PII Bireuen

 


Aku terlalu sibuk dengan PII. Pulang dari Medan, aku benar-benar terlarut dengan PII. Waktu itu 2004, aku tamat dari Medan, pulang ke Meunasah Dayah (Masda), dan aktif dalam seluruh kegiatan PII Bireuen. Aku tidak memungkiri PII telah memotivasiku untuk melanjutkan pendidikan. Juga telah membuat aku termotivasi membaca buku, kemudian di sana aku juga mulai menulis. Menulis pada buku tulis yang kusediakan setiap hari di dalam tas bersama pulpen dan selalu ditemani buku bacaan.

Waktu itu, untuk kali pertama aku tidak bisa lepas dari buku adalah saat aku membaca buku Aa Gym, Menjadi Muslim Prestatif. Buku itu memberikan inspirasi sekaligus motivasi tentang bagaimana menjadi remaja muslim ideal. Kemudian aku membaca buku Yusuf Qardhawi tentang karakter pemuda Islam yang unggul. Buku itu sangat bagus bagi seorang aktivis Islam muda sepertiku. Terdapat beberapa buku lainnya yang kubaca dalam durasi antara tamat dari Medan hingga ke Banda Aceh untuk kuliah.

Pada masa itu, sekretariat PII Bireuen berada di Simpang Empat bekas losmen Murni. Sejak aku ikut Latihan Basic Training (LBT) pada 2002, sekretariat sepertinya sudah di sana. Pastinya 2003 saat aku mengikuti Latihan Intensif Brigade (LIB), sekretariat sudah di sana. Ketika bencana tsunami 2004, sekretariat masih di situ.

Aku ingat sekali saat kami mengikuti materi PI pada LIB, kami dibagi dua kelompok untuk memperebutkan sebuah peta yang dipisah dua. Itu adalah materi putar otak, peras tenaga, asah kekompakan, bergelut dengan emosi, dan seterusnya. Aku ingat kami menjalankan materi itu di bekas losmen Murni yang waktu itu dijadikan gudang mobil truk. Jadilah area materi kami di antara mobil-mobil besar yang terparkir. Sepertinya hanya materi itu yang dilaksanakan di sekretariat. Karena lokasi kami sebenarnya adalah MtS Bireuen yang waktu itu di Simpang Empat seberang sekretariat dan sebuah sekolah dalam kompleks masjid di Juli.

Aku ingat kami baru pulang selesai acara subuh Hari Raya Idul Fitri. Acaranya lebih sepuluh hari. Saat hendak berangkat ke lokasi, karena terlalu lasak, aku sempat ditempeleng dan dihukum sikap taubat oleh senior PII bernama Fir dari Banda Aceh. Yang kuingat lagi, pada salah satu materi di MtS Bireuen, seorang teman dalam materi tertentu dari kelompok kami, disembunyikan dan tertidur di bawah susunan bangku pada markas kelompok rival kami. Sepertinya di MtS sekitar empat atau lima hari, kemudian di Juli sekitar empat atau lima hari. Aku sangat ingat kami dipindahkan ke Juli dengan berjalan kaki dari MtS dan di sana saat tiba diawali dengan berbaris. Aku juga ingat, sepertinya itu hari terakhir, kami kembali lagi ke MtS dan di sana diajari materi tentang menggunakan alat panjat tebing. Aku ingat turun dari lantai dua menggunakan tali yang dikaitkan dengan alat tertentu di pinggang. Sangat nikmat.

Juga di MtS aku ingat saat LIB, di MtS, kami berbaris di depan kelas dan bersenam. Aku melakukannya dengan semangat, karena memang aku bersemangat dalam setiap acara PII.

Lokasi MtS itu memang sangat berkesan bagiku terkait acara PII. Karena setahun sebelum LIB, tepatnya Ramadhan 2002, aku ikut LBT di lokasi itu. Masyarakat sangat antusias. Bahkan acara yang seharusnya tujuh hari itu menjadi sembilan hari karena jatah masyarakat menghantar menu berbuka puasa buat kami belum selesai. Acara LBT aku ingat hari pertama dan kedua itu tidak menarik. Makanya banyak di antara kami yang kabur pada hari ketiga kabur melalui jendela kelas yang disulap menjadi kamar PII Wan, memanjat tembok dan kabur. Aku saat hendak menyusul memanjat tembok, datang seorang panitia yang kemudian kutahu bernama Ade. Kami diminta segera ke musholla yakni kelas lainnya yang disulap menjadi musholla.

Pulang dari musholla aku jadi lupa untuk melanjutkan rencana kabur. Selanjutnya terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan. Esok harinya aku merasakan kenikmatan yang luar biasa dengan kegiatan ini. Bahkan saat acara usai, aku merasa tidak ingin kembali pulang. Bahkan sehari setelah selesai kegiatan, aku kembali ke MtS karena rindunya dengan PII dan kegiatannya. Sepuluh hari itu sangat mengesankan. Bahkan aku sempat naksir seorang peserta yang setelah training selesai aku mencari rumahnya namun gagal menemuinya.

Aku ingat saat LBT kami selalu buka puasa dengan menu yang lezat karena antusiasme masyarakat yang tinggi. Aku ingat materi, setiap peserta diminta memilih salah seorang antara dokter, tentara, guru, anak kecil untuk diselamatkan bila terjadi kapal tenggelam. Setiap orang berdebat untuk mempertahankan pendapatnya.

Bertahun-tahun kemudian setelah menjadi instruktur, aku paham bahwa siapa yang dipilih tidak penting. Materi itu bertujuan membuat para peserta berani berbicara di depan orang banyak, berani mengemukakan pendapat, berani memberikan argumen dan mempertahankannya.

Aku tidak asing dengan MtS yang kemudian menjadi kampus Muhammadiyah itu. Aku menyelesaikan semester akhir MtS di sana. Setelah training berakhir, aku galau dan kangen dengan PII. Pada hari Lebaran, seorang teman di Meunasah Dayah Bireuen (Masda), memperkenalkanku dengan Ben, temannya waktu training 2001 di SMP 1 Bireuen. Bersama Ben, aku ikut rangkaian silaturahmi kader dengan para Keluarga Besar (KB) PII. Aku sangat canggung karena semuanya adalah senior dan tidak ada satu pun teman seangkatan training. Tapi aku harus menikmatinya karena aku kangen PII. Lagi pula rumah-rumah KB itu besar-besar dan mereka semua orang kaya, sehingga kue-kue lebarannya enak semua. Belakangan aku paham bahwa sebenarnya banyak KB yang tidak kaya, tetapi dianggap seolah bukan KB karena mereka tidak punya uang dan tidak bisa diandalkan kalau ada kegiatan PII. Lagi pula, untuk menjamu tamu saja tentu mereka akan kerepotan.

Setelah silaturahmi yang berlangsung beberapa hari ke banyak rumah dengan suasana hatiku yang canggung itu, aku kembali ke Medan untuk sekolah. Baru bulan puasa 2003 aku dapat melepaskan luapan rasa rindu pada PII pada training di Juli. Suasana training itu sangat meriah. Bahkan lebih meriah daripada PKP yang dilakukan setelah PKP Susoh. Suasana ke-PII-an tidak hanya berlangsung sekitar lokasi training dan lokasi kepanitiaan yang bertempat di Masjid Keude Dua, tetapi hampir seluruh kecamatan Juli. Training itu meriah selain antusiasme panitia yang sangat tinggi, peserta yang ramai, namun juga karena warga Juli umumnya adalah kader PII.


Lokasi menginap dan aktivitas panitia adalah pada kelas-kelas yang ada di gedung belakang masjid. Aku sangat bersemangat hingga mencuci piring saja bisa lebih seratus sekali duduk. Meja kami susun menjadi tempat tidur. Pernah sekali sekitar jam sebelas aku tidur, seorang kader senior dari Banda Aceh datang ke ruang tidur panitia laki-laki. PII wan itu berkata saat melihat aku tidur, ''Ganteng sekali dia. Sudah tidur saja sangat tampan,'' aku yang belum benar-benar tertidur merasa tersipu. Dan semakin cepat tertidur.

Suatu subuh aku menjadi imam karena berdiri di depan bagian belakang posisi imam. Mungkin karena aku pakai baku koko dan bersarung serta peci, dipersilakan menjadi imam. Aku gemetar saat sedang salat dan lupa telah membaca qunut padahal itu adalah masjid yang yang umumnya merupakan jamaah Muhammadiyah. Aku dihardik senior dan diingatkan jangan pernah menjadi imam lagi. Beberapa tahun kemudian, yakni pada PKP Idi Tunong, aku baru sadar bahwa bila berada di tempat yang baru, jangan pernah menjadi imam karena kamu tidak tahu bagaimana kaidah mereka salat dan tawaran itu hanya basa-basi.

Lokasi peserta adalah sebuah sekolah pada sebuah lorong seberang jalan. Aku pernah ke sana dan kagum dengan bagaimana anggota Brigade PII melakukan pengamanan. Anggota Brigade menjaga area lokasi training mulai dari yang berada di gerbang, sudut-sudut lokasi traning, bahkan saat itu aku tidak tahu bahwa ada yang berjaga-jaga di sekitar lokasi. Mereka bersembunyi di semak-semak. Saat itu aku tertarik menjadi anggota Brigade PII. Setelah training usai, aku ikut LIB di MtS.

Training di Juli sangat indah ketika dalam perjalanan antara Bireuen dan Juli berpapasan dengan banyak kader yang juga menjadi panitia dan saling memberi salam. Kader terlibat sebagai panitia sangat ramai. Kegiatan berkesan lainnya adalah sore hari menjemput nasi dan makanan berbuka untuk panitia dan peserta training. Kami menjemputnya dengan mobil pick up di meunasah-meunasah karena masyarakat menghantarkan nasi umat ke meunasah. Kalau ada panitia yang berkeliling kampung, hampir dapat dipastikan akan membawa pulang rambutan minimal satu goni. Di Juli umumnya warga punya beberapa pohon rambutan di rumahnya. Buahnya besar, merah, manis. Warga selalu mendesak kader PII untuk membawa pulang rambutan. Kader PII senior sangat banyak di Juli.

Selesai LBT Juli dilanjutkan LIB, aku kembali ke Medan. Barulah setelah pulang dari Medan, aku sangat aktif dalam kegiatan PII. Itu adalah musim libur tengah tahun. Aku bawa pulang ijazah STM dan memiliki motivasi kuliah sangat dipengaruhi oleh lingkaran pertemanan di PII. Meskipun tidak ada kegiatan formal, kami merancang aktivitas bersama. Kami naik motor ke Bener Meriah, ke rumah famili seorang teman. Rumah di sana tidak jauh dari kawanan gajah liar mencari makan. Pulangnya kami menginap di rumah seorang teman senior. Aku tidur di dalam kantung tidur yang digunakan pecinta alam. Bangunnya aku meriang dan pulang. Dua hari kemudian aku ikut kembali beraktivitas. Selain sekretariat, rumah seorang kader atau sekretariat menjadi pusat bertemu.

Kemudian kami diajak ke sebuah acara duka di Juli. Kami membantu di sana selama satu minggu. Sangat berkesan. Pemandangan desa sangat indah. Katanya waktu konflik dulu, tentara sering patroli di sana. Mereka kerap singgah di rumah tertentu dari warga dan disuguhkan ala kadarnya minimal air putih.

Mengikuti acara keramaian semacam itu, apalagi bersama sahabat-sahabat seperjuangan, sungguh sangat nikmat dan menyenangkan. Kami membantu apa pun selama tujuh hari itu. Kami datang dan pulang berjalan kaki Bireuen-Juli. Pulang dari kegiatan PII, seperti biasa, di rumah aku hanya makan tidur saja selama dua hari.

Setelah dari kompleks losmen Murni yang kemudian dibangun Suzuya, sekretariat pindah ke depan gerbang perumahan tentara. Mereka di sana hingga pelaksanaan Konferensi Wilayah (Konwil) Aceh pada 2006. Aku teringat pada acara itu aku telah di Pengurus Wilayah (PW) Aceh dan datang ke sana untuk mencalonkan diri sebagai Komandan Koordinator Wilayah (Korwil) Brigade PII Aceh namun gagal. Aku bersaing dengan Zul dengan suara sama selama tiga kali pemungutan. Karena sesuatu yang tidak kusukai, aku kalah satu suara sehingga Zul menjadi Komandan Korwil.

Aku terlalu sibuk pada acara itu. Pembukaannya sangat meriah. Acara pembukaan semarak seperti acara pawai karnaval. Ada banyak grup marching band. Mayoret dari SMA Unit adalah cinta pertama. Sepertinya dia canggung atau memang tidak mencintaiku. Aku ikut pawai dengan modus mengawal peserta karena ingin melihat dia tampil menari, memutar-mutar tongkat, dan melemparnya. Setelah pawai aku mengobrol sejenak dengannya di gerbang Kantor Bupati. Dia hanya menjawab apa yang kutanyakan.

Pemilihan Ketua Umum PW dimenangkan Mar. Aku ingat aku mengopi dan sanger. Tidak bisa tidur dua hari. Aku ingat seorang panitia lokal, PII Wati Bireuen, histeris saat sedang memasak air. ''Airnya hilang; airnya hilang.'' Rupanya dia memasak air saja tidak bisa. Air panas terlalu lama dimasak hingga habis menguap. Maklum, banyak anak mami. Ada juga yang unik lainnya yakni tertelan biji hekter saat makan nasi bungkus. Seandainya Thanos tahu cara memusnahkan populasi ada yang lebih mudah daripada sibuk mengumpulkan Infinity Stone, tentu dia akan lebih memilih menjual makanan dengan bungkusannya dihekter.

Pada akhir Konwil, disayembarakanlah pelaksanaan Konwil kali berikutnya. Dengan sangat percaya diri PII Aceh Utara yang dipimpin Ded berhasil meyakinkan peserta bahwa mereka adalah Kota Petrol Dollar, sehingga tentu benar-benar sanggup menyelenggarakan Konwil. Namun ternyata yang terjadi, tidak sesuai harapan. Kepengurusannya menjadi kacau, kader-kader melemah, antara lain karena memisahkan PII Aceh Utara dan PII Lhokseumawe, PII di sana semakin melemah. Sekretariat terletak di Lhokseumawe. Besar sekali. Dua tingkat pula. Sementara kader yang ramai itu di kawasan Aceh Utara. Jadinya daerah yang punya kader tidak punya tempat berkumpul, daerah yang punya tempat berkumpul krisis kader. Hubungan asmara yang rumit di sana juga semakin membuat PII melemah. Akhirnya Konwil berikutnya terpaksa dipindahkan ke Langsa.

Waktu hendak ikut ke Langsa menghadiri Konwil 2008, L-300 hitam milik PII Aceh yang kami tumpangi singgah sejenak di Jalan Ramai Bireuen. Seketika aku dilanda meriang. Padahal aku digadang-gadangkan akan naik Komandan Korwil Brigade. Aku terpaksa pulang ke rumah. Sebelum itu, setelah di depan asrama tentara, sekretariat (sekret) PII Bireuen pindah ke dalam kompleks Bupati. Tidak lama di sana, pindah ke salah satu ruko kayu Tutu Meuria. Aku ingat saat kuliah libur, sering ke sana. Setiap pagi aku bawa kopi dari rumah ke dalam botol air mineral. Di sana aku membaca buku dan menulis hasil pikiran dan perasaan dalam buku catatan. Buku-buku catatan kemudian kususun dan kusimpan sangat banyak. Lebih satu meter jika disusun. Catatan-catatan penting yang berhasil kukumpulkan, ketika kemudian menjadi Pengurus Besar (PB) PII, kubaca kembali dan intisarinya kuserap kembali dan mengetik di komputer. Kemudian Bandar Publishing menerbitkannya saat aku sedang kuliah S3.

Kemudian sekretariat PII Bireuen pindah ke Simpang Cureh. Aku pernah menginap di sana. Tidur tidak nyenyak. Tidak ada kipas angin. Seingatku, ketika Konwil 2010 Takengon yang berlanjut di Bireuen, mereka sudah di sekretariat itu. Lama juga mereka di sana. Lebih sepuluh tahun. Baru mereka pindah ke sekretariat baru yang dibangun secara permanen di Kompleks BTN. Itu sepertinya 2023.

Aku ingat saat Konwil 2010 di Bireuen, aku dijadikan ketua pengamanan. Itu membuat aku kesulitan terlibat politik. Akhirnya Zul gagal menjadi ketua umum PW. Padahal aku berharap Zul yang menjadi Ketua Umum karena dia akan mampu membuat PII semakin besar. Sementara ketua terpilih menurutku orangnya terlalu literalistik. Ketakutanku benar adanya, setelah itu, PII Aceh semakin redup. Dan si ketua umum itu menjadi lebih dewasa justru setelah dia menyelesaikan tugasnya sebagai ketua umum.

Aku ingat beberapa kader PIi ingin mengenal Baim dan meminta aku membawanya ke sekret Cureh. Aku menyempatkan diri melakukan itu, namun sayang aku mengalami sebuah kecelakaan motor yang tidak parah sehingga harus kembali ke rumah. Untung saja Baim tidak apa-apa.

Aku ingat saat sering tidur di sekret Losmen Murni. Para sahabat ada yang sudah jadi polisi, ada yang sudah jadi pekerja sosial, ada yang sudah jadi pedagang. Aku ingat saat kami hendak tidur ada yang mengucapkan salam, tapi orangnya tidak ada dan kami pun tidur dalam ketakutan. Aku ingat saat kami ikut karnaval, sangat meriah. Kami mempersiapkan semua itu di sekret Murni. Bahkan kami membuat tank dengan becak, memasang kerangka dari bambu dan menutupinya dengan kertas semen.

Pengalaman bersama PII Bireuen sangat mengesankan. Setelah para kader terbaik lulus dari kuliah di Banda Aceh, mereka sering berkumpul di kafe-kafe. Aku sering mengopi bersama mereka. Persahabatan yang tidak lekang dimakan zaman.

Aku ada datang saat peresmian sekret permanen mereka di kompleks BTN. Kasihan PII Bireuen. Masih menggeliat dengan kondisi sekretariat sekarat. Sementara PII Aceh Utara punya sekretariat besar tetapi dengan kader yang sekarat.

 

 

PII Bireuen PII Bireuen Reviewed by Miswari on 15.31 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.