Saat duduk di teras depan rumahnya, Apa Cantoi mengenang
hari lebaran yang telah lewat beberapa hari lalu. Dia ingin sekali kembali pada
hari-hari yang penuh kebahagiaan itu. Setiap hari-hari lebaran, dada Apa Cantoi
diisi kebahagiaan entah datang dari mana. Lorong-lorong yang sama dia lihat
setiap hari menjadi berbeda suasananya saat hari lebaran. Jalan setapak yang
dilalui menjadi berbeda dengan hari-hari lainnya. Padahal tidak ada perubahan
apa-apa. Apa Cantoi merasakan
suasana yang nyaris sama dengan kenikmatan berbeda saat bulan Ramadhan. Setiap
hal yang dipandang pada bulan Ramadhan menjadi berbeda. Setiap suara yang
didengar meski irama yang sama menjadi berbeda. Meski dalam kondisi lelah dalam
berpuasa, saat bekerja, Apa Cantoi menjadi bersemangat. Ada bahagia dalam dada
sepanjang bulan itu.
Ramadhan kali
itu Apa Cantoi tidak punya penghasilan apa-apa. Sudah lebih setengah bulan
dalam bulan suci itu, dia masih belum memiliki gambaran bagaimana agar lebaran
bisa memiliki uang. Memang Apa Cantoi tidak punya persiapan apa-apa pada
lebaran yang membuatnya harus memiliki banyak uang. Dia tidak dituntut untuk
memberi uang kepada bocah-bocah keponakannya. Dia tidak berekspektasi untuk
memiliki baju dan celana baru saat menjelang lebaran. Biasanya pun jalan-jalan
dia pergi bila ada yang mengajak. Tetapi tidak memiliki uang sama sekali saat
lebaran adalah satu hal yang ganjil.
Apa Cantoi berharap
dia bisa mengantongi uang walau tidak banyak, setidaknya untuk pergi ke Kota
Peusangan dengan jengkinya dan duduk mengopi di mana warung kopi yang buka.
Sambil itu dia bisa mengamati anak-anak hilir mudik di pasar dengan senapan
mainan sambil mengenakan kacamata. Belakangan Apa Cantoi memahami bahwa
anak-anak memakai kacamata bukan hanya untuk gaya-gayaan, tetapi juga supaya
peluru tidak terkena mata. Biasanya anak-anak bermain perang-perangan di
toko-toko yang tutup pinggir kota. Di situ lebih aman karena jarang orang
berlalu-lalang.
Pernah satu
hari tepatnya hari Kamis, Apa Cantoi pergi ke pasar untuk melihat keramaian.
Hari itu adalah hari pekan, di mana orang-orang berkumpul di pasar untuk minum
kopi, berbelanja kebutuhan, dan sebagainya. Hari pekan itu diselenggarakan
seminggu sekali. Kota Peusangan hari pekannya Kamis. Sejak dulu sudah begitu.
Sejak dulu setiap Kamis selalu ramai, apalagi menjelang lebaran. Adapun Kamis
yang paling ramai bukan Kamis terakhir menjelang lebaran. Karena Kamis itu
orang-orang telah berbelanja pakaian Kamis sebelumnya. Adapun Kamis terakhir
itu orang-orang sudah fokus membuat kue lebaran. Kalaupun membeli jenis
pakaian, itu hanya pakaian dalam dan aksesoris. Kamis kedua terakhir menjelang
lebaran itulah yang paling ramai dan paling sibuk. Banyak orang yang hilang
dompet. Apakah dicolong maling yang datang dari luar daerah, tercecer begitu
saja, atau tertinggal di satu tempat. Bahkan Kamis kedua terakhir itu ada
emak-emak yang menangis sambil berteriak dan menjerit-jerit karena kehilangan
anaknya. Apa Cantoi tidak tahu apakah kemudian anaknya ditemukan. Itu sering
terjadi setiap tahun pada Kamis menjelang lebaran.
Menjelang siang
pada Kamis kedua terakhir menuju lebaran, Apa Cantoi mengambil sepeda jengkinya
menuju Kota Peusangan. Dia melalui menyusuri lorong rumahnya menuju jalan Dusun
Mutiara untuk menghindari cuaca panas. Ramadhan kali itu memang panas sekali.
koran meliput tentang cuaca ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hujan
nyaris tidak turun sepanjang Ramadhan. Memang melalui jalan Dusun Mutiara,
perjalanan menjadi semakin jauh. Tetapi banyak pohon di pinggir jalan. Jadinya
sepanjang jalan tidak kepanasan. Terpapar sinar mahahari langsung itu sangat
melelahkan. Apalagi saat sedang berpuasa. Bisa dehidrasi dibuatnya. Tenggorokan
menjadi kering. Bayangan es bandung yang merah muda menyala-nyala di dalam
kepala. Makanya Apa Cantoi sendiri sangat menghormati mereka yang bekerja
menjadi kuli. Orang-orang itu berpanas-panas sepanjang hari.
Tiba di persimpangan warung kopi Apa Suh yang sedang tutup,
Apa Cantoi belok kiri. Bila lengah di persimpangan itu, bahaya sekali karena
ada jurang dengan semak-semak yang lebat. Selanjutnya adalah sungai. Setelah
belok kiri, di sebelah kiri, terdapat perkebunan di pinggir jalan. Ada di tanam
banyak timun suri. Tapi sepertinya sudah habis dipanen. Hanya tinggal beberapa
yang hampir matang. Ramadhan kali itu, timun suri laris manis. Orang-orang
sudah kesulitan mendapatkannya sejak memasuki pertengahan Ramadhan. Timun itu
sangat laris karena sejuk bila dikonsumsi. Sangat cocok bagi siapa saja yang
telah berpuasa seharian. Padahal bulan-bulan Ramadhan sebelumnya, timun suri
tidak selangka itu. Tentu saja karena Ramadhan kali itu sangat panas.
Tiba di kampung
Kedai Angsana, Apa Cantoi tidak mengarah ke jalan Matang-Tanjong, tapi memilih
berbelok kanan ke jalan kampung Pantai Baru. Rupanya jalan itu sudah
diperbaiki. Sebelumnya bersepeda ke sana sangat rentan kempes ban. Soalnya
banyak kerikil di jalanan. Pecahan batu bisa membuat ban sepeda kempes bahkan
pecah. Di kampung Pantai Baru, balai pusat perkumpulan desanya merupakan bangunan
lama yang masih dipertahankan dan dirawat, meski mereka sudah mendirikan sebuah
tempat ibadah yang indah di seberang jalan. Ada banyak ukiran dan lukisan. Di
antaranya adalah lukisan burak dengan cat minyak pada salah satu bagian dinding
dominan hijau.
Pada masa itu
orang-orang menyimbolkan burak dengan kuda berkepala perempuan cantik rambut
panjang. Badan kuda adalah simbol untuk ketangguhan dan kecepatan. Karena burak
itu sangat gagah dan cepat seperti cahaya. Makanya yang paling cocok
disimbolkan sebagai kendaraan cepat dan tangguh adalah kuda. Bahkan mobil-mobil
hingga hari ini, tenaganya diukur dengan tenaga kuda. Sementara wajahnya yang
cantik sebagai simbol bahwa burak itu adalah makhluk yang elok dan enak
dipandang. Makhluk Tuhan yang paling cantik dan elok dipandang itu paling cocok
disimbolkan dengan perempuan. Namun belakangan ini gambar burak semacam itu
dianggap terlalu vulgar. Entah bagaimana ada orang bisa terangsang melihat
badan kuda. Mungkin juga sebagai simbol
kendaraan cepat, kuda tidak cocok lagi.
Dari jalan
itu, bila berbelok ke kiri atau ke kanan, Apa Cantoi masih akan menemukan
jalanan yang tidak terik karena pada satu sisi adalah tepi bukit yang penuh
pepohonan dan pada sisi satunya lagi adalah sawah terbentang yang mengirim
angin yang sejuk. Meski, Ramadhan kali itu, saking panasnya, tidak hanya hujan
yang tidak turun, angin pun enggan berembus. Belok kiri atau kanan akan menuju
desa Rawa Kecil. Waktu kecil, Apa Cantoi sering bermain di sana. Ke kiri adalah
sawah. Waktu kecil, Apa Cantoi sering ke sana untuk memancing ikan. Ada ikan
gabus, ikan sepat, ikan lele, dan ikan air tawar lainnya. Dulu di sawah, alur
air di sawah, dan rawa-rawa di antara sawah dan kebun, banyak ikannya. Sekarang
sudah sangat langka. Mungkin pupuk kimia yang dipakai untuk pertanian membuat
mereka punah. Padahal jangankan ikan, ular swah dan berang-berang juga ada di
sana. Kalau sedang musim panen, sawah dapat menjadi tempat bermain
layang-layang. Ada juga anak-anak yang mengupas tanah sawah yang permukaannya
kering untuk mencari ikan. Rupanya bagian bawah sawah sangat basah. Ikan-ikan
bertapa di dalam tanah saat musim panen. Kalau sawah berair kembali, ikan-ikan
akan naik ke atas permukaan tanah untuk berkembang biak.
Kali itu Apa
Cantoi memilih belok kanan. Ada jembatan kecil di sana. Sebelum Apa Cantoi
disekolahkan di bawah Departemen Hukum, jembatan itu masih terbuat dari kayu.
Setelah dia kembali, sudah menjadi jembatan beton yang kukuh. Lengkap dengan
tiga baris horizontal besi dua sisi yang disangga empat batang cor semen. Itu
untuk mencegah pengguna jalan tercebur ke parit saat melintasi jembatan. Dua di
kiri dan di kanan ada coran beton pada dua ujung. Itu untuk mencegah pengemudi
kendaraan yang lengah agar tidak mengarah ke parit. Pada coran beton jembatan
semacam itu yang dibuat pada tempat-tempat strategis, suka digunakan anak muda
untuk duduk-duduk pada sore hari.
Masa Apa Cantoi masih muda dulu, sebayanya suka duduk-duduk
di empat coran tinggi satu meter dengan lebar masing-masing lima puluh
sentimeter dan panjang satu meter. Anak muda masa itu duduk sore hari setelah
mandi dan mengenakan pakaian terbaiknya. Terkadang ada di antara mereka yang
duduk sendiri saja bila temannya tidak ada. Pakaian mereka yang kece pada
masanya itu menjadi inspirasi anak-anak yang menyaksikan. Apa Cantoi sendiri
waktu kecil pernah minta dibelikan celana Lea dan puas ketika dibelikan celana
Zea. Dia juga pernah meminta sandal Carvil dan puas dengan dibelikan sandal
Carbil. Waktu meminta sepatu Adidas, dia senang ketika dibelikan Abibas. Itu
semua diinspirasikan oleh anak muda yang dia perhatikan duduk di tembok jembatan
pada sore hari.
Berbeda dengan
jembatan strategis waktu itu yang ada anak mudanya, jembatan yang dilewati Apa
Cantoi saat hendak ke Pasar Matang tidak ada yang duduk-duduk di sana. Jalanan
itu sepi, baik dulu maupun kini. Banyak pohon kelapa dan jati pada sesi kiri
yang merupakan kaki bukit. Sisi kanan dulunya adalah rawa-rawa. Sepertinya
karena sudah mengalami kehabisan mata air dan debit hujan yang semakin minim,
di sana sudah dimanfaatkan warga untuk menanam sayur-sayuran seperti kacang
panjang, terong, dan sebagainya.
Ada beberapa
bukit kecil yang perlu dilewati. Tetapi tidak membuat Apa Cantoi harus turun
dari jengkinya. Meskipun sepanjang jalan rindang, Apa Cantoi berkeringat. Karena
cuaca memang sangat panas. Berkeringat itu baik. Berkeringat merupakan cara
yang ampuh menghindari berbagai penyakit. Bila usia sudah tiga puluh ke atas,
seseorang harus sering berkeringat karena bila tidak, lemak menumpuk di badan
dan menjadi bibit penyakit. Usia tiga puluh ke atas, sel-sel tubuh sudah mulai
lemah. Pembakaran mulai melambat. Berbeda dengan usia tiga puluh ke bawah.
Sel-sel tubuh masih kuat. Apapun yang dimakan, mudah dibakar. Sebab itulah
orang berusia tiga puluh ke bawah jarang ada yang gemuk dan buncit.
Apa Cantoi dulu
waktu muda sering dicibiri karena terlalu kurus. Sekarang di baru tahu bahwa
terlalu kurus umum di bawah tiga puluh petanda badan sangat sehat. Karena apa
yang dimakan mudah dibakar. Beda dengan usia di atas tiga puluh, harus
melakukan pembakaran khusus. Caranya adalah dengan bekerja rutin, yakni
kerja-kerja yang menghasilkan keringat seperti bertani. Yang bahaya adalah
mereka yang sering berada pada ruangan berpendingin. Keringat mereka tidak bisa
keluar. Pekerja demikian harus rutin berolahraga bila ingin tetap sehat. Yang
beruntung adalah yang bekerja pada bidang keamanan negara. Mereka harus selalu
dalam kondisi fisik yang baik sehingga harus rutin melakukan olah raga.
Apa Cantoi
sendiri belakangan ke mana-mana rajin dengan sepeda. Apalagi setelah dibelikan
jengki baru oleh Ratna. Dia sangat menyayangi sepeda itu. Dipakai ke mana-mana.
Apa Cantoi tidak akan membiarkan sepeda itu kotor. Setiap pulang, sepedanya
selalu dibersihkan. Dia merasa berdosa apabila ada debu yang menempel pada
sepadanya itu.
Apa Cantoi sangat
bersyukur bisa sering berkeringat akibat ke mana-mana dengan sepeda. Lagi pula
dia tidak punya jenis kendaraan lain. Semenjak mendapatkan jengki baru, berat
badan Apa Cantoi semakin turun. Dia merasa semakin kurus. Tapi saat memikirkan
itu, Apa Cantoi sempat melirik ke bawah. Ukuran perutnya belum mengecil. Malah
dengan badan yang semakin kurus, perutnya tampak semakin buncit. Apalagi Apa
Cantoi suka memakai kaos putih. Itu membuat perutnya tampak semakin buncit.
Tapi Apa Cantoi tidak tahu kenapa Ratna masih suka berteman dengannya. Ratna
yang bersih, putih, tinggi, dan elok. Sementara Apa Cantoi apa adanya. Apa
Ratna tidak malu kalau berjalan dengan dirinya, pikir Apa Cantoi.
Mungkin bila
semakin sering berkeringat, pikir Apa Cantoi, dia akan menjadi semakin kurus
dan buncitnya bisa sekain berkurang. Dengan begitu, bisa jadi Ratna akan
semakin sering mengajaknya jalan bersama. Tetapi setelah Apa Cantoi pikir lebih
jauh, tetap saja Ratna yang cantik itu tidak sesuai dengannya. Apa Cantoi hanya
suka mengenakan kaos putih, celana kain hitam dan panjang, ditambah kain sarung
yang dilipat dua sehingga panjangnya hanya hingga dengkul. Apa Cantoi suka
pasang sarung kemana-mana karena menurutnya, terkadang celana bisa kenapa-napa,
sehingga sarung dapat menjadi solusi.
Kalau Apa
Cantoi pikir-pikir, sudah lebih sebulan dia tidak bertemu Ratna. Terakhir
bertemu di kafe Doto-Coffee. Waktu itu mereka mengopi sambil mengobrol tentang
beberapa hal. Ratna bercerita bahwa dia baru saja membeli beberapa buku baru
berkualitas mengenai hukum. Apa Cantoi menanggapi dengan antusias tema-tema
hukum yang dibicarakan Ratna dalam buku-buku barunya itu. Tetapi Apa Cantoi hanya
menanggapi sekedar, karena dia tidak terlalu paham mengenai ilmu tersebut.
Tiba di sebuah
bukit, ada persimpangan di sana. Belok kanan ke Rawa Kecil. Belok ke kanan akan
segera meninggalkan Rawa Kecil menuju Pantai Kalong. Bila belok kiri, ada rumah
Ratna di sana. Tapi sekarang Ratna tidak lagi sering di sana. Belok kiri ke
arah Pantai Kalong, ada jembatan di sana. Dulu di bawah jembatan itu banyak
kafe yang dibuat untuk anak muda. Hari Minggu banyak pasangan muda mudi ke
sana. Tapi hanya mereka yang punya atau dapat pinjaman sepeda motor yang ke
situ. Minuman di kafe-kafe ada Coca Cola, Fanta, Sprite. Pakai es batu menjadi
sangat nikmat. Dulu, sudah lama sekali, Apa Cantoi pernah membawa Ratna ke
sana. Tapi cuma sekali. Apa Cantoi dapat pinjaman sepeda motor dari familinya.
Motor itu dibeli dari hasil menjual sepetak kebun. Itu adalah motor Astrea
Impressa seken. Sekarang harga kebun itu setara sebuah mobil Pajero seken.
Pengalaman ke
Pantai Kalong bersama Ratna adalah kenangan terindah dalam hidup Apa Cantoi.
Tapi sayang sekali setelah pertemuan itu komunikasi mereka meregang. Hingga
akhirrnya Ratna hilang entah kemana dan juga Apa Cantoi harus sekolah di bawah
Departemen Hukum dalam waktu yang lama. Ketika Apa Cantoi kembali, Ratna sudah
menjadi pengacara ternama.
Apa Cantoi belok
kanan. Ada sebuah rumah sangat tenteram tampaknya. Hanya ada satu rumah semi
permanen bercat putih di sana. Apa Cantoi membayangkan bisa hidup berdua dengan
Ratna di rumah itu. Mereka bisa pelihara lembu dan bercocok tanam untuk
menghasilkan uang. Apa Cantoi yakin akan hidup bahagia setiap detiknya.
Jalanan menuju
jembatan Pantai Kalong sebelah kanannya banyak tumbuh bambu ragam jenis. Banyak
tumbuh buluh di sana. Mendekati jembatan ada bukit yang tinggi. Banyak rumpun
bambu. Tiba di persimpangan kalau belok kanan bisa ke desa Getah Rotan. Belok
kanan desa Simpang Empat yang melalui itu bisa ke Kota Peusangan. Apa Cantoi belok
kanan tiba di ujung seberang jembatan. Jengki berhenti. Tampak di hadapan Apa
Cantoi kenangan masa lalu. Ada banyak warung yang menyediakan minuman soda.
Setiap warung punya dua puhuhan bale-bale kecil. Dicat warna -warni untuk
menarik perhatian pengunjung. Ada sekitar sepuluh warung. Baris paling ujung
bale-bale adalah pantai sungai yang indah. Di tengah sungai banyak bebatuan. Sebagian
pengunjung yang umumnya pasangan muda mudi duduk-duduk di bebatuan. Sebagian
sedang merencanakan masa depan sambil mandi setengah badan. Airnya sangat
bersih dan sejuk.
Apa Cantoi melihat
Ratna sedang duduk di sisinya, di atas sebuah batu berukuran besar. Di sana Apa
Cantoi mengucapkan cinta kepada Ratna. Perempuan muda dengan bola mata bersinar
itu tampak sangat terang dengan kulitnya yang cerah, apalagi saat itu Ratna
mengenakan kaos putih lengan pendek. Dengan rambut yang basah terurai di atas
bahu, dengan wajah yang berair karena baru saja mandi sungai, perempuan itu
sempat terkejut dan membatu. Lalu tersenyum dan mengangguk. Karena malu, Ratna
berlari ke bale-bale tempat mereka meletakkan helm dan jaket. Ratna duduk di
pinggir Fanta dan Sprite yang telah mereka pesan. Ada dua gelas bening berisi
es kosong. Ratna mengambil botol sprite dan menuangkan ke salah satu gelas. Apa
Cantoi meyusul. Sambil menuangkan minuman soda berwarna merah ke dalam gelas
satunya, Apa Cantoi melirik Ratna. Perempuan itu masih tersipu dan
tersenyum-senyum. Apa Cantoi sedikit membungkuk untuk mengamati wajah Ratna
yang sedang tertunduk.
Bibir merah
jambu itu sedang mengemut pipet berwarna merah. Air soda bening di dalam pipet
naik turun. Mata Dua bola mata Ratna yang tersembunyi di balik rambutnya yang
masih basah melirik wajah Apa Cantoi. Ratna meletakkan minuman itu dan mengangkat
kedua kakinya ke atas bale-bale. Perempuan itu menutup wajahnya dengan dua
lututnya. Dari balik celana jins warna abu perak dan lengan putih bersih, dan
rambut panjang yang basah, Apa Cantoi masih sempat melihat wajah Ratna masih
tersenyum dan tersipu.
Apa Cantoi terkejut
ketika sebuah dump truck kuning bermuatan tanah membunyikan klakson. Sempat ia
melirik truk yang telah membuyarkan kenangannya itu. Dilirik kembali ke arah
pinggir sungai itu. Pohon kelapa ditanam rapi dan telah tumbuh dengan tinggi
nyaris sama. Ujung daun muda yang masih tegak sudah melampaui tinggi listrik.
Apa Cantoi menyeberang
jalan di ujung jembatan. Dia kembali ke arah Simpang Empat. Sepanjang jalan
sebelah kanan dan kiri sudah banyak didirikan rumah-rumah. Dulu sebelah kiri
adalah bukit yang tinggi. Kini kaki bukit sepanjang jalan sudah dikeruk dan
didirikan rumah-rumah. Di belakang rumah-rumah itu masih banyak proyek galian
tanah.
Mencapai jalan
negara, sebelah kanan ada sebuah bukit. Itu namanya Bukit Kapal. Konon dulu itu
merupakan sebuah kapal yang terdampar dan kemudian menjadi bukit. Padahal laut
masih belasan kilometer jaraknya. Kata sebagian orang, dulu laut mencapai
lokasi jalan negara sekarang. Bisa jadi itu benar, mengingat di Riau, dulu
terdapat laut yang sangat luas berbentuk teluk yang besar sekali. Tapi sekarang
sudah menjadi daratan semua. Mungkin ada penyusutan air laut pada satu masa
dulu.
Di dekat Bukit
Kapal ada sebuah rumah besar yang didirikan waktu Apa Cantoi masih muda. Konon
harga gambarnya saja dua puluh lima juta rupiah. Pada masa itu, jumlah uang
sebanyak itu sudah bisa membangun rumah mewah. Itu adalah milik toke pinang.
Orang paling kaya di kecamatan itu pada masa lalu. Kini telah ada beberapa rumah
di kecamatan itu yang lebih besar daripada itu. Tapi pesona keindahan rumah toke
pinang dimaksud masih terasa kemegahannya meski telah berlalu puluhan tahun.
Apa Cantoi singgah
di pasar ikan untuk membeli mentega kemasan seperempat kilogram. Dia berencana
menjadikan itu sebagai selai roti setelah dicampur sedikit gula. Kalau sedang
berpuasa, memang banyak hal yang diinginkan. Apa yang dilihat seolah-olah
sanggup dimakan semua. Kalau melihat es bandung, tenggorokan yang sedang kering
meronta-ronta. Jangankan melihat es buah, melihat cangkir plastik warna pink saja
bisa membuat orang berkhayal seperti sedang minum es teler.
Bulan puasa
seharusnya menjadi medan latihan menahan diri. Tapi yang terjadi justru
sebaliknya. Konsumsi melonjak tinggi. Untuk sebuah kota kecamatan, sirup botol
dikonsumsi satu kontainer. Apa Cantoi berniat membeli timun suri. Tapi tak ada.
Di Mata Air pinggir jalan Matang Tanjong juga tidak tersedia. Sejak memasuki
pertengahan Ramadhan, timun suri seperti raib ditelan bumi. Ada yang bilang
kemarau berkepanjangan menjadikan makanan khas bulan puasa itu banyak yang
gagal panen. Ada yang bila karena Ramadhan kali itu sangat panas, timun suri
menjadi buruan utama sehingga menjadi langka. Timun suri adalah buah yang
dimasukkan ke dalam potongan kulit batang pisang dan menjadi favorit di bulan
Ramadhan, karena sifatnya yang dingin mampu menghilangkan dahaga. Timun itu
dikonsumsi dengan diaduk dengan sedikit gula. Karena teksturnya yang lembut,
menjadi mudah diminum seperti jus.
Apa Cantoi singgah
sejenak di terminal. Dia melihat banyak mini bus yang masuk terminal untuk
menjemput sewa, mengambil paket, dan dan menitipkan paket di loket. Tampaknya
orang-orang sudah mulai mudik. Terminal
yang biasanya sepi menjadi ramai. Sopir minibus sejak pertengahan Ramadhan
berada dalam kegembiraan karena mulai punya banyak sewa. Kalau hari-hari biasa,
mereka sering kalau bersaing dengan minibus ber-AC.
Sayangnya
banyak terjadi kecelakaan bila menjelang lebaran. Mobil-mobil pribadi mulai
ramai di jalan raya. Banyak orang yang merantau sudah mulai mudik dua minggu
sebelum lebaran. Sopir minibus tidak meninggalkan kesempatan yang hanya datang
setahun sekali. Jadinya mereka kurang istirahat dan mengalami kelelahan saat
sedang berkendara. Apa lagi siang hari bulan Ramadhan, cuaca panas dan kondisi tubuh orang berpuasa
membuat mereka mengantuk.
Dari terminal, Apa
Cantoi ke pasar Kota Peusangan. Di sana dia merasa seperti ada sesuatu yang
tidak beres. Apa Cantoi berusaha mengingat-ingat sebenarnya hari itu hari apa.
Sepertinya bukan hari Kamis, apalagi Kamis kedua terakhir menjelang Ramadhan.
Kalau itu adalah hari Kamis, apalagi tepatnya pada waktu menjelang zuhur,
pastinya orang-orang sangat ramai. Tapi hari itu sangat lengang. Bahkan di
jalan yang pinggir aliran irigasi yang hari biasa saja ramai, kali itu lengang.
Seharusnya di situ sangat ramai, apalagi hari Kamis, apalagi Kamis dua terakhir
menjelang lebaran. Itu adalah pusat perbelanjaan pakaian di Kota Peusangan.
Toko-toko pakaian dibangun di atas aliran irigasi.
Apa Cantoi seperti
tidak percaya bahwasanya itu adalah hari Kamis. Dia mendatangi seorang paruh
baya yang menjual bibit sayuran. Dagangannya itu dibentangkan di atas terpal
saja. Jenis-jenis bibit yang dijual antara lain bibit bayam, bibit kangkung,
bibit mentimun, dan banyak lagi. Dia juga menyediakan bakung isi telah
dikeringkan dan dililit. Itu untuk orang tua agar tidak sakit gigi. Disangkut
antara bibir bagian dalam dan gusi.
''Apa, hari apa
hari ini?'' tanya Apa Cantoi.
Pria itu
tersenyum, lalu menjawab, ''Tentu saja Kamis.''
Apa Cantoi memang
harus percaya bahwa itu memang hari Kamis. Kalau bukan Kamis, pedagang kaki
lima seberang jalan depan toko-toko di atas irigasi tidak akan berjualan. Pria
penjual bibit sayuran itu juga hanya berjualan hari Kamis.
''Kenapa sepi
sekali hari ini, Apa?''
''Mungkin
karena cuaca terlalu panas. Jadi orang-orang akan ramai nanti, menjelang Asar
ketika cuaca mulai kurang panas.
Apa Cantoi kurang
yakin dengan pendapat itu. Karena biasanya setiap Kamis dalam bulan Ramadhan,
apalagi Kamis kedua terakhir, sepanas apapun cuaca, pengunjung pasar akan
sangat ramai. Seingat Apa Cantoi, Ramadhan tahun lalu juga sangat ramai.
Mungkin saja pria penjual bibit sayuran itu menjawab dalam suasana hati kurang
baik karena pengunjung pasar sepi dan berharap nanti pengunjung akan ramai.
Biasanya di
pasar pakaian bila hari Kamis biasa saja, jangankan bersepeda, jalan kaki saja
sangat sulit menembus kerumunan. Hari itu, padahal Kamis kedua terakhir
menjelang Ramadhan, jangankan dengan sepeda, naik sepeda motor juga bisa
mengendarai dengan mulus tanpa hambatan. Orang yang ke pasar pakaian hanya satu
dua saja. Padahal waktu menjelang Zuhur pada hari Kamis kedua terakhir sebelum
lebaran, sebagaimana Ramadhan-Ramadhan sebelumnya, adalah puncak keramaian di
mana jangankan dengan sepeda, berjalan kaki sendiri tanpa membawa apa-apa saja
bisa sulit. Orang-orang berdesakan. Ada yang kehilangan anak, ada yang
kehilangan dompet. Orang yang hilang anak berteriak-teriak, menjerit-jerit di
tengah kerumunan bahkan ada yang berjam-jam anaknya baru bisa ditemukan. Yang
kehilangan dompet juga tidak kalah heboh. Menjerit-jerit seperti kerasukan.
Melihatnya membuat miris. Banyak dari mereka yang kehilangan dompet karena terjatuh
sendiri tanpa sadar saat berjalan, karena telah terlalu banyak menjinjing
barang belanjaan. Ada yang tanpa sadar dompetnya diletakkan di lantai toko saat
sedang memilih pakaian lalu lupa mengambil. Ada juga yang memang kemalingan
karena ada orang yang dirasuki iblis datang dari daerah yang jauh, khusus
menargetkan orang-orang yang lengah pada waktu sedang ramai-ramainya.
Hari itu,
tidak ada lagi orang yang menjerit-jerit karena kehilangan anak. Tidak ada lagi
orang yang terduduk sambil menangis tersedu-sedu akibat kehilangan dompet. Yang
tampak hanya satu dua orang yang berjalan-jalan melihat-lihat pakaian yang
disusun di teras toko lengkap dengan patung peraga alias mannequin. Mengamati
sejenak, menyentuh ujung lengan baju yang dipajang, merasakan tekstur kainnya
dengan ujung jari sambil acuh tak acuh dan kemudian berlalu.
Mengenai mannequin,
Apa Cantoi ingat pernah ada amaran dari orang agama yang melarang patung peraga
itu. Alasannya takut ada yang naik birahinya. Ada juga yang melarang pemasangan
patung burung di sebuah persimpangan kota dengan alasan harus diberi nyawa. Ada
juga yang mencemooh pemasangan patung besar sebuah biji dengan alasan patung
itu tidak ada hubungannya dengan agama. Seharusnya yang dijadikan ikon itu
adalah yang berhubungan dengan agama.
Patung hewan tidak boleh karena harus diberi nyawa. Patung tumbuhan
tidak boleh karena tidak ada hubungannya dengan agama. Mungkin yang namanya
patung tidak ada yang boleh. Mungkin yang boleh adalah patung agama. Bagaimana
patung agama itu? Mungkin patung
benda-benda yang dapat dikaitkan dengan agama seperti patung sarung, patung lobe,
patuh baju koko, patung sajadah, dan sebagainya.
Apar Cantoi
ingat setiap Kamis bulan Ramadhan, pengunjung pasar berdesak-desakan. Tidak
hanya perempuan; laki-laki pun banyak. Mereka bersenggolan, berhimpitan;
berdesak-desakan di sana. Apa Cantoi ingat orang agama pernah mengusulkan agar
perempuan dan laki-laki dipisahkan di sekolah. Kelas perempuan harus dibedakan
dengan kelas laki-laki. Tidak ingin perempuan dan laki-laki disatukan dalam
satu lokal. Jangan-jangan ada yang mengusulkan agar sekolah laki-laki dan
sekolah perempuan dipisahkan. Tapi memang ada perguruan pendidikan yang
memisahkan sekolah laki-laki dan sekolah perempuan di area berbeda. Bahkan ada
yang hanya menerima siswa laki-laki saja. Ada juga yang hanya menerima siswa
perempuan.
Sekolah
asrama yang hanya menerima siswa laki-laki membuat para siswa tidak punya
ekspektasi membuat diri menarik. Karena tidak ingin dilirik oleh siapapun.
Pernah ada cerita pada sebuah sekolah asrama yang hanya menerima siswa
laki-laki, ada seorang siswa yang rajin membuat diri menarik. Rupanya memang
dia sedang membuat dirinya dilirik siswa lainnya. Sekarang dia sudah buka salon
di kota besar.
Pada
tempat-tempat pendidikan yang hanya menerima satu jenis kelamin, pernah terjadi
beberapa kasus hubungan sejenis. Tidak ada ketertarikan atas lawan jenis. Tidak
ada ekspektasi atas lawan jenis. Tidak ada bayangan. Karena dilihat saja hampir
tidak pernah. Sebenarnya tempat-tempat yang terlalu mengisolasi satu jenis
kelamin membuat kelainan orientasi seksual berpeluang muncul. Karena tidak ada
orientasi dan ekspektasi pada lawan jenis. Uniknya banyak orang agama yang
bernafsu memisahkan laki-laki dan perempuan sehingga tidak ada perjumpaan.
Kali itu,
pengunjung pasar pakaian sangat lengang. Jangankan persentuhan laki-laki dan
perempuan, persentuhan perempuan yang satu dengan perempuan yang lain saja
mustahil. Apa Cantoi sendiri yang bersepeda, tidak perlu turun dan mendorong
sepedanya. Dia bisa mendayungnya dengan kecepatan sedang. Udara panas
menghantam wajah Apa Cantoi. Ramadhan itu adalah Ramadhan yang paling panas
selama Apa Cantoi ingat.
Tujuan Apa
Cantoi adalah ujung barisan kedai-kedai pedagang pakaian di atas irigasi. Di
sana ada sebuah lapak yang memanaskan jagung dan beras menjadi jajanan yang
disukai anak-anak. Jagung dimasukkan ke dalam sebuah wadah terbuat dari besi
berbentuk bulat. Di bawahnya ada tungku api untuk memanaskan. Setelah segenggam
jagung dimasukkan, wadah diputar dengan dipegang pada salah satu ujung wadah
yang disangkutkan di atas dua sisi penyangga. Sekitar lima menit diputar di
atas tungku api, terjadi ledakan keras yang menandakan jagung telah mengembang
dan menjadi berwarna putih. Jagung yang tadinya segenggam menjadi satu kantung
plastik. Karena meledak itulah jajanan tersebut disebut jagung meledak. Jajanan
itu telah dijual sejak Apa Cantoi masih kecil. Bahkan mungkin generasi sebelum Apa
Cantoi masih kecil juga sudah ada. Pedagang jagung meledak berjualan di
kota-kota kecamatan pada hari pekan alias hari ramai-ramainya masing-masing. Kota
Peusangan hari ramai-ramainya adalah hari Kamis. Jadi setiap Kamis dapat
ditemukan lapak jagung meledak di Kota Peusangan.
Apa Cantoi ke
tempat biasanya lapak jagung meledak digelar untuk memastikan apa memang benar
hari itu adalah hari Kamis. Rupanya ada lapak jagung meledak hari itu. Jadi,
tidak diragukan lagi, hari itu adalah Kamis. Seratus Persen pasti. Itu membuat Apa
Cantoi semakin heran. Apa gerangan. Kenapa hari Kamis, bulan puasa pula,
apalagi Kamis kedua terakhir, pasar lengang.
Apa Cantoi memarkir
sepeda dekat sebuah lapak penjual parang. Dia duduk mengajak pedagang parang
mengobrol. Pedagang parang bilang, dia tidak lagi berjualan pindah-pindah kota
mengikuti hari pekan. Katanya setiap hari jadinya sama saja. Orang-orang tidak
lagi ke pasar mengikuti hari pekan.
''Orang-orang
sekarang bisa ke pasar kapan saja. Bahkan bisa ke pasar sehari dua sampai tiga
kali sehari,'' kata penjual parang.
Apa Cantoi paham
bahwa itu karena hampir semua orang sudah punya sepada motor. Jadi setiap orang
bisa ke mana saja, kapan suka.
''Dalam satu
rumah kalau ada lima anggota keluarga,'' tambah penjua parang, ''ada enam
sepada motor.''
Itu memang
sedikit hiperbolik. Namun pada banyak rumah, setiap anggota keluarga punya
sepada motor.
fenomena
tersebut tentu sangat berbeda dengan beberapa dekade sebelumnya. Orang-orang
hanya bisa ke pasar dengan angkutan umum. Di Kota Peusangan, angkutan umum yang
menjangkau pedesaan adalah Chevrolet pick-up.
Ke arah utara, angkutan itu menyediakan kursi dari kayu yang dipasang
memanjang berhadap-hadapan. Orang-orang yang tidak mendapatkan bagian di kursi
bisa berdiri di tengah-tengah. Ke arah pedesaan seberang sungai juga demikian.
Sementara ke arah selatan lebih heroik. Chevrolet tipe Luv-nya tidak disediakan
kursi. Orang-orang duduk pada dinding pickup. Penumpang pertama akan memilih
bagian pojok antara dinding dengan pintu belakang itu adalah posisi paling aman
mengingat pada posisi tersebut terdapat dua sisi. Tetapi posisi heroik itu
tidak disukai perempuan. Perempuan yang naik pertama akan memilih pada sebuah
gundukan yang dibuat tepat di atas ban belakang. Itu adalah posisi paling aman.
Laki-laki tidak akan duduk di posisi itu karena nilai kejantanannya bisa
merosot drastis. Sementara anak-anak lebih suka berada pada posisi depan,
mereka bisa pegangan pada penyangga besi yang dipasang untuk melindungi kaca
belakang kabin.
Bila hendak
ke pasar, orang di ujung seperti Tanjung di selatan, Londanon di seberang
sungai, dan Jangkar di utara bisa langsung ke tempat mangkal menuju Kota
Peusangan. Lama mangkal hingga penumpang penuh atau bila tidak penuh waktu
mangkalnya satu jam. Mobil tembak, yakni mobil yang fokus mengambil penumpang
sepanjang jalan tidak boleh mengambil penumpang pada area mangkal. Penumpang
penuh artinya sudah tidak muat baik duduk maupun berdiri. Lama perjalanan lebih
satu jam. Pulang juga demikian. Jadinya sekali pulang pergi itu membutuhkan
waktu hingga empat jam. Makanya bila hendak ke pasar, orang-orang memilih pergi
pada hari pekan yakni Kamis.
Hari pekan itu
banyak pedagang kaki lima berdatangan untuk membuka lapak. jadinya hari pekan kalau hendak berbelanja
ada banyak pilihan. Pada hari pekan juga diadakan pasar hewan. Ada area untuk
perdagangan kambing, ada area untuk perdagangan ayam dan bebek, dan area
perdagangan lembu. Itu adalah wilayah para bapak-bapak. Terkadang mereka yang
akrab dengan hewan ternak, datang ke gelanggang hewan bukan untuk menjual atau
membeli hewan, tetapi juga menjadi ajang bersilaturahmi, bertemu dengan
orang-orang sefrekuensi dari kecamatan, bahkan kabupaten berbeda. Sementara
pasar banyak ibu-ibu dan sedikit bapak-bapak. Anak gadis tidak akan mau ke
pasar kecuali digandeng erat oleh ibunya. Itu pun masih ada pedagang ikan yang
berani menggoda meskipun melalui cara yang lebih bersahaja. Anak laki-laki
tidak suka ke pasar, apalagi pasar ikan. Menurut mereka tempat itu jorok. Harga
diri mereka akan hancur bila diketahui teman-teman.
Apa Cantoi
menuju arah jalan raya. Sebelah kanan ada beberapa bengkel sepeda motor. Salah
satu bengkel namanya sama dengan sepeda motor Honda yang legendaris dan banyak
dicari sebagai barang antik klasik yang tangguh. Seseorang memanggil Apa Cantoi
di hadapan salah satu bengkel. Rupanya itu adalah Apa Randus. Jadinya Apa
Cantoi ikut duduk sambil beristirahat. Tenggorokannya sudah kering. Tetapi
sedang berpuasa. Apa Randus adalah saudara jauh Jusmadi. Jadi mereka membicarakan
tentang Pak Jusmadi.
Kata Apa
Randus, Jusmadi orangnya memang menonjol. Tetapi terlalu ikut campur urusan
orang lain. Itu sudah terjadi sejak dia masih kecil. Apa Cantoi teringat,
pantas saja Jusmadi terlalu menonjol di kampung.
''Kalau sudah
ada Jusmadi,'' kata Apa Randus, ''pasti sudah ada kumpul-kumpul orang.''
Apa Cantoi
mencium gelagat bahwa Apa Randus punya sentimen pribadi atau mungkin mengetahui
watak asli Jusmadi.
''Nanti
ujung-ujungnya pasti ada program kumpul-kumpul uang,'' tambah Apa Randus.
Apa Cantoi
juga pernah mengetahui dari kabar burung, Jusmadi pernah terlibat masalah
keuangan. Dulu sudah lama waktu dia kuliah. Tetapi kabar itu simpang siur. Ada
yang mengatakan, itu adalah program bisnis multi level marketing. Ada yang
mengatakan bahwa dia menipu orang. Tetapi Apa Cantoi tidak berani menanggapi.
Apa Cantoi
lebih suka membahas kenapa pasar sepi meski minggu kedua terakhir lebaran. Apa
Randus mengatakan itu karena hujan sudah lama tidak turun, sehingga target
panen sebelum lebaran, tertunda hingga setelah lebaran.
''Bahkan di
beberapa kawasan ada yang gagal panen,'' kata Apa Randus.
Apa Cantoi
mengiyakan saja pendapat Apa Randus. Karena memang setelah musim panen,
masyarakat menjadi punya uang sehingga dapat ke pasar saat hari pekan.
Perencanaan panen awal Ramadhan menjadi gagal akibat kemarau berkepanjangan.
Sudah lama tidak hujan. Sehingga, masyarakat menjadi kehabisan uang. Berbeda
dengan pasca panen bisa punya uang. Bahkan jaman sebelum Apa Cantoi sekolah di
bawah Departemen Hukum, setiap pasca panen, diselenggarakan pasar malam pada tempat-tempat
tertentu. Ada tong setan, ada komidi putar, panggung sandiwara, ada banyak wahana permainan anak, dan
lainnya. Bahkan ada layar tancap. Layar tancap sangat digemari, mengingat PHR
sudah lama tutup. Bila ingin ke Gajah, perlu ke kota kabupaten.
Di kota Apa
Cantoi, pagelaran panggung sandiwara berlangsung meriah, antusiasme warga cukup
tinggi. Seperti orang Brazil yang tidak dapat dipisahkan dengan sepakbola,
demikian warga di kota Apa Cantoi tidak bisa dipisahkan dengan seni. Pentas
seni selalu disambut meriah. Bahkan desa Apa Cantoi sendiri telah banyak
melahirkan seniman, mulai dari para seniman drama sandiwara, orkes, dan pembawa
acara monolog. Belakangan ketika eksistensi televisi semakin masif, peminat
pentas sandiwara semakin berkurang, sehingga banyak seniman yang melakukan
pementasan sandiwara sekenanya sambil berjualan obat-obatan tradisional.
Pendapat Apa
Randus ada benarnya. Uang memang menjadi sulit ketika panen tertunda atau
gagal. Namun untuk urusan membeli pakaian lebaran, juga membeli perlengkapan
sekolah anak memasuki tahun ajaran baru, orang daerah Apa Cantoi tidak surut.
Karena, mereka telah menabung uang selama setahun. Sesulit apapun, uang untuk
dua kebutuhan itu harus ada.
Setelah
berbincang-bincang dengan Apa Randus, Apa Cantoi berencana pulang. Dia sengaja
melewati jalan negara, namun karena hanya naik sepeda, Apa Cantoi ambil jalur
berlawanan di pinggir. Pada sebuah jalan kota yang biasanya sangat padat dengan
pengunjung saat hari Kamis, kali itu sangat lengang. Para pedagang juga tidak
semuanya datang membentangkan dagangan seperti hari pekan sebelumnya.
Berjalan di
Kota Peusangan tepatnya di Jalan Negara, Apa Cantoi tidak pernah lupa untuk
sejenak melirik ke dalam toko Bintang Kejora. Itu adalah toko yang menjual
pakaian pria. Dulu waktu Apa Cantoi muda, setidaknya sekali dalam setahun,
setelah menabung selama dua belas bulan, akan kesana untuk membeli celana jins,
atau kemeja, atau kaos, atau celana dalam Hings, atau sandal, atau tali
pinggang.
Di depan Bintang
Kejora, Apa Cantoi disambut senyum ramah dari seorang pria penjaga toko yang
tampil rapi. Pedagang itu duduk di depan rak toko bagian luar. Pedagang pakaian memang umumnya berpenampilan
rapi mengenakan jins model terbaru dipadukan kaos oblong yang biasanya
bergambar logo merek celana jins tertentu. Mungkin kali itu Apa Cantoi
mendapatkan sambutan sangat hangat karena memang toko sedang sepi. Kalau sedang
ada pelanggan, apalagi sedang ramai, tentu saja penjaga toko tidak dapat
menyambut Apa Cantoi dengan sangat
hangat. Dia akan disibukkan melayani pelanggan.
Mendapatkan
sambutan yang sangat hangat, Apa Cantoi tertarik untuk masuk ke dalam toko. Dia
memarkir sepedanya tepat di samping tong sampah kayu berbentuk corong es krim
dengan tutup dari kayu. Di atas tong itulah biasanya para penjaga toko duduk
menunggu pelanggan. Sampah toko pakaian paling cuma plastik dan kardus.
Di dalam Bintang
Kejora, sebelah kanan adalah rak kaca tinggi satu meter berisi pajangan sandal.
Ada Dodoni, School, Apache, Ardiles, Adidias, dan sebagainya. Biasanya sandal
dan sepatu yang dipajang sebelah rebah, sebelahnya lagi tegak. Sebelah kiri
adalah rak kaca yang sangat tinggi hingga dua meter setengah. Itu menutupi
nyaris seluruh dinding samping hingga dinding belakang. Dibagi dua bagian,
yakni bagian depan dipajang sepatu dan belakang adalah campuran celana dan
baju. Di langit-langit digantung aneka jenis tas pakaian, termasuk tas paling
ikonik adalah tas pakaian berjenis kain celana jins. Itu biasanya dipakai
orang-orang yang pergi merantau atau sopir truk yang pergi berhari-hari. Juga
dipakai nelayan pemburu ikan tuna yang
berhari-hari melaut ke area yang jauh dari pantai.
Bagian belakang
juga merupakan rak kaca. Di dalamnya didominasi bajo kaos dan pakaian dalam.
Celana dalam favorit adalah Hings. Warnanya putih. Mereka yang punya ekonomi
lebih baik, akan membeli Hings dengan garis hijau pada logo merek pada kemasan.
Itu biasanya disebut Hing Hongkong.
Saat
melihat-lihat celana, Apa Cantoi tertarik dengan celana jins merek Favo. Itu
adalah merek impiannya. Waktu kecil, Apa Cantoi pernah meminta dibelikan celana
Favo, tetapi yang didapatkan adalah jins tiruan bermerek Favoo. Celana Favo
pertama kali dilihat Apa Cantoi salat Jumat. Karena berdiri di saf paling
belakang, anak-anak banyak pemandangan untuk dilihat, antara lain merek celana
dan sarung orang-orang dewasa di depannya. Sejak saat itu Apa Cantoi sangat
ingin memiliki celana Favo. Sayang sekali saat belum sekolah di bawah
Departemen Hukum, meskipun pernah membeli beberapa merek celana, di antaranya
Wrangler, Lea, Lee, dan Levi's, tetapi belum sempat memiliki Favo.
Apa Cantoi
sangat kagum dengan celana yang dibentangkan di atas rak kaca. Celana itu
begitu macho. Warnanya biru dongker. Ada label merek dengan kain kecil berwarna
merah dengan tulisan merek bewarna hitam yang dijahit pada kantong belakang
sebelah kanan.
Harganya enam
ratus lima puluh ribu rupiah. Sayang sekali. Apa Cantoi hanya punya lima ratus
ribu rupiah. Dia permisi dan meminta maaf uangnya masih kurang.
Pemuda tampan rapi penjaga toko senyum dan berkata,
''Saya tunggu, sampai Apa kembali,''.
Apa Cantoi
senyum dengan ungkapan yang dianggapnya basa basi itu.
''Celana ini
akan saya simpan untuk Apa,'' penjaga toko tampak serius.
''Kalau begitu
simpan dulu ini,'' jawab Apa Cantoi sambil menyodorkan lima ratus ribu rupiah.
''Jangan,''
sanggah penjaga toko, ''nanti saja sekalian.''
Apa Cantoi
tidak memaksa meskipun menurutnya uang itu lebih baik dititipkan ke Bintang
Kejora saja supaya tidak terpakai olehnya. Karena kalau memagang uangnya, Apa
Cantoi takut akan habis.
Saat mengarah ke perempatan Jalan Matang-Tanjong dan
jalan Jangka, Apa Cantoi bertemu dengan Ampon Banta. Orang itu sangat terkenal
di luar negeri. Tinggal di Meunasah Kumbang Meudang Ara. Orang itu sedang
membeli berbagai kebutuhan di Maba.
''Eh, Apa. Apa
Kabar?' seru Ampon Banta.
''Seperti
biasa,'' jawab Apa Cantoi.
Mereka
berbincang sejenak.
''Sepi sekali
pasar,'' kata Apa Cantoi memulai percakapan.
''O. Mungkin
cuaca panas,'' balas Ampon Banta.
''Hari ini
sangat berbeda,'' sambung Apa Cantoi serius.
''Mungkin
karena orang-orang sudah bayak yang belanja lewat internet,'' balas Ampon
Banta.
Ampon Banta
mengajak Apa Cantoi pulang bersama. Tapi Apa Cantoi membalas dengan melirik ke
bawah, ke setang jengki yang sedang dipegangnya.
''O.''
Apa Cantoi
sengaja pulang melalui simpang empat. Meski matahari semakin panas, dia suka pulang
dari sana. Di pinggir lapangan, Apa Cantoi melihat beberapa kurir sedang
menyortir barang-barang yang sudah ditumpuk empat tumpukan. Masing-masing satu
kubik.
Bayak sekali,
pikir Apa Cantoi.
''Mungkin Ampon
Banta benar,'' seru Apa Cantoi pada dirinya.
Meski sudah mengarah ke Simpang Empat, pikiran Apa
Cantoi masih kepada toko Bintang Kejora. Dia teringat celana Favo itu.
''Kurang
Seratus Lima Puluh Ribu,'' keluh Apa Cantoi pada dirinya sendiri sambil
mengayuh sepeda.
Teringat Favo, bersepeda di bawah terik matahari meski
sedang berpuasa, Apa Cantoi tidak mempedulikannya. Apa Cantoi mengayuh jengki
dengan lebih kencang. Dia bertekad mendapatkan Seratus Lima Puluh Ribu sebelum
lebaran tiba.
Tiba di rumah, Apa Cantoi sempat beristirahat sejenak.
Sore hari Maida datang menawarkan kepada Apa Cantoi
untuk bersedia membantu keluarga mereka memanen singkong di bukit. Bukit itu
dituju melalui belakang rumah Apa Cantoi. Tentu saja pria itu langsung bersedia.
Mengingat, Favo harus dibawa pulang sebelum lebaran.
Keesokan
harinya Apa Cantoi langsung bersiap dengan topi ala tentara Jepang. Tak lupa
dia membawa sebuah pacul berukuran kecil. Apa Cantoi menduga, meskipun nanti
peralatan sudah tersedia di kebun, tetap saja dia merasa harus datang dengan
sebuah alat agar tampak datang untuk serius bekerja.
Melalui lorong
kecil dekat rumahnya, Apa Cantoi mengarah ke belakang untuk menaiki bukit
melalui jalan setapak yang digunakan oleh orang-orang untuk berkebun. Ada
biawak melintas. Wajar saja, tidak jauh dari sana ada sebuah aliran air yang
berasal dari perbukitan. Warga tidak menggunakan air itu untuk dikonsumsi.
Kadar kualitasnya tidak steril. Tapi banyak ikan air tawar yang bisa dipancing
di situ. Meski begitu, pada tempat-tempat lainnya di desa Apa Cantoi, ada
banyak sumber mata air lain. Mungkin sebab itulah desa Apa Cantoi dinamai Mata
Air. Sumber mata air paling besar di desa itu adalah yang berasal dari sebuah
kolam yang berada di dusun sebelah. Itu sebenarnya adalah sebuah telaga karena
memang menghasilkan air secara alami. Tetapi orang-orang sudah menyebutnya
kolam. Kolam itu mengalir ke desa. Orang-orang menggunakan alirannya untuk
segala kebutuhan termasuk perkebunan dan konsumsi rumah tangga.
Meski begitu,
mayoritas warga Mata Air tetap lebih banyak yang memilih mengkonsumsi air dari
sumur yang digali di rumah masing-masing. Kualitas air tanah desa itu sangat
bersih dan tidak perlu menggali terlalu dalam.
Aliran air yang
mengalir tidak jauh dari rumah Apa Cantoi hanya digunakan warga untuk
perkebunan yang berletak tidak jauh dari alur air. Itu sangat membantu petani
untuk menyiram jagung, kacang-kacangan, dan jenis tanaman lainnya yang
membutuhkan penyiraman rutin. Tetapi penyiraman itu tidak perlu sering
dilakukan karena hujan rajin turun di Mata Air.
Tiba di lokasi,
telah berkumpul Kak Boyti, Maida, adik laki-laki Maida, dan lainnya. Mereka biasanya
memulai pekerjaan dengan minum kopi atau teh dan kue. Namun karena bulan puasa,
mereka mengawalinya dengan berbincang-bincang. Setelah itu barulah memanen
singkong dimulai. Rupanya butuh waktu tiga hari bagi mereka untuk menyelesaikan
pekerjaan. Apa Cantoi mendapatkan Seratus Lima Puluh Ribu rupiah. Cukup untuk
tambahan membeli Favo. Disimpannya baik-baik Enam Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah
itu.
Suatu pagi,
setelah Apa Cantoi bersiap-siap ke Kota Peusangan untuk mendapatkan Favo
impian, tiba-tiba Pak Jusmadi datang.
Beliau mengatakan Apa Cantoi harus membayar biaya buka puasa bersama di
kompleks perumahannya. Apa Cantoi heran kenapa dia harus membayar itu, padahal
dia tidak pernah ke musala itu dan tidak tinggal di dalam kompleks perumahan
Westview. Ingin Apa Cantoi menanyakan apakah Kak Boyti juga membayar iuran tersebut.
Tetapi tidak berani.
Diserahkannya
saja Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah. Setelah Jusmadi menghilang, Apa Cantoi
bersedih karena harus memupus harapan memiliki Favo. Dia pun urung ke Kota
Peusangan. Karena tidak tahu harus berbuat apa, Apa Cantoi memilih untuk
membuka-buka lemari penyimpanan koran dan majalah lama. Dia membuka-buka
majalah-majalah sepak bola yang telah lama disimpan.
Pada salah
satu majalah terdapat foto Maradona yang sedang selebrasi dengan membentangkan
kedua tangan sambil berlari. Sepertinya itu saat Piala Dunia Sembilan Belas
Sembilan Puluh. Itu adalah tahun penuh keseimbangan, baik dalam bidang
kebudayaan maupun ekonomi. Sepak bola juga seimbang karena kehadiran bintang
dan kepergiannya sebagai legenda tidak dicampuri oleh pihak-pihak yang tidak
punya kapasitas untuk menilai. Seperti kebesaran Maradona bukan karena diangkat
secara lebai oleh pengelola portal abal-abal, melainkan karena kehebatannya
sebagai pesepakbola modern yang paling berkualitas.
Maradona adalah pemain yang punya kemampuan dribel
sempurna, visi tingkat tinggi, dan mentalitas seorang juara. Orang-orang
membandingkan Messi dan Maradona. Padahal, menurut Apa Cantoi, untuk menjadi
seorang yang sempurna seperti Maradona, Messi butuh mengumpulkan insting Tevez,
ketajaman Batistuta, kharisma Aimar, mentalitas Crespo, kepemimpinan Zanetti,
dan kecerdikan Riquelme. Messi dibesarkan oleh media, terutama
cuplikan-cuplikan keberhasilannya dalam dribble. Messi akan segera dilupakan
setahun setelah dia pensiun. Sementara Maradona adalah legenda.
Pada majalah
lainnya, terdapat beberapa halaman yang mengulas tentang pemain-pemain muda
yang disebut The Rising Stars. Ada Cristiano Ronaldo, Cesc Fabregas, Wayne
Rooney, dan lainnya. Meskipun banyak di antara rising stars yang telah sukses
menjadi pesepakbola terkenal, namun ada beberapa nama yang telah tenggelam. Di
antara yang tenggelam utamanya adalah mereka yang berhubungan dengan Inggris.
Apa Cantoi pernah membaca sebuah ulasan, media Inggris terlalu banyak mengulas
para pemain muda potensial, sehingga membuat mereka menanggung beban ekspektasi
berlebihan yang tidak sanggup dipikul. Banyak juga pemain muda yang kariernya
hancur akibat reaksi berlebihan atas berbagai hinaan terhadap diri mereka.
Misalnya Mario Balotelli yang terlalu banyak mengalami tekanan akibat rasisme
sehingga bersikap kurang wajar dalam menghadapi tekanan itu. Banyak juga yang
layu sebelum berkembang akibat gaya hidup berlebihan setelah mendapatkan gaji
yang besar seperti Fabio Paim, Federico Macheda, Ganso. Ada juga yang karirnya
meredup, lalu tenggelam dan terpaksa pensiun dini akibat salah memilih klub,
seperti masuk ke klub besar namun gagal bersaing sehingga hanya menjadi pemain
cadangan seperti Jose Antonio Reyes.
Dalam pandangan Apa Cantoi, riwayat para pemain sepak
bola sebenarnya memberikan banyak inspirasi dalam menjalani hidup. Dari
kehidupan Cristiano Ronaldo dapat dipelajari tentang bagaimana kesuksesan harus
berlandaskan pada semangat juang tinggi, kerja keras, konsistensi, mentalitas
tinggi, dan mampu mengendalikan uang, bukan malah dikendalikan oleh uang yang
banyak.
Teringat tentang uang, Apa Cantoi kembali murung.
Akhirnya dia harus melewatkan lebaran tanpa Favo impian.
Hari ketiga lebaran, setelah mandi sore hari, Apa Subra
dan Apa Rajab tiba dan mengajak Apa Cantoi untuk ngopi ke Bireuen. Padahal Apa
Cantoi berencana bersantai di serambi rumah sore itu.
Di Bireuen mereka mengopi di Warung Kopi Fajar. Itu
adalah warung kopi legendaris. Kopinya sangat kental. Terasa nikmatnya. Pakai
gelas lebih kecil daripada ukuran gelas kopi pada umumnya. Kursi, meja, dan
desain warung kopi membuat Apa Cantoi nyaman. Itu seperti desain warung kopi
delapan puluhan dan sembilan puluhan. Sehingga membuat Apa Cantoi terkenang
banyak peristiwa masa lalu sebelum sekolah di bawah Departemen Hukum.
Bireuen adalah kota yang pernah dikunjungi Apa Cantoi
pada masa lalu. Dulu ada angkutan umum ukuran kecil yang disebut labi-labi yang
menghantar orang ke barat yakni Peudada. Ke timur orang dihantar ke Kota
Peusangan. Angkutan ukuran besar adalah BE. Ke timur orang dihantar hingga ke Kepala
Bukit. Ke barat orang dihantar hingga ke Lhokseumawe. BE dari Lhokseumawe ke
arah timur memiliki rute hingga Panton Labu. BE yang mangkal di dalam terminal
berdurasi satu jam. Sementara yang ke arah barat mangkal di luar terminal, pingggir
jalan, di Jembatan Rumbia. Yang ke arah timur, mangkal di Simpang Arjun. Apa
Cantoi suka naik BE yang mangkal di Simpang Arjun.
Mangkal di Simpang Arjun membuat para penumpang selalu
merasa bus akan berangkat. Ada orang yang duduk di posisi supir. Belakangan Apa
Cantoi sadar bahwa dia sebenarnya bukan supir, melainkan memang berprofesi
duduk di jok supir BE yang mangkal di Simpang Arjun agar para penumpang merasa
bus akan berangkat. Bapak itu sudah tua, kurus dan rambutnya sudah putih. Nanti
bapak itu anak naik ke bus yang mangkal berikutnya. Padahal sopir asli entah ke
mana waktu mangkal.
Bila penumpang merasa sudah lama menunggu, gas kosong
akan ditekan beberapa kali supaya penumpang mengira bus akan berangkat.
Kemudian setelah beberapa lama ketika para penumpang kembali merasa telah
menunggu lama, gas ditekan lagi dan kali ini dimasukkan gigi, bus maju sedikit.
Lalu ada orang yang sebenarnya bukan kernet tapi profesinya adalah harlan yakni
bertugas mencari penumpang. Ketika bus yang dikira penumpang akan berangkat, si
harlan yang dikira kernet itu akan mengatakan, “Tunggo… tunggo…” dengan
gaya sedang memanggil penumpang, meski sebenarnya calon penumpang itu
sebenarnya tidak ada. Begitulah seterusnya, psikologi penumpang ditenangkan dengan
pengharapan hingga sebenarnya bus
mangkal di Simbang Arjun.
Fenomena BE Simpang Arjun mengingatkan Apa Contoi
tentang bagaimana para pemimpin harus memberikan rasa nyaman bagi bawahannya.
Terkadang memang hidup itu tidak menyenangkan. Tetapi tugas seorang pemimpin
adalah membuat bawahannya tidak putus harapan dan selalu merasa masa sulit akan
segera berlalu. Harapan itu terkadang membuat bawahan menjadi semakin dewasa
dan belajar memahami bahwa situasi memang benar-benar sulit, sehingga, seperti
analogi penumpang BE akan memahami bahwa bus memang harus menunggu penumpang
agas uang minyak tercukupi. Namun terkadang bawahan putus asa, sehingga,
seperti penumpang BE, memutuskan jalan kaki menuju Lhokseumawe, meskipun tentu
saja sebelum dia tiba di Kota Peusangan, bus mendahuluinya di Bukit Pisang
Goreng. Itu seperti bawahan yang melakukan pemberontakan.
Apa Rajab membuka percakapan tentang kenangan mereka
pergi ke Dewi Theatre. Apa Subra mengatakan bahwa dia sendiri pernah ke Gajah
Theatre. Apa Cantoi juga mengaku pernah ke Dewi Theatre, tapi tidak sempat ke
Gajah Teater.
Sebenarnya di Kota Peusangan juga pernah berdiri Gajah Teater.
Film-film lama diputar di sana. Meskipun warga di sana sangat sedikit yang
pegawai negeri, tetapi umumnya Malam Minggu adalah sangat ramai. Anak muda
mengenakan celana cutbray dengan kemeja ketat lengan panjang. Mereka yang
sangat keren memanjangkan rambut khas pemain rock. Tetapi disisir rapi
menggunakan minyak rambut Brisk. Supaya kerapian rambut tetap terjaga, sisir
kecil selalu menemani, diletakkan bada saku belakang celana. Tidak akan jatuh
karena diselipkan pada dompet. Waktu masih muda, begitulah penampilan Apa
Cantoi, Apa Rajab, Apa Subra, dan anak muda lain seangkatan.
Tiba di rumah Apa Cantoi segera beristirahat. Besok
Ratna akan menunggu di DotoCoffee.
Reviewed by Miswari
on
10.03
Rating:
Tidak ada komentar: