Saat sedang mencari sesuatu di rumahnya, Apa Cantoi menemukan sebuah kardus yang berisi Majalah Nasional. Jumlahnya sangat banyak. Semuanya edisi lama. Sambil membersihkan, dibolak-baliknya beberapa majalah. Sebagian hanya melihat gambar-gambarnya saja. Sebagian dia membacanya. Tidak terasa, Apa Cantoi telah menghabiskan waktu setengah hari bersama sekardus majalah itu.
Selesai makan siang, Apa Cantoi duduk
bermenung di serambi rumahnya. Dia semakin sadar bahwa negerinya sudah sangat
banyak berubah. Dulu orang-orang hidup dalam zaman modern. Sekarang dirasanya
seperti tinggal di Afghanistan. Dulu orang-orang hidup dengan bahagia, sekarang
penuh dengan peraturan. Dulu orang-orang hidup dengan ilmu pengetahuan,
sekarang hidup dalam kebencian.
Apa Cantoi terkenang masa-masa sebelum dia
sekolah di bawah Departemen Hukum. Dulu orang-orang suka membaca Koran Nasional dan Majalah Nasional.
Di setiap kecamatan terdapat loper koran yang menyediakan itu. Bahkan ada Tabloid
Sepak Bola dan Majalah Sepak Bola. Sekarang tidak. Koran Daerah
saja sudah sulit ditemukan. Dulu bapak-bapak banyak yang suka membaca Majalah
Nasional.
Dulu ibu-ibu juga suka membaca majalah dan
tabloid. Sekarang hanya membaca status Facebook. Ibu-ibu dulu juga suka baca
buku. Mereka juga membaca buku dan novel-novel Hamka, AA Navis, Marah Rusli,
dan sebagainya. Sekarang hanya menonton sinetron dan drama Korea.
Sambil merenung, tiba-tiba Apa Subra datang
menghampiri. Apa Subra sekampung dengan Apa Cantoi. Waktu muda Apa Subra adalah
anggota kelompok panggung hiburan sandiwara Cahaya Harapan. Kelompok itu
mengisi panggung hiburan pada acara-acara tertentu seperti hari pasaran,
pagelaran budaya, pasar kaget, dan pasar malam. Setelah acara panggung
sandiwara mulai redup, kelompok mereka mulai melakukan pertunjukan melalui
sandiwara radio. Setelah itu, ketika pamor radio meredup, menyesuaikan diri
dengan pergerakan jaman, kelompok itu melanjutkan profesinya sebagai seniman
hiburan melalui film komedi. Pada awal bermain film, mereka menyebarkan filmnya
melalui video piringan putih. Setelah model itu surut, orang-orang mulai tidak
membeli alat putar piringan putih, Apa Subra mulai memutarkan film mereka
melalui daring. Mereka mendapatkan pemasukan melalui iklan media sosial. Tidak
banyak, tetapi itu cukup buat Apa Subra yang kini hanya hidup berdua dengan
istrinya. Anak-anak mereka sudah berkarier entah di mana-mana. Hanya lebaran
saja mereka pulang.
Apa Subra mencoba menginspirasi Apa Cantoi
agar move on. Tidak perlu terlalu terlena dengan masa lalu. Apa Subra
berusaha menularkan semangat kepekaan zaman yang dia miliki supaya Apa Cantoi
mampu berpandangan realistis.
"Sebenarnya bukan itu persoalannya,” kata
Apa Cantoi, “yang disayangkan adalah merosotnya kualitas manusia pada masa
perkembangan teknologi dan informasi. Setiap informasi dipelajari secara
instan. Serba sepintas lalu. Kemudian ditanggapi secara panjang lebar. Orang
sekarang terlalu banyak berbicara dan sedikit membaca,""Sebenarnya hal-hal masa lalu yang
terlalu membuat kita terpesona juga tidak baik-baik amat,” Apa Subra melirik
kardus berisi setumpuk majalah. “Lihat saja Majalah Nasional misalnya.
Mereka mampu melaporkan berita secara investigatif. Memang karena punya orang
jenius di dalamnya. Tetapi mereka tetap butuh modal banyak untuk investigasi
berita. Perlu juga membayar orang-orang jenius itu. Tetapi dari mana mereka
mendapatkan uangnya?"
Apa Cantoi tidak sempat menjawab. Apa Subra
menjawab sendiri. "Dari iklan-iklan. Itulah yang membuat mereka tidak
benar-benar baik sebagaimana yang Apa pikirkan. Mereka tidak konsisten. Pada
satu halaman mereka melucuti pelaku korupsi yang telah ditangkap. Tidak jarang
juga mereka mengendus dugaan korupsi yang membuat penegak hukum tergerak
mengusut."
"Mereka memang pahlawan," timpal Apa
Cantoi.
"Iya. Tetapi pada halaman selanjutnya
mereka memajang iklan mobil mewah keluaran terbaru. Juga mempromosikan tempat
wisata yang menggiurkan. Terkadang mengiklankan perguruan tinggi
bergengsi."
"Terus masalahnya apa?" tanya Apa Cantoi.
"Tidakkah Apa menduga, jangan-jangan
iklan mobil mewah itulah yang menggerakkan seseorang untuk korupsi. Karena
iklan itu pejabat jadi ingin punya mobil baru. Uangnya tidak cukup, lalu dia
korupsi. Jangan-jangan iklan itu yang membuat mereka korupsi karena ingin
menikmati paket wisata yang menggiurkan. Jangan-jangan iklan itulah yang
membuat seorang kontraktor berlaku curang. Dia ingin menyekolahkan anaknya di
kampus bergengsi."
Apa Cantoi mendengar dengan baik. Mencoba
menangkap maksud Apa Subra. "Ambigu juga kalau begitu, ya?"
"Loh. Kok begitu, Apa?" Apa Subra
khawatir Apa Cantoi salah Paham. Dia sendiri ingat dirinya kini hidup antara
lain dengan dengan biaya iklan. Tidak ada yang bisa menghindari iklan. Dengan
iklan banyak hal bisa dikonsumsi secara mudah.
"Iya. Pada satu halaman mereka mengumpat
koruptor habis-habisan,” Apa Cantoi menafsirkan, “halaman lainnya mereka
memotivasi munculnya koruptor. Lalu ada koruptor lagi. Diumpat lagi. Dimotivasi
lagi dengan iklannya. Uang iklan dipakai untuk menginvestigasi koruptor. Begitu
terus-menerus."
Apa Cantoi tertawa sendiri. Lalu berkata lagi,
"Saya jadi teringat ada perusahaan rokok yang punya yayasan yang fokus
membantu penderita sakit paru-paru".
Mereka tertawa bersama. Apa Subra melanjutkan.
"Saya juga pernah mendengar ada pengusaha perkebunan yang telah membabat
puluhan ribu hektare hutan tropis. Tetapi dia punya yayasan rehabilitasi satwa
liar.”
Mereka tertawa lagi.
"Saya pernah nonton film. Setelah memukul
anak buahnya babak-belur, bos mafia memberinya uang untuk berobat," kata
Apa Cantoi.
Mereka tertawa lagi.
Mereka asyik sekali mengobrol. Menjelang sore Apa
Subra pamit. Sebenarnya Apa Subra ingin mengembalikan semangat Apa Cantoi;
karena sejak pulang sekolah di bawah Departemen Hukum, Apa Cantoi menjadi suka
murung. Orang-orang menduga, setelah kepulangannya, Apa Cantoi tidak membawa
pulang semua rohnya.
"Sebagian rohnya sudah jatuh," kata
Kak Boyti sambil melotot dan muka yang amat serius. Orang-orang percaya saja
pada pandangan Kak Boyti. Karena dia tinggal tidak jauh dari rumah Apa Cantoi.
Bisa jadi, besar kemungkinan, Apa Cantoi telah
kehilangan sebagian rohnya saat melanjutkan pendidikan di bawah Departemen
Hukum. Tidak tertutup kemungkinan dia kehilangan sebagian rohnya ketika latar
belakang dia melanjutkan pendidikan terjadi. Apa Subra menduga, Apa Cantoi
menjadi suka termenung karena jiwanya tidak siap menerima kenyataan perubahan.
Tidak dapat dimungkiri, perubahan itu sangat
mencolok. Dulu bukit-bukit indah berdiri. Sekarang sudah dikeruk di mana-mana.
Anehnya beberapa pemerintah daerah punya target pemasukan pajak sekian-sekian
setiap tahun dari hasil tambang tanah dan pasir. Sehingga penambangan bukit dan
pasir sungai sangat marak. Abrasi, erosi, banjir bandang lumrah saja terjadi
setiap musim hujan.
Apa Cantoi bertanya-tanya, apa yang dipikirkan
oleh mereka yang mengendalikan semua ini. Bukankah pemasukan dari pajak galian
tambang pasir dan tanah tidak ada apa-apanya dibandingkan biaya penanggulangan
bencana akibat tambang itu. Belum lagi kerugian tak tak terhitung dari
masyarakat. Tidak hanya digenangi air, bahkan sebagian masyarakat rumahnya
hanyut dibawa banjir. Sebagian rumah tertimbun longsor akibat penambangan. Bukankah
pemasukan dari perusakan alam sama sekali tidak sebanding dengan kerusakan
infrastruktur yang telah dan akan dibangun.
Apa Subra selalu berusaha mengajak Apa Cantoi
supaya bersedia ikut bersama timnya membuat film komedi. Pernah Apa Subra
merayu, "Selain bisa mendapatkan penghasilan, kita juga dapat melakukan
kebaikan dengan menghibur orang.” Tetapi setelah berkata itu Apa Subra teringat
ada yang salah dengan ucapannya. Bagaimana seseorang yang suka murung dapat
menghibur orang lain?
Sebenarnya Apa Cantoi pernah bersedia ikut
main film. Tetapi saat itulah yang membuat Apa Cantoi semakin murung.
Menurutnya negerinya menjadi semakin berbeda.
Mereka pergi bertiga ke barat. Saat bensin
kendaraan merosot, mereka menemukan sebuah pompa bensin. Pelayanannya tutup.
“Tutup. Magrib,” begitu tertulis.
“Kenapa mereka tidak gantian melayaninya.
Petugasnya kan banyak,” keluh Apa Cantoi.
“Menghormati waktu salat,” jawab Apa Rajab.
“Tidak menghormati musafir?” bantah Apa
Cantoi.
“Loh, musafir buat apa dihormati. Mana
lebih terhormat. Waktu magrib apa musafir?” suara Apa Rajab meninggi.
“Tak apa. Lagi pula kita butuh istirahat,” Apa
Subra menengahi.
Waktu pulang ada ketegangan lagi. Mobil mereka
dihentikan petugas. Mereka diminta untuk ke masjid salah Jumat.
“Kami musafir,” jawab Apa Cantoi yang sedang
berusaha senyum manis kepada petugas yang sedang senyum seindah pramugari.
Apa Subra langsung mencari arah ke masjid.
“Kenapa
dihentikan. Bukannya musafir memiliki keringanan?” tanya Apa Cantoi.
“Beberapa
ruas jalan ditutup sebagai bentuk penghormatan atas ibadah salat Jumat. Lebih
baik ke masjid. Salat kan membuat perjalanan kita semakin ringan nanti,”
jawab Apa Subra santai.
“Sepertinya hukum agama memberikan keringanan
bagi musafir,” bantah Apa Cantoi.
“Apa jangan sok tahu. Mereka lebih paham
agama. Bisa rusak negara ini kalau orang awam seperti kita banyak komentar
tentang agama. Ikuti saja aturan,” sanggah Apa Rajab. “Orang-orang sedang salat
semua, harus dihormati.”
Apa Cantoi bingung. Apa Rajab melirik dengan
muka masam.
“Kalau begini, bagaimana pelancongan bisa
maju?” Apa Cantoi mengoceh lagi.
“Memangnya kalau melancong boleh seenaknya?” Apa
Rajab meledak. Geram dengan tingkah Apa Cantoi. Enggak salat, begitu?”
Kedua temannya sudah turun hendak masuk
masjid. Apa Cantoi bergeming. “Aku musafir. Jamak saja.”
Dengan jengkel Apa Rajab berkata, “Sudah. Di
situ saja. Kalau ditangkap petugas, kami tinggal di sini. Pulang sendiri.”
Apa Subra merangkul Apa Rajab ke tempat wuduk.
Apa Rajab masih mengomel, “Kalau malas salat, ya malas saja. Jangan banyak
komentar”.
Setelah kejadian itu, Apa Cantoi semakin
murung. Apa Subra juga semakin sulit menemukan cara membuat Apa Cantoi kembali
menjadi manusia yang bergembira: Seperti sebelum dia melanjutkan pendidikan di
bawah Departemen Hukum.
Reviewed by Miswari
on
08.35
Rating:
Tidak ada komentar: