Ayah menyerahkan Chevrolet Luv 1994
warna hijau dan mendapatkan sebuah rumah di Meunasah Dayah (Masda) Bireuen.
Lorong Makmur Nomor Dua, lorong samping selatan Masjid Agung Sultan Jeumpa.
Rumahnya berwarna putih, unik karena bagian depannya sejajar, berbeda dengan
rumah orang yang sisi kamar menonjol dibandingkan sisi ruang tamu. Tetapi
desainnya menarik. Terdapat empat kamar, dengan kamar utama yang memiliki kamar
mandi.Di samping ruang tamu ada sebuah
kamar terpisah yang menjadi kamarku. Di depan kamarku ada dua kamar. Di
belakang kamarku ada ruang yang dijadikan tempat menonton TV sekaligus di sana
diletakkan meja makan. Dapurnya saat kami beli belum dibuat, hanya sebuah dapur
seadanya. Di sampingnya langsung sebuah WC kecil. Ayahku habis sarapan selalu
menunggu sejenak untuk kemudian berlama-lama di sana.
Di belakang rumah ada halaman yang
agak luas. Di balik halaman belakang adalah pemakaman umum desa. Ada banyak
pohon besar dan tinggi di sana. Seberang jalan depan rumah adalah tanah kosong
entah milik siapa. Selanjutnya ada aliran kecil yang mungkin dulunya sungai.
Tidak ada yang unik di halaman depan. Pagar pun tidak ada. Ayah membangun
sebuah tempat beratap daun sebagai tempat parkir mobil. Ayah pernah mengaku,
tinggal di Matang lebih membuatnya bahagia daripada di Bireuen. Aku dapat
menduga alasannya karena siklus para toke dagang banyak di Matang. Profesi
ayahku berkaitan dengan itu.
Aku ingat libur caturwulan pertama
di pesantren, aku masih pulang libur ke Paya Cut. Setelah itu baru kami pindah
ke Masda. Pertama kali ke Masda aku tersesat saat berkeliling desa itu,
jalannya terlalu banyak. Masih pada masa awal pindah ke sana, aku dan Matahtir
yang masih usia empat tahun naik WimCycle ungu. Dia kuletakkan pada setang.
Asumsiku dia di setang berarti bisa memegang setang. Jadi tanganku kulepaskan
dari setang. Seketika sepeda berbelok masuk parit depan SD.
Aku kabur dari pesantren pada
semester akhir kelas tiga dan menyelesaikan di MTs Simpang Empat Bireuen.
Dengan sekolah MTs, uang jajanku turun drastis menjadi dua ribu rupiah sehari.
Aku ingin punya sepeda. Susah payah kukumpulkan hingga berhasil membeli sebuah
sepeda. Kucat warna merah. Biar tampak seperti sepeda anak orang kaya, kupasang
tanduk setang. Tetapi dasar sepeda tua, banyak masalahnya. Bahkan aku pernah
membopong sepeda tanpa ban depan ke sekolah dengan maksud ke bengkel sepulang
sekolah.
Uang jajan dua ribu rupiah dengan
ekspektasi beragam membuatku hidup sangat tertekan. Bahkan aku nyaris melakukan
dosa yang tidak dapat diampuni ketika merusak sinyal parabola receiver yang
digemari ayah. Aku juga punya niat membuat ayahku marah besar, namun urung
kulakukan. Masa itu juga aku pernah kabur dari rumah dan membayangkan ke pantai
Lhokseumawe. Aku juga pernah kabur ke Lhokseumawe setelah melakukan suatu
keburukan atas sesuatu milik ayahku yang kusembunyikan di bawah meja tak
berlaci.
Aku punya banyak teman di Masda.
Awalnya tempat mangkal kami adalah sebuah bale-bale di depan rumah salah
seorang teman bernama Ber. Rumahnya di salah satu lorong depan rumah orang kaya
di desa itu. Adik perempuan Ber sepertinya menaruh rasa padaku, tetapi tidak
terlalu kupedulikan karena abangnya adalah temanku. Kami tidak lama mangkal di
sana. Ayah Ber dan masyarakat sekitar kurang nyaman dengan kehadiran kami. Lagi
pula di situ banyak nyamuk.
Tempat mangkal kami yang langgeng
adalah sebuah bale-bale belakang warung Kak Mur, ibunya Kir, salah seorang
teman kami. Sebenarnya kami sering membuat keributan dan pernah beberapa kali
ditegur warga sekitar. Tetapi tidak terlalu kami hiraukan karena kami belum
paham bahwa orang-orang terganggu dengan suara kami mengobrol dan tertawa.
Pada suatu sore, saat aku baru
masuk MTs, Teungku An patroli bersama beberapa santri kelas delapan (ada
delapan kelas di Dayah Masda berdasarkan kualifikasi keilmuan). Santri-santri
yang bolos semuanya lari pontang-panting melarikan diri dan bersembunyi. Salah
seorang teman tergores seng dan luka parah saat sembunyi di balik seng yang
ditegakkan di lokasi rumah yang sedang dibangun. Beberapa berhasil diamankan ke
lokasi dayah yang terletak sekitar meunasah. Urusan lari dan bersembunyi adalah
perkara sangat mudah bagiku. Meskipun sebenarnya aku saat itu bukan santri
Dayah Masda, tentu aku harus ikut lari dan bersembunyi karena aku sedang duduk
dengan mereka yang bolos mengaji. Aku lari dan meninggalkan sepeda merahku.
Tidak kusangka sepedaku ditawan. Terpaksa aku ke meunasah untuk mengambil
sepedaku yang tidak kusangka ditahan karena aku bukan santri. Teungku An tentu
saja tidak mengenal semua santrinya yang sangat banyak itu. Aku ikut dihukum
bersama santri bolos lainnya.
Beberapa hari kemudian aku menjadi
santri dayah itu. Saat dites kemampuan, aku mampu membaca kitab Arab gundul dan
bisa menerjemahkannya. Tentu saja itu karena aku sudah hampir tiga tahun di
pesantren Medan. Aku langsung ditempatkan di kelas enam. Sebulan kemudian,
karena kesulitan membaca Arab Melayu, aku dipindahkan ke kelas empat. Padahal
mengaji di kelas enam sangat enak karena Teungku An yang dikenal tinggi ilmunya
itu sering masuk.
Aku kagum dengan kemampuan Teungku
An mensyarah kitab. Beliau menggunakan banyak analogi yang menghibur dan mudah
dipahami. Di tengah-tengah pengajian beliau banyak bercerita kisah-kisah yang
menarik dan penuh hikmah bagi kehidupan sehari-hari. Aku tidak dapat melupakan
kenangan mengaji bersama beliau. Di kelas empat aku mengaji bersama Teungku
Yus. Beliau sudah tua. Kurang menarik syarahnya. Bahkan kami belajar di ruangan
kantor dekat meunasah yang panas dan banyak nyamuk. Aku ingat aku pernah
memecahkan sepotong kaca vertikal saat memarkir sepeda dan harus mengganti
sebesar enam ribu rupiah.
Yang paling nikmat saat di Masda
adalah bulan puasa. Kami kabur setelah rakaat kedelapan salat tarawih. Kami
kabur ke bale-bale belakang warung Kir. Pernah suatu malam, sekelompok orang
bersenjata lewat di jalan samping bale-bale untuk ke kota dan membunyikan
senjata. Aku sama sekali tidak menyadari mereka lewat, sangat senyap. Aku hanya
tahu itu keesokan harinya.
Sehabis tarawih kami bolak-balik
secara bergantian antara bale-bale dan meunasah untuk nongkrong dan ikut
tilawah. Terkadang kami keluyuran ke pasar yang sudah sepi hanya untuk
jalan-jalan. Setiap orang punya sarung. Ada yang dipelintir di leher, ada yang
diikat di pinggang, ada yang dipasang ke kepala menjadi ninja. Ketika
perang-perangan berlangsung, semuanya mengikat salah satu ujung sarung untuk
menyerang.
Terkadang, baik sedang berada di
pasar atau lokasi tongkrongan, senjata berbunyi keras. Pertanda akan terjadi
perang asli. Kami masing-masing kabur ke rumah. Saat pertama kali aku mendengar
suara perang asli, suara senjata itu kukira suara batu-batu yang sedang
ditumpahkan dari dump truk. Saat itu sedang puasa. Kebetulan jalan dekat rumah
sedang diperbaiki. “Kukatakan, kenapa sudah waktu buka puasa masih kerja
pembuatan jalan,” rupanya itu suara tembakan. Jaraknya sekitar satu kilometer.
Tetapi terdengar seperti jarak sepuluh meter.
Pernah kelompok kami usia remaja
asal Masda sering bertandang ke lokasi sebuah rumah di Kommes (Komplek Masjid).
Di sana kalau malam ada banyak remaja putri. Kami datang untuk apel
berkelompok. Tidak jelas siapa pacarnya siapa. Suatu malam, saat sedang menuju
ke sana, tiba di sebuah lorong depan masjid, terdengar suara senapan mesin yang
sangat memekakkan telinga. Temanku melompat ke dalam parit kering. Dia menarik
aku, tetapi aku melawan. Kataku itu sumber tembakan sebenarnya jauh. Dia tetap
menarikku hingga terjatuh ke dalam parit. Suara tembakan terasa semakin kencang
dan seperti tidak mau berhenti. Saat itu aku ikut ketakutan karena dari dalam
parit kulihat banyak peluru beterbangan di atas kami. Saat itu baru aku tahu
ternyata peluru yang sedang terbang di malam hari mengeluarkan api seperti
roket luar angkasa yang sedang menembus atmosfer. Salah satu peluru mengenai
seng tepat di atas kami. Kalau saja aku tidak terjatuh saat ditarik pada kali
kedua oleh temanku itu, tentu aku sudah Innalillahi. Sayang sekali,
beberapa minggu kemudian, teman yang menarikku itu Innalillahi karena
dia ngotot mengambil sisa timun setelah dipanen di sawah. Semangka setelah
dipanen, sisa buah kecil dan kurang merah, diabaikan pemilik. Kami mengambilnya
di pagi hari. Dia ngotot mengambil setelah zuhur meski kami larang. “Habis
zuhur kurang aman, besok saja kita ambil lagi,” kata Hen. “Iya,” jawabku,
“masih banyak buah yang bagus,” aku menambahkan.
Aku ingat saat itu kami sedang di
bawah pepohonan rimbun berbaris memanjang berlokasi belakang SD Masda. Tanah di
bawahnya juga rata dengan pasir-pasir halus. Ada beberapa baris rumah menghadap
pepohonan itu, tidak ada satu rumah pun berpagar. Di belakang rumah adalah
sawah yang terbentang luas. Jadinya bawah pepohonan rimbun itu sangat segar dan
sejuk. Lebih nikmat daripada berada di pantai. Setelah obrolan itu kami pulang.
Naas. Dia ngotot untuk menjemput maut. Dia ke sana setelah kembali ke rumahnya untuk
makan siang. Kabarnya, dia terkena tembakan di perut. Nasi yang baru dimakan
keluar bersama darah.
Ternyata memang peluru itu jauh
lebih ganas daripada di film. Aku pernah melihat sebuah dump truk terparkir
depan MTs terkena peluru. Peluru menembus pintu belakang bak dump yang tebal,
menembus dinding bak bagian depan yang tebal, menembus bagian belakang ruang
kabin dan bersarang di bagian tengah setir.
Pernah beberapa kali saat kami
sedang belajar, terjadi tembak-menembak dengan senjata mesin. Jalan Gayo yang
sebenarnya dua arah, seketika menjadi satu arah. Semuanya mengarah ke selatan.
Lari menyelamatkan diri ke rumah masing-masing. Aku yang waktu itu masih kelas
tiga MTs hanya terpana saja. Terpana karena kaget jalan dua arah seketika
menjadi satu arah. Naluri bertahan hidupku saat itu sangat rendah. Jangankan
sedang berada di ruang kelas, saat berada di pasar pun aku tidak punya
inisiatif menyelamatkan diri. Aku hanya memperhatikan sekelompok Brimob
berpakaian serba hitam menembakkan senjata laras panjang ke atas. Ajaib, dalam
waktu kurang satu menit, kota yang sedang ramai tiba-tiba berubah sepi. Brimob
yang melihatku abai begitu saja. Waktu itu aku tidak takut apa-apa. Belakangan
setelah konflik mereda, aku paham bahwa aku sedang berada dalam situasi yang
sangat mencekam. Orang dewasa paham bagaimana masa itu sangat menegangkan. Saat
terjadi kontak senjata ketika sedang belajar, guru kami malah tiarap ke bawah
meja.
Di Masda, saat sedang duduk di
tempat tongkrongan lainnya, sebuah warung dekat SD, sering seorang pria lewat
dengan Honda Pro. Beberapa waktu kemudian akan terjadi tembakan. Biasanya bila
sedang bermain dan terdengar tembak-menembak, aku pulang karena semua teman
pulang.
Sore hari biasanya kami bermain
sepak bola. Ada seorang dewasa yang suka mengganggu kami. Kalau dia tidak ada,
main bola jadi menyenangkan. Kami bermain di sebuah kebun kelapa. Itu sangat
rumit karena tantangan tidak hanya dari tim lawan, namun juga batang-batang
kelapa. Pernah ada kiper menendang bola terbentur batang kelapa. Bola masuk ke
gawangnya dan dianggap gol.
Terkadang aku juga ikut bermain
sepak bola di lapangan desa yang terletak di sebuah bukit. Kalau menjadi kiper,
sulit bagiku menghalang bola masuk ke gawang karena permainan tidak teratur.
Tidak ada yang mau jadi bek. Semuanya ingin menyerang. Semuanya ingin mencetak
gol. Jika sedang ada pertandingan penting, kami bermain di tanah lapang pinggir
lapangan. Yang paling lelah adalah kiper. Bila bola melambung jauh, kiper harus
mengambilnya. Terkadang jatuh ke tebing dan menyangkut di rumpun bambu.
Pada satu malam, bulan puasa, Bri
mengatakan bahwa ada pesantren kilat satu minggu.
“Dapat makanan gratis selama seminggu.”
“Bayar berapa?”
“Cuma Lima Ribu Rupiah.”
Aku kaget, hanya bayar Lima Ribu
Rupiah, dapat makan selama satu minggu. Ini luar biasa menurutku. Aku pun
datang ke MTs untuk mendaftar. Dan ternyata itu adalah Latihan Basic
Training (LBT) Pelajar Islam Indonesia (PII). Beberapa hari setelah pulang
dari training itu, di kamar rumahku, aku merasa terjadi sesuatu yang berbeda
dari diriku. Aku merasa menjadi orang yang berbeda dari orang kebanyakan. Aku
menyadari diriku punya kelebihan, yakni kemampuan artikulasi pikiran. Itu pasti
karena training PII.
Selama di Masda, aku sangat suka
menonton film India. Itu sudah terjadi sejak aku masih di pesantren. Bahkan aku
jadi menguasai banyak kosakata bahasa India. Poster-poster tentang aktor India
banyak kukoleksi. Aku membeli banyak video lagu India dan telah menyewa banyak
disk video film India.
Cover-cover disk lagu India
kutempel di dinding kamar bersama poster-poster. Ada poster Shahrukh Khan,
Aamir Khan, dan lain-lain.
Suatu sore aku jalan-jalan ke
Masjid Agung. Kulihat banyak orang naik bak truk. Aku ikut naik, kukira hendak
keliling kota seperti mobil pembawa pengeras suara keliling kota hendak
memberitakan pertandingan sepak bola. Rupanya mobil itu bergabung dengan banyak
mobil lainnya hendak ke Banda Aceh menggelar Referendum jilid dua. Aku panik.
Malam macet parah. Belum pernah sebelumnya aku melihat iringan mobil sebanyak
itu. Dari tikungan pinggir sawah, iringan panjang mobil terlihat jelas. Aku
kelaparan. Kami memakan apa saja seperti buah pada pohon pinggir jalan depan
rumah orang. Menjelang subuh aku baru tiba di rumah.
Ketika aku kuliah, perlahan rumah di Masda dibuat dapur.
Ukurannya sangat besar. Belum selesai dibuat dapr itu, Ayah meninggal. Beliau
tidak punya uang untuk berobat. Sementara aku sendiri tidak dapat berbuat
apa-apa karena harus memperjuangkan kuliahku dengan cara berjualan keliling. Ketika
aku di Jakarta untuk S2, rumah dijual dan ibu membeli tanah yang luas di
Tanjong Beuridi dan membuat rumah di sana. Rumah yang dibuat tidak selesai,
hanya hingga batu-bata dan atap dan sudah bisa ditempati. Aku meminta sedikit
uang dari hasil penjualan rumah di Masda untuk menyelesaikan S2.
Reviewed by Miswari
on
21.39
Rating:
Tidak ada komentar: