Setelah belum lama diperbaiki, jalanan di daerah Anda sepertinya akan kembali rusak. Tampaknya dalam sepuluh tahun terakhir, sudah beberapa kali terjadi perbaikan. Namun, sekali diperbaiki, kondisi baik jalan hanya bertahan sekitar satu tahun. Tahun kedua, hampir dapat dipastikan, jalanan kembali rusak. Bila empat tahun jalan tidak diperbaiki, bersiap-siaplah ganti per atau ball joint. Hampir semua infrastruktur yang dibangun akan lebih cepat rusak dibandingkan masa kedaluwarsa air minum kemasan.
Saya
teringat perkembangan sastra Indonesia modern, khususnya dalam penulisan novel
angkatan Balai Pustaka. Novel-novel yang ditulis para sastrawan umumnya
mengangkat tema perlawanan atas tradisi adat istiadat yang berlaku. Novel-novel
itu hendak menunjukkan bagaimana individu-individu yang biasanya menjadi
karakter utama cerita, berusaha memperjuangkan aspirasinya yang hendak
dibungkam tradisi. Saya memperhatikan, novel-novel dimaksud hendak mengatakan
bahwa setiap individu itu memiliki potensi positif sehingga bila dikembangkan
dengan baik, akan meningkatkan kualitas sebuah bangsa. Setiap individu memiliki
hak dan martabat yang setara. Dengan mengapresiasi setiap individu, berarti
membuka kemungkinan kemajuan yang masif. Untuk itulah tradisi feodalisme tidak
lagi memiliki tempat dalam zaman modern.
Apresiasi
individu hanya dapat berjalan dengan sistem demokrasi. Dalam sistem tersebut,
setiap individu memiliki hak yang sama. Setiap individu memiliki peluang yang
sama mengakses pendidikan, perlindungan hukum, dan peluang karier. Oleh sebab
itulah demokrasi itu sangat mahal harganya sehingga patut dijunjung tinggi.
Keberlangsungan politik dalam sistem demokrasi dijaga melalui mekanisme pemilihan umum yang memberikan hak suara yang setara kepada setiap individu. Setiap warga negara memiliki hak untuk menentukan para pelaksana kebijakan politik. Namun, dalam praktiknya, di sejumlah daerah, idealisme demokrasi sering kali terciderai oleh praktik politik uang. Suara rakyat, yang seharusnya bernilai tinggi dan dijaga kehormatannya, terkadang tergantikan oleh iming-iming materi.
Tidak jarang, dukungan finansial dari kalangan tertentu, termasuk pengusaha berkepentingan, turut mewarnai proses pemilihan. Bantuan tersebut kerap dipandang sebagai bentuk investasi, yang pada akhirnya menuntut timbal balik ketika calon yang mereka dukung berhasil meraih kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, proyek-proyek pembangunan yang seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat, kadang menjadi sarana untuk memenuhi komitmen-komitmen yang telah disepakati sebelumnya.
Dengan demikian, cita-cita demokrasi yang luhur perlahan mengalami pelemahan. Demokrasi bukan lagi menjadi ruang bersama untuk mewujudkan kepentingan publik, tetapi cenderung dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang merugikan banyak pihak.
Tentu saja, tidak semua daerah terjerumus dalam praktik yang merusak nilai-nilai demokrasi. Masih ada kepala daerah yang memegang teguh integritas dan menjalankan amanah dengan jujur. Mereka yang berupaya menjaga integritas sering kali dianggap berbeda—bahkan dicurigai—oleh sebagian pihak yang merasa kepentingannya terganggu. Tak jarang pula, kebaikan mereka justru menjadi sorotan, dan sedikit kekeliruan pun dapat diperbesar serta diproses dengan cepat dan masif.
Kondisi semacam ini turut memengaruhi kualitas pembangunan. Alih-alih menjadi wujud nyata dari kesejahteraan rakyat, proyek infrastruktur sering kali dijalankan sekadar untuk memenuhi formalitas. Hasilnya pun acap kali kurang bertahan lama—mudah rusak, lalu dibangun kembali, berulang tanpa akhir. Seakan-akan pembangunan hanya menjadi siklus yang terus berputar tanpa arah yang jelas.
Reviewed by Miswari
on
20.16
Rating:

Tidak ada komentar: