sebuah
kilang gas. Karena orang Amerika sangat membutuhkan keahlian Ayah, kami pindah.
Di sana aku dibesarkan dengan perhatian yang cukup baik.
Ayah mengharapkan diriku dapat mengikuti jejaknya. Aku
kuliah di jurusan pertambangan. Tetapi hanya bertahan satu tahun. Aku benar-benar
tidak tertarik dengan bidang sains. Pada sebuah tour musim panas, aku ikut ke
Mexico City bersama teman-teman. Aku malas kembali hingga tinggal di sana
hingga setengah tahun. Ayahku menyerah dan membiarkanku memilih jalan hidup
sendiri.
Aku ingin sekali menjadi penulis. Maka aku kuliah di
jurusan sastra. Selesai sarjana, aku belum bisa menghasilkan bahkan sebuah
cerita pendek. Maka aku berinisiatif melanjutkan kuliah magister di jurusan
yang sama. Belum juga sebuah cerita pendek kuhasilkan. Padahal aku ingin
menulis novel.
Aku pindah ke utara Illinois untuk bertani. Itu
kulakukan supaya punya cukup uang untuk kuliah Ph.D sastra. Akses dari lokasi
pertanian dan kampus memang tidak dekat. Tetapi aku mebutuhkan keduanya. Aku
berhasil meraih gelar akademik itu. Pertanian nyaris kandas. Rupanya kuliah Ph.D
butuh banyak sekali uang. Tidak mengapa. Namun rupanya aku belum berhasil
menulis sebuah novel.
Aku duduk di halaman rumah yang dikelilingi beberapa
hektare lahan jagung. Seketika aku sadar bahwa para penulis novel rupanya bukan
mereka yang suka kuliah, apalagi hingga Ph.D. Bahkan banyak di antara mereka
tidak berhasil menyelesaikan sekolah menengahnya. Ternyata kuliah sastra bukan
untuk menjadikan seseorang mampu menulis karya sastra yang bagus dan
monumental. Tetapi hanya belajar konsep-konsep tentang ilmu sastra. Setiap hari
mahasiswa Ph.D. hanya sibuk mengupas karya sastra yang dihasilkan oleh
orang-orang yang tidak pernah menyentuh bangku kuliah.
Aku frustasi. Siang dan malam hanya sibuk memikirkan
bagaimana menulis sebuah novel. Aku sudah menulis banyak pembukaan cerita.
Tetapi tidak ada di antaranya yang sampai halaman lima belas. Aku kehabisan ide
cerita. Terkadang kehabisan semangat untuk menulis. Hari-hari hanya kuhabiskan
dengan merokok dan minum kopi. Tabungan nyaris habis. Kebutuhan sehari-hari
hanya dari hasil panen jagung yang seratus persen dikerjakan orang lain.
Untuk ke kota, aku sudah tidak punya semangat. Bahkan
pernah berbulan-bulan untuk ke kota terdekat yang hanya berjarak beberapa
kilometer aku enggan. Kalaupun harus ke kota, aku hanya akan menumpang truk
para pekerja ladang. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku
lebih sering menitip belanjaan kepada mereka.
Suatu hari beberapa pekerja lenyap entah ke mana. Ada
juga yang meninggal mendadak setelah mengalami kejang-kejang. Aku ketakutan dan
tidak berani keluar rumah. Jangan-jangan, sebagaimana pernah terjadi sekitar beberapa
dekade lalu, itu adalah wabah virus yang mudah menular melaui cairan tubuh.
Ketika aku kehabisan stok makanan, harus memberanikan
diri keluar. Tidak mungkin aku hidup hanya dengan mengunyah jagung yang memang
gudangnya bisa diakses langsung dari rumahku. Aku harus keluar. Bila tidak,
bisa gila atau mati.
Di pasar, aku menemukan kota yang sepi. Semua toko
dibiarkan begitu saja. Sebagian orang yang tersisa terlihat seperti orang
bingung. Sebagian lainnya sedang mengobrol dan memperhatikan kedatanganku. Aku
tidak peduli dengan mereka. Dan mereka juga hanya bingung sekaligus waspada
melihatku. Aku masuk ke pasar swalayan terbesar di kota itu. Kuangkut makanan
sebanyak yang bisa kubawa. Bak truk penuh. Aku kembali ke rumah dalam keadaan
bingung. Aku sangat ketakutan karena kukira yang terjadi adalah penyebaran wabah
yang meusnahkan sebagian manusia.
Untuk beberapa bulan lamanya, kembali aku tetap di
rumah. Saat kembali memberanikan diri ke pasar dengan tujuan kembali ke pasar
swalayan untuk mendapatkan makanan-makanan yang belum kadaluarsa, aku tidak
menemukan seorangpun di kota. Sepertinya semua orang sudah punah. Setelah bak truk
penuh, dalam perjalanan pulang aku berpikir, untuk apa kembali ke rumah kalau
manusia sudah tidak ada lagi. Dengan ragu aku balik kanan kembali ke kota.
Sasarannnku adalah hotel. Aku kelelahan mencari kamarnya
yang terbuka. Menjelang malam baru menemukan satu. Aku mengangkut makanan
sebisaku ke dalam kamar dan membuat palang pintu. Setelah beberapa hari aku
berpikir untuk menemukan radio atau perangkat digital berjejaring untuk
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku ke stasiun televisi, stasiun radio,
dan kantor informasi di kota itu. Tidak ada hasil meski semua perangkat
elektroniknya hidup karena seluruh kota bertenaga nuklir. Tetapi tidak ada
koneksi berita, siaran, dan sebagainya. Aku kembali ke kamar hotel yang
kutempati.
Beberapa hari kemudian, sekelompok tentara berpakaian
seperti penyelam awal abad kedua puluh datang mendobrak pintu dan mengangkutku.
Saat sadar ternyata di tempat relokasi banyak sekali orang. Awalnya aku menduga
sudah berada di akhirat. Dulu Ayahku pernah berkata kalau mati, manusia akan
dibangkitkan kembali. Namun ternyata itu adalah tempat konsenterasi
manusia-manusia yang tersisa. Belum dapat dipastika bencana apa sebenarnya yang
terjadi. Para ahli yang masih hidup berusaha meneliti.
Setelah beberapa lama di tempat itu, otoritas
mengabarkan kematian misterius telah berhenti. Manusia-manusia yang tersisa
ditempatkan di berbagai lokasi. Dimotivasi untuk hidup seperti sedia kala.
Tetapi ternyata itu tidak pernah terjadi.
Awalnya aku ditempakan di sebuah lokasi perumahan super
elit. Tetapi setiap rumahnya saling berhubungan di atas atap. Aku ditempatkan
di salah satu lokasi. Masing-masing orang diberikan satu rumah.
Awalnya, sebelum pindah ke rumah itu, diusahakan setiap
orang tinggal bersama. Tapi ternyata tidak bisa. Tidak ada interaksi dan
sosialisasi. Orang-orang hidup sendiri-sendiri. Makanya diberikan tempat
tinggal masing-masing.
Perumahan yang disediakan bagiku, aku lupa entah tingkat
empat atau tujuh. Tidak bisa dihitung pasti. Hanya naik beberapa angak tangga
sudah ada lantai lagi. Bahkan sampai pindah dari sana aku belum memasuki semua
ruangannya. Setiap senja dan dini hari aku suka ke lantai atap. Ada kolam ikan
yang indah di sana. Tidak tahu diisi dengan ikan apa. Aku tidak terlalu
memperhatikan. Aku berharap ada tetangga kanan atau kiri yang bisa kutemui.
Tetapi tidak ada satupun. Mungkin mereka lebih suka di dalam saja. Tidak pernah
ke atap.
Setelah sekitar satu jam menenangkan diri, setiap senja
dan dini hari, aku turun ke sebuah ruangan yang kurancang untuk menulis apapun
yang mungkin kutulis. Aku berusaha menulis novel kembali. Tetapi selalu gagal.
Motivisi juga nyaris tidak ada lagi. Entah masih ada manusia yang bersedia
membaca. Apalagi itu sebuah novel.
Aku ditemui petugas medis. Kukatakan aku sering
berhalusinasi. Di lantai atas dekat kolam sering kulihat banyak perempuan
berpakaian putih mandi di kolam milik rumah sebelah. Kata mereka di kiri dan
kanan tidak ada penghuni.
“Mungkin itu tetangga sampingnya lagi?” tanyaku.
“Setiap rumah berselang empat baru ada penghuni lagi.
Setiap empat rumah selalu dibarikade dinding,” kata petugas yang tidak
bersemangat itu. “Setelah program usaha penyatuan dilakukan, otoritas kemudian
memilih program pemisahan.”
Benar. Aku ingat memang yang atapnya bersambung hanya
beberapa rumah. Di atas rumah tempat aku tinggal adalah kolam ikan. Sementara
rumah di sampingnya adalah kolam renang yang sedikit lebih kecil dari kolam
ikan di atap rumahku. Di sanalah aku sering mendapatkan visi perempuan
berpakaian putih.
Petugas memutuskan menempatkanku di rumah yang kini aku
huni, Westview. Halusinasiku tentang banyak perempuan mandi di kolam sepertinya
direspon petugas dengan menempatkanku di rumah yang bersebelahan dengan seorang
perempuan yang sering kulihat di teras belakang lantai dua rumahnya. Sepertinya
petugas senang dengan halusinasiku. Mereka berusaha supaya aku punya
ketertarikan seksual kepada perempuan itu. Namun sepertinya itu mustahil
bagiku. Demikian juga bagi manusia-manusia lainnya.
Tidak ada hal yang bisa menstimulus hormon kami agar
gairah seksual tumbuh. Kejadian itu benar-benar membuat manusia berpikir bahwa
kehidupan tidak patut dipertahankan lagi. Bagaimana pula bisa ada manusia yang
berhasrat supaya masih ada generasi selanjutnya yang merasakan kengerian
serupa. Jangan-jangan di masa depan, peristiwanya bisa lebih besar lagi.
Suatu hari di Westview, sebuah berita digital
mengabarkan banyak manusia tiba-tiba tumbang di tempat umum. Semua warga
dihimbau untuk tidak keluar rumah. Dianjurkan supaya tidak berada di alam
terbuka. Di rumah, aku menghidupkan mesin udara. Aku mengambil persediaan
makanan sebanyak-banyaknya. Tidak ke luar kamar seminggu lamanya. Tiba-tiba
seseorang mengetuk pintu rumah. Aku memperhatikan layar monitor. Rupanya
tetangga perempuan itu. Seperti biasa, dia mengenakan daster putih panjang
sedengkul dengan lengan terbuka. Aku tidak berani ke luar. Kubiarkan saja. Dia
terus-menerus membunyikan bel. Aku tidak tega. Tetapi mati lebih mengerikan.
Maka dia kubiarkan.
Tidak ada pembuktian bahwa bersentuhan dengan orang lain
dapat menyebabkan kematian. Tetapi aku tetap merasa ngeri. Bencana itu bukan
seperti virus yang menyebar melalui interaksi. Hingga hari ini dia masih
misteri. Aku masih meyakini adalah masalah di udara yang menyebabkan bencana
bagi manusia.
Setelah hampir sebulan, otoritas mengumumkan evakuasi.
Semua warga akan dipindahkan. Kami dipakaikan pakaian pelindung seperti
penyelam awal abad kedua puluh. Semua manusia yang masih hidup di Amerika Serikat
dikumpulkan. Kabarnya akan dipindahkan ke Amerika Selatan. Aku tidak mengerti
apa maksudnya.
Sebelum keberangkatan, semua didata. Aku memberitahukan
asal lokasi penempatan.
''Perumahan
Westview jalan 33 Nomor 55.''.
''Kami sangat
menyayangkan. Hanya sekitar sepuluh orang dari warga Westview yang selamat,''
kata petugas pendataan.
Aku memberanikan
diri menceritakan tentang tetangga yang pernah mengetuk pintu rumah namun
kubiarkan.
Petugas itu
terheran-heran.
''Ada sekitar
empat ratus rumah di Westview,” kata petugas. Di sana, semua petugas, dan semua
yang selamat, memakai pakaian penyelam awal abad kedua puluh.
Aku baru tahu. Sebelumnya kukira hanya sekitar seratus
lima puluh rumah.
“Hanya diisi
sepuluh persen,” petugas melanjutkan. “Masing-masing orang satu rumah. Tidak
ada satu rumahpun yang berdampingan langsung. Setiap yang berpenghuni diselang
beberapa rumah.''
Sontak aku
terkejut. Pertama, aku baru mengetahui kenapa Westview sepi sekali. Kedua, ini
membuatku ngeri. Jadi siapa perempuan yang selama ini hampir setiap hari
kulihat di balkon, teras belakang lantai atas berpakaian putih? Mungkin dia
hanya halusinasiku saja. Pantas saja aku tidak benar-benar memahami apa yang
dia lakukan di teras belakang rumah di samping rumahku itu. Waktunya juga
selalu menjelang siang. Aku juga mempertanyakan diriku sendiri kenapa tidak
pernah menegur dan mengajaknya bicara. Antara teras rumahku dan rumah itu hanya
beberapa meter saja. Pantas saja dia berpakaian sama setiap hari. Rupanya
penyakit halusinasi yang kualami belum benar-benar pulih.
Aku dan banyak manusia yang tersisa diberangkatkan ke
Amerika Selatan. Kami di tempatkan di pesawat tempur ukuran besar. Pesawat
tersebut menuju sebuah kota dan mendarat seperti helikopter di atap sebuah
gedung. Dari sana kami digirung ke dalam gedung. Menuruni lantai demi lantai
melalui tangga. Aku sempat melirik kiri kakan. Di setiap lantai yang kulalui,
pola ruangannya sama. Setengah ke bawah adalah dinding bewarna putih. Setengah
ke atas adalah dinding kaca transparan. Setelah melalui beberapa lantai, aku
sadar bahwa setiap ruangan ada satu orang di dalamnya. Mereka seperti duduk
termenung saja di hadapan sebuah meja. Sebagian ada yang terlihat sedang
berbicara. Seperti sedang berbicara sendirian. Mungkin sedang berkomunikasi
melalui alat teknologi.
Pada sebuah lantai, aku digiring ke arah sebuah koridor.
Kuperhatikan orang di balik kaca dalam sebuah ruang. Berbeda dengan orang-orang
yang sempat kulihat di lantai-lantai sebelumnya yang tidak kukenal, kali ini
aku melihat Prof. Aht. Aku kenal dia karena pernah datang ke kampus tempat aku
pernah belajar. Kali itu dia ke sana untuk riset dan sempat memberikan kuliah
umum. Aku mengikuti kuliahnya karena dia orang Indonesia. Dia mengajar di sana.
Dia adalah pakar kajian kitab suci agama Islam yang disebut ilmu tafsir. Aku
hadir di kuliah Prof. Aht bukan karena ingin mempelajari bidang kajian itu, melainkan
karena dia orang Indonesia. Ayah dan ibuku orang Indonesia. Aku merasa punya
ikatan emosional dengan Indonesia dan orang-orangnya. Setidaknya aku pernah ke
sana beberapa kali untuk keperluan riset.
Pada ruang selanjutnya aku melihat Prof. Muq. Dia adalah
pakar kitab suci Al-Qur’an. Aku belum pernah mengobrol dengannya. Tetapi aku
pernah melihat dia dari jauh. Waktu itu aku masih kuliah magister. Dia datang
ke sebuah hotel untuk mengisi kuliah umum. Ruang pertemuannya sangat luas. Aku
hanya bisa melihat dia dari jauh. Namun lama sebelumnya, aku sudah membaca lima
belas jilid karyanya dalam menafsirkan Al-Qur'an. Membaca karya itu, aku jadi
kagum dengan dimensi sastrawi yang dimiliki kitab suci umat Islam.
Pada ruang selanjutnya aku juga menemui seorang ahli
kajian Al-Qur'an dari Indonesia. Dia adalah Prof. Nau. Aku tidak begitu
mengenali dia. Belum juga pernah melihat dia sebelumnya kecuali beberapa buku
yang pernah ditulis tersimpan di bagian studi Indonesia di perpustakaan almamaterku
dulu. Kalau aku tidak salah, dia adalah imam masjid terbesar di Indonesia. Ini
sangat luar biasa: imam masjid terbesar di negara terbanyak orang Islamnya.
Sama seperti orang-orang lainnya, tiga profesor dari
Indonesia itu duduk di balik meja dalam sebuah ruangan. Ada beberapa orang
lainnya di lantai itu yang sepertinya aku kenali. Namun sangat banyak yang
tidak kukenal. Dari wajah mereka, aku hanya dapat menduga bahwa mereka semua
adalah orang Indonesia. Mungkin para pakar dari berbagai bidang ilmu
lainnya. Ada banyak ruangan yang masih
kosong.
Aku mulai bertanya ke mana hendak dibawa. Mungkin aku
akan ditempatkan pada salah satu ruangan sebagai mana orang-orang itu?
Mungkinkah setiap ruangan untuk satu orang pakar? Bukannya aku tidak termasuk
pakar? Atau mungkin aku dianggap sebagai salah satu pengusaha pertanian yang
sukeses? Tapi sepertinya aku tidak terlalu sukses untuk bidang tersebut.
Keuntungan yang kuperoleh dari bertani hanya cukup untuk mendapatkan dua ijazah
ilmu sastra: magister dan doktor. Atau mungkin aku dianggap sebagai petani yang
mampu meraih gelar Ph.D? Atau aku dianggap punya kelebihan dalam menyiasati
cara meraih Ph.D dalam keterbatasan? Kalau saja itu benar, aku akan sangat malu
karena sebenarnya tujuanku kuliah bidang sastra hanya agar dapat menulis sebuah
novel, dan itu gagal. Cara yang kutempuh agar dapat menulis sebuah novel sangat
memalukan. Konyol.
Jangan-jangan semua asumsi itu keliru. Bisa jadi aku
akan dan orang lainnya yang dihantarkan bersamaku kemari untuk dimasukkan ke
tungku api sebagai energi untuk menghidupkan lampu dan pengondisi cuaca ruangan
gedung ini. Aku teringat beberapa orang yang dibawa bersamaku. Aku tidak
melihat mereka lagi. Sudah dibawa kemana? Mungkin ke lantai lainnya?
Saat aku sedang digiring, tiba-tiba terjadi keributan.
Orang-orang yang menggiringku diserang sekelompok orang yang juga berpakaian
penyelam awal abad kedua puluh, namun yang ini berwarna putih. Pertarungan tidak
berimbang. Jumlah dua orang yang menggiringku dengan pakaian penyelam awal abad
kedua puluh bewarna hijau ditaklukkan. Aku digiring oleh orang-orang yang
berpakaian penyelam awal abad kedua puluh bewarna putih. Diseret ke sebuah
ruangan yang ternyata lift. Rupanya gedung ini ada liftnya. Kenapa pula tadi
orang yang berpakaian penyelam awal abad
kedua puluh bewarna hijau membawaku melalui tangga darurat. Aku juga heran,
kemana beberapa orang lainnya yang dibawa bersamaku.
Tiba di lantai dasar, aku melihat banyak orang
berpakaian penyelam awal abad kedua puluh. Mereka semua berlarian tak tentu
arah. Ada juga yang saling menyerang. Sebenarnya apa yang terjadi? Aku tidak
begitu bersemangat hendak mengetahuinya. Dunia memang sudah aneh. Ada juga
beberapa orang yang hanya berpakaian biasa, tidak berpakaian penyelam awal abad
kedua puluh. Wajah mereka tampaknya seperti orang Indian.
Saat mendekati sebuah helikopter ukuran pesawat,
beberapa orang yang aneh datang mencoba menyerang orang-orang yang berpakaian
penyelam awal abad kedua puluh bewarna putih yang meringkusku. Aku benar-benar
kaget. Warna mereka putih seperti susu. Kuperhatikan salah satu di antaranya:
perempuan rambut kuncir kuda, bentuk lehernya sempurna. Tetapi dari ujung
rambut sampai ujung kaki semua warna putih seperti susu.
Orang-orang putih susu itu kalah dengan orang-orang yang
sedang menggiringku. Aku dilemparkan ke dalam helikopter. Di perjalanan, aku
sangat terkesan dengan orang putih susu itu. Siapa mereka? Keanehan apa lagi
yang terjadi? Aku terkesan dengan salah seorang di antara putih susu itu.
Perempuan yang rambutnya kuncir kuda.
Orang-orang putih susu itu, kulit dan wajah mereka
tampak kaku seperti logam metal. Tapi warnanya putih susu. Mereka lebih mirip
seperti susu cair yang mengering. Sepanjang perjalanan, entah dibawa ke mana,
aku sangat terkesan perempuan putih susu rambut kuncir kuda itu. Aku tidak tahu
apakah beberapa rekan putih susunya laki-laki atau perempuan. Tidak sempat kuperhatikan.
Aku tidak tahu akan dibawa ke mana. Di bawah hanya
melihat laut lepas. Aku juga tidak memahami siapa yang membawaku. Setelah
beberapa jam, tampak daratan dari jauh. Helikopter besar yang mengangkut kami
menuju ke sebuah gedung yang dibangun di tengah hutan. Gedung itu seperti
terbuat dari logam. Mungkin itu terbuat dari baja? Aku dan beberapa orang
lainnya digiring masuk. Terdapat
beberapa lapis pintu otomatis.
Di dalam, pakaian kami dilepaskan. Kami mengenakan baju
kaos putih dan celana pendek yang juga bewarna putih. Apakah ini penjara? Atau
ruang isolasi? Tampaknya seperti laboratorium. Ruangannya sangat luas. Atapnya
sangat tinggi. Di sisi ruangan ada banyak bilik. Bertingkat. Sepertinya ada
sekitar lima tingkat. Aku dijembloskan ke dalam sebuah bilik.
Beberapa hari di sana sangat membosankan. Makanan
dijatah. Orang-orang senasib denganku, sama seperti aku, hanya bisa murung.
Bahkan satu sama lain tidak pernah mengobrol.
Salah seorang berwajah Jepang datang ke bilikku.
''Profesor Toi,''
dia memperkenalkan diri.
''Senang bertemu
dengan Anda,'' kujawab.
Aku mengira dia
adalah ahli nulik atau teknologi lainnya. Rupanya aku salah. Dia adalah pakar
linguistik. Aku agak terkejut. Rupanya selain ahli sains dan teknologi, Jepang
punya ahli ilmu bahasa. Unik juga.
''Sama seperti
Anda, saya dibawa orang tua ke Amerika Serikat di usia masih sangat muda.''
Kenapa dia
mengetahui identitasku? Kami baru bertemu. Mungkin saja dari metadata di dunia
digital.
''Kalau saya
adalah ahli linguistik, Anda adalah ahli sastra.''
Aku kaget dengan
ucapannya. Untung tidak sedang minum. Bila iya, pasti aku sudah tersendak.
Aku sangat malu
dengan ucapannya. Kalau saja dunia tahu bahwa aku kuliah jurusan sastra hanya
untuk menulis novel namun gagal, pasti aku akan masuk ke dalam batu belah
karena malu. Namun bila aku dianggap
ahli dalam urusan pertanian, maka seharian aku bisa bicara tanpa henti
tentang teknik bertani jagung.
Ingin sekali aku
memuji dia supaya percakapan menjadi hangat. Namun jangankan tentang liguistik,
tentang sastra yang menjadi disiplin keilmuan yang pernah kupelajadi dari B.A
hingga Ph.D. saja aku tidak berani berbicara.
Baiklah. Aku
tetap harus memberi umpan balik dalam percakapan ini.
''Ilmu sastra
sama sekali tidak akan berguna tanpa ilmu linguistik,'' aku memberanikan diri
berkata itu kepadanya.
Kalaupun yang
kuucapkan itu salah, tentu akan dianggap sebagai ungkapan hiperbola.
''Benar. Ilmu
linguistik bagi ilmu sastra itu seperti ilmu logika bagi ilmu filsafat,” jawab
Prof. Toi.
Aku tidak tahu
apakah ungkapan dia itu narsis atau faktanya memang demikian.
Aku jadi ingat.
Pantas saja waktu pendidikan B.A dulu, banyak sekali jurusan kami: pengantar
linguistik, elemen-elemen ilmu linguistik seperti semantik, fonologi,
morfologi, sintaksis, kajian wacana, dan sebagainya. Padahal, aku belajar ilmu
sastra. Barulah pada semester-semester atas, kajian sastra seperti drama,
cerita pendek, novel, roman, puisi, dan sebagainya dipelajari.
Aku akan sangat
malu seandainya Prof. Toi mengetahui motivasiku masuk jurusan sastra. Semoga
ajakan pembicaraan selanjutnya mengarah pada pertanian jagung. Aku lebih fasih
berbicara mengenai itu. Maka kucoba mengalihkan pokok pembicaraan.
''Aku pindah ke
Illionis untuk bertani jagung.''
''Iya,'' jawabnya
santai. ''Aku tahu. Kamu memperoleh gelar M.A dan Ph.D di sana.
''Benar. Itu
hanya selingan saja,'' jawabku. ''Supaya tidak bosan dalam mengurus
pertanian.''
''Luar bisa,''
balasnya. ''Kamu begitu merendah. Aku sangat suka nada puitis langsung dari
ahli sastra''.
Kelihatannya dia
tidak tertarik membahas pertanian. Dia ingin menyeretku berbicara sastra.
Sedang dalam
kondisi terpojok dalam pembicaraan dengan profesor linguistik itu, kami
dikagetkan dengan bunyi alarm yang menggema. Para penjaga
berpakaian penyelam
abad dua puluh putih dengan senjata lengkap berlarian. Para warga,
yang lebih cocok disebut tawanan seperti aku, Prof. Toi, dan orang-orang
lainnya tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan kami tidak tahu apa yang terjadi.
Prof. Toi
mengajakku ke biliknya. Kami berlari ke sana. Dia menutup pintu. Kami bersanti
di sana. Dia mengamati layar digital yang tersedia.
“Sepertinya kita tidak perlu ke luar dalam beberapa hari
ini,” desahnya sambil serius memandangi layar itu.
“Itu tidak masalah. Kita sudah bertahun-tahun terbiasa
seperti ini,” jawabku. “Tapi, sebenarnya apa yang terjadi?”
Profesor Toi berbalik menatapku dengan tajam.
“Maksudku, sebenarnya apa yang sudah terjadi kepada
manusia selama beberapa tahun belakangan,” aku menjelaskan.
Dia masih menatap, namun pandangannya berubah layu.
Apakah ada yang salah dengan pertanyaaanku? Atau dia kurang berkenan dengan
caraku bertanya. Mungkin juga dia sama sekali tidak ingin membahas itu. Baiklah,
aku mengganti topik. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar. Tetapi
mengobrol bisa sedikit mengurangi kecemasan. Namun sepertinya sekarang bukan
waktu yang tepat untuk mengobrol.
Selama beberapa tahun tahun terakhir, seingatku aku
tidak pernah lagi mengobrol. Obrolan terakhir yang kuingat adalah dengan para
pekerja kebun. Setelah mengantongi ijazah Ph.D, aku pernah diundang ke beberapa
pertemuan untuk membicarakan disertasiku. Setiap menghadiri pertemuan-pertemuan
itu, aku terlibat obrolan panjang dengan tim penyelenggara kegiatan. Aku sangat
menikmati obrolan-obrolan itu.
Setelah beberapa berlalu, tampaknya kerusuhan di luar
sudah reda. Prof. Toi menceritakan tentang riwayat kehidupannya hingga dia menjadi
professor bidang linguistik.
“Kita punya persamaan, tetapi persamaan yang terbalik,”
kata Prof. Toi.
Aku bingung tidak paham. Tapi aku suka dia memulai
pembicaraan. Aku sedikit tertawa agar dia semanik antusias mengobrol.
“Kamu mengambil pendidikan formal sastra, tetapi
menggeluti bidang ekonomi,” Prof. Toi tertawa kecil, kemudian melanjutkan,
“Sementara aku mengambil pendidikan formal ekonomi, tetapi menggandrungi
sastra.”
Aku kurang tahu tentang informasi kehidupan Prof. Toi. Setahuku
dia pakar linguistik.
“Sebab itulah, professor saya saat B.A menganjurkanku
pindah jurusan.”
Aku terkejut. Apakah maksudnya dia akhirnya pindah ke
jurusan sastra? Kalau itu benar, maka selesailah aku. Dia adalah pakar yang
telah melakukan banyak penelitian tingkat internasional. Dia menguasai puluhan
bahasa, tidak hanya sebagai alat komunikasi, bahkan sampai analisis semantik
mendalam. Karya-karya yang dia analisis adalah mahakarya sastra klasik,
filsafat yang mendalam, dan kitab suci agama besar.
Sementara aku? Seorang petani jagung yang kuliah sastra
dengan harapan dapat menulis sebuah novel, namun gagal. Bahkan untuk
kaidah-kaidah dasar sastra sendiri, banyak sekali yang sudah kulupakan. Dalam
dunia yang membingungkan ini, sambil menunggu kepunahan umat manusia, aku
berpikir ada baiknya mempelajari ulang segala pelajaran yang pernah kuterima di
bangku kuliah.
Aku ingat pelajaran-pelajaran dasar yang kuterima saat
kuliah B.A adalah ilmu-ilmu linguistik. Prof. Toi mengatakan kami para warga gedung
ini tidak dibenarkan ke luar bilik dalam beberapa waktu ke depan. Ini artinya
untuk beberapa waktu aku akan bersam Prof. Toi. Ini merupakan kenikmatan yang
harus kunikmati secara maksimal.
Selama di bilik, aku menargetkan dari Prof. Toi, dapat menguasai
dasar-dasar ilmu linguistik. Mempelajari hal-hal mendasar akan sangat efektif
dari orang-orang yang benar-benar pakar.
Sebentar. Aku harus mengingat ingat, apa saja disiplin
dasar dalam ilmu linguistik. Jadi, aku dapat mengajaknya berdiskusi perbagian tentang
ilmu linguistik. Kalau mengajak dia membahas ilmu linguistik secara umum, bisa
tidak sistematis dan akan banyak bagian keilmuan itu yang tidak dibahas.
Kulihat Prof. Toi merebahkan badannya di ranjang. Dia
menunjuk sebuah selimut yang tersangkut di dinding. Itu adalah isyarat bagiku
untuk berbaring di lantai. Baiklah. Tak masalah. Sepertinya kami harus
beristirahat terlebih dahulu. Semoga keributan yang terjadi di luar sudah reda
dan tidak terjadi kembali peristiwa serupa.
Prof. Toi bangun, mandi, makan, dan bersantai. Dia
melihat ke arahku. Aku jadi segan. Maka segera aku mandi, makan, dan kembali
duduk. Untung saja ada dua kursi di biliknya. Aku ingat ilmu linguistik itu
elemen dasarnya adalah fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Aku mengajaknya mengobrol. Kami berbicara banyak hal,
hingga berhasil mengaitkannya dengan diskursus ilmu morfologi.
Profesor Toi menjelaskan, fonologi adalah
disiplin ilmu yang merupakan bagian dari ilmu linguistik. Ilmu tersebut
membahas tentang elemen terkecil dari ilmu bahasa yakni tentang bunyi. Himpunan
bunyi membentuk satu kata. Jadi, fonologi adalah ilmu tentang bunyi. Fonologi terbagi kepada fonetik dan fonemik.
Fonetik mempelajari tentang cara penggunaan bunyi. Sementara fonemik
mempelajari tentang perbedaan bunyi dalam satu simbol bunyi untuk menunjukkan
perebedaan maknanya. Bahasa-bahasa tertentu menggunakan simbol-simbol yang
berbeda untuk memudahkan pemahaman bunyi dari satu kata.
Kajian tentang simbol bunyi adalah grafem. Sementara
alofon adalah kajian letak pembunyiannya berapa di awal, di tengah, dan di
akhir sebuah kata. Diftong adalah sebuah bunyi yang disimbolkan dengan dua
huruf. Huruf yang menjadi simbol fonem dibagi menjadi huruf vokal dan
konsonan.
Dia menjelaskan sambil menatap ke arahku sambil meminta
konfirmasi. Mungkin dia mempertimbangkan ijazah Ph.D yang kumiliki. Kalau saja
dia tahu aku kuliah hanya agar dapat menulis sebuah novel, namun gagal, tentu
dia akan kekurangan antusiasme. Bisa saja akhirnya dia malas kepadaku dan tidak
bersedia lagi berdiskusi.
Sebenarnya banyak sekali bagian fonologi. Bayangkan,
waktu B.A dulu, kami yang jurusan sastra mempelajarinya selama satu semester.
Bagaimana lagi kalau mengambil jurusan linguistik. Bisa saja ada khusus jurusan
fonologi. Pembahasannya bisa sangat mendalam dan sangat detail.
Tetapi kukira penjelasan tersebut sudah cukup. Kalau
terus kuajak bicara fonologi secara lebih mendalam, aku sendiri bisa kesulitan
memahami.
Tidak ingin kehilangan momentum, aku berusaha mengajak
dia berbicara tentang morfologi. Dia pun menjelaskan bahwa morfologi adalah
ilmu yang membahas tentang bentuk-bentuk kata dan cara-cara pembentukannya.
Morfologi infeksional mengkaji tentang perubahan bentuk kata dari kalimat aktif menjadi kalimat pasif.
Sementara morfologi derivasional mengkaji tentang bentuk dan cara pembentukan
sebuah akar kata atau disebut dengan leksem. Jadi, morfologi infeksional adalah
deskripsi perubahan bentuk struktur leksem, sementara morfologi derivasional
adalah deskripsi pembentukan struktur baru.
Nah, baru sedikit saja dia membahas tentang morfologi,
aku sudah mulai kelimpungan. Kukira ada baiknya mengajak dia sedikit membahas
tentang sintaksis. Setelah itu, aku mau mengistirahatkan pikiran.
“Kajian sintaksis itu sebenarnya sederhana saja.
Hanya kajian tentang kalimat. Namun karena bentuk kalimat itu tidak terbatas,
maka kajian sintaksis menjadi luas. Tetapi karena ditemukan beberapa kesamaan
tipikal dari setiap kalimat, maka kajiannya bisa dibatasi pada beberapa
pembagian saja. Karena kalimat itu terbagi menjadi beberapa bagian dan beberapa
bagian itu terbagi menjadi beberapa bagian lagi, maka dapat dianalisis struktur
konstituen sintaksis. Karena setiap bagian kalimat dapat digolongkan kepada
jenis dan tipe tertentu yang bisa dirujuk dalam deskripsi, maka dapat
dianalisis dalam analisis kategori sintaksis. Karena setiap bagian kalimat
memiliki fungsi dalam setiap bagian yang lebih besar, maka dapat dianalisis
dalam fungsi gramatikal,” Prof Toi menjelaskan.
Nah, benar
dugaanku. Kajian semiotika itu memang sulit. Prof. Toi baru memulai, tetapi aku
sudah kebingungan. Itu baru dikemukakan pembagian kajian sintaksis. Belum lagi
menjelaskan bagian-bagian itu.
“Setelah itu,
kajian penting dalam ilmu linguistik adalah wacana,” Prof Toi meneruskan. “Wacana
adalah fokus orientasi makna kalimat. Orientasi itu adalah fokus pada satu
konteks.”
Tiba-tiba bilik
kami terbuka. Dua orang berpakaian penyelam putih susu berdiri di depan pintu. Aku
digiring keluar gedung. Dibawa ke arah sebuah pesawat. Kiri dan kanan dalah
rerumputan. Sempat kuperhatikan banyak ular berkeliaran. Di perjalanan, untuk
melawan kekhawatiran, aku berusaha mengingat-ingat kembali beberapa dialog
dengan Prof. Toi.
Aku dibawa kembali
ke gedung sebuah kota di Amerika latin, tempat aku pernah melihat banyak orang,
meskipun aku tidak yakin semuanya dapat disebut orang, berlarian dalam hiruk
pikuk. Aku dimasukkan ke dalam gedung yang belakangan aku ketahui dulunya itu
adalah sebuah mall. Aku ditempatkan pada sebuah ruangan berdinding kaca. Itu
adalah seperti tempat aku pernah melihat beberapa pakar.
Setelah beberapa
hari di dalamnya, aku semakin mampu menggunakan ruangan tersebut. Ini adalah
ruangan yang lebih canggih daripada apapun yang paling canggih. Aku bisa
mengakses banyak hal di sini. Aku teringat Prof Toi. Apakah dia masih tinggal
di gedung yang terletak di daratan seberang laut itu.
Aku menggunakan
kacamata yang tersedia. Berbagai perangkat keluar dari meja. Rupanya untuk
membentuk simulasi indra-indra termasuk indra peraba. Aku meminta penjelasan
tentang ilmu semantik. Rupanya itu adalah ilmu tentang makna bahasa. Setelah
mengamati beberapa penjelasan, muncul instruksi, yakni sebuah peringatan bahwa
aku harus lebih banyak memberikan daripada mengambil.
Mungkin ini tujuan
mereka membawaku kemari. Setelah beberapa hari kupelajari, aku mulai sedikit paham,
mungkin ini adalah ruang pemerasan. Apa yang kuketahui, kurasakan, kupikirkan,
kubayangkan, harus terus dicurahkan. Mungkin saja mereka, entah siapa punya
satu maksud dan tujuan.
Reviewed by Miswari
on
05.52
Rating:
Tidak ada komentar: